Connect with us

Opini

Jejak Berdarah UEA Mendukung Pemberontak di Sudan

Published

on

Di tengah debu dan asap perang saudara Sudan, sebuah laporan PBB mengungkap fakta mencengangkan: mortir 81 mm yang diekspor dari Bulgaria ke Uni Emirat Arab (UEA) pada 2019 ditemukan di tangan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), kelompok pemberontak yang bertikai dengan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF). Penemuan ini, dilaporkan oleh Reuters, membuka tabir gelap tentang dugaan keterlibatan UEA dalam konflik berdarah yang telah merenggut puluhan ribu nyawa dan mengungsikan jutaan orang. Jejak senjata ini menyoroti peran UEA sebagai pendukung pemberontak RSF, memperpanjang penderitaan rakyat Sudan demi kepentingan geopolitik dan ekonomi.

Pada November 2024, konvoi RSF di Darfur Utara disergap oleh milisi pro-pemerintah, mengungkap mortir dengan nomor seri yang cocok dengan ekspor Bulgaria ke UEA. Bulgaria menegaskan tidak pernah mengizinkan re-ekspor senjata ke Sudan, sebagaimana dilaporkan Reuters. Ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana senjata ini sampai ke RSF? UEA, yang membantah tuduhan mendukung pemberontak, menolak memberikan manifest lengkap untuk 15 penerbangan kargo ke Chad, negara tetangga yang menjadi pusat logistik. Penolakan ini, menurut The Cradle, memicu kecurigaan bahwa UEA sengaja menyembunyikan bukti keterlibatan dalam transfer senjata, memperkuat tuduhan bahwa mereka memicu kekerasan di Sudan.

Perang saudara Sudan, yang meletus pada April 2023, telah menewaskan lebih dari 130.000 orang, termasuk 20.000 di Darfur Barat saja, menurut Human Rights Watch. RSF, di bawah komando Mohamed Hamdan “Hemedti” Dagalo, dituduh melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan penargetan etnis, terutama terhadap suku Masalit. Laporan Amnesty International mendokumentasikan eksekusi 31 orang, termasuk anak-anak, di Omdurman pada April 2025, sebagai bagian dari kekejaman RSF. Sudan, melalui gugatan di Mahkamah Internasional (ICJ) pada 2025, menuduh UEA mendukung genosida dengan memasok senjata dan dana kepada RSF, melanggar Konvensi Genosida. Tuduhan ini, dilaporkan Al Jazeera, menyoroti skala keterlibatan UEA dalam memperburuk krisis kemanusiaan.

Keterlibatan UEA bukanlah hal baru. Sejak penggulingan Omar al-Bashir pada 2019, UEA, bersama Arab Saudi, mensponsori transisi politik Sudan, termasuk mendukung Dewan Kedaulatan yang melibatkan Hemedti. The Guardian melaporkan bahwa RSF memasok pasukan untuk perang Yaman yang dipimpin UEA, menunjukkan aliansi strategis yang sudah terjalin. Namun, setelah perang saudara pecah, UEA diduga beralih mendukung RSF secara eksklusif, bertentangan dengan Arab Saudi yang lebih dekat dengan SAF. Laporan Global Witness pada 2020 mengungkap bahwa UEA adalah pusat perdagangan emas Sudan, banyak di antaranya dari wilayah yang dikuasai RSF, menunjukkan motif ekonomi di balik dukungan ini.

Bukti keterlibatan UEA semakin kuat. The Washington Post melaporkan bahwa empat anggota militer UEA tewas dalam serangan udara SAF di Bandara Nyala, wilayah yang dikuasai RSF, pada September 2024. Kehadiran militer UEA di zona konflik ini sulit dibantah. Selain itu, penolakan UEA untuk menyerahkan manifest penerbangan ke Chad, seperti dicatat The Cradle, memperdalam kecurigaan. Informasi parsial yang diberikan hanya mencakup kargo seperti makanan dan obat-obatan, yang tidak menjelaskan setengah kapasitas pesawat. Chad, sebagai jalur logistik, diduga menjadi saluran senjata untuk RSF, memperpanjang konflik yang telah mengungsikan 7,7 juta orang secara internal dan 2,1 juta lainnya ke luar negeri.

Kepentingan UEA di Sudan jelas: geopolitik dan sumber daya. Foreign Policy mencatat bahwa UEA berambisi mengendalikan Laut Merah, jalur perdagangan global, dengan menempatkan Sudan sebagai sekutu strategis. Dukungan untuk RSF memungkinkan UEA melemahkan SAF, yang didukung oleh rival seperti Arab Saudi, sekaligus menentang faksi Islamis yang pernah berkuasa di Sudan. Middle East Eye menyoroti bahwa UEA memandang RSF sebagai kekuatan sekuler yang dapat menekan pengaruh kelompok seperti Ikhwanul Muslimin. Selain itu, emas Darfur, yang diekspor melalui UEA, memberikan keuntungan ekonomi besar, sebagaimana didokumentasikan Global Witness. Dengan mendukung RSF, UEA mengamankan akses ke sumber daya ini, meski dengan biaya kemanusiaan yang mengerikan.

Tuduhan genosida di ICJ adalah puncak dari kecaman internasional terhadap UEA. Sudan, seperti dilaporkan Reuters, menuduh UEA mendanai dan mempersenjatai RSF, yang melakukan pembantaian terhadap etnis Masalit. Human Rights Watch pada Januari 2025 mengkritik UEA karena melanggar embargo senjata PBB, memperburuk krisis yang telah menciptakan salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia. RSF, dengan dukungan UEA, menguasai sebagian besar Darfur dan bagian Khartoum, memperpanjang penderitaan warga sipil. The New York Times mencatat bahwa Sudan mengajukan keluhan ke Dewan Keamanan PBB pada 2024, menyebut UEA sebagai “pemain garis depan yang ganas” dalam konflik ini.

UEA, melalui media seperti The National, membantah tuduhan, mengklaim hanya memberikan bantuan kemanusiaan. Mereka mempertanyakan yurisdiksi ICJ dan menyatakan bahwa laporan PBB tidak secara eksplisit membuktikan keterlibatan mereka. Namun, ketidaktransparanan UEA, seperti penolakan manifest penerbangan dan kehadiran militer di Sudan, melemahkan pembelaan mereka. Bloomberg melaporkan bahwa Sudan membatalkan perjanjian pelabuhan senilai 6 miliar USD dengan UEA pada November 2024, menunjukkan ketegangan diplomatik akibat tuduhan ini. Bukti tidak langsung, seperti mortir Bulgaria dan dokumen yang ditemukan pasukan Sudan, menurut unggahan di X, semakin memperkuat narasi keterlibatan UEA.

Konflik Sudan bukan sekadar perang saudara; ini adalah medan pertempuran kepentingan asing, dengan UEA sebagai aktor kunci. Dukungan mereka untuk RSF, jika terbukti, telah memperpanjang perang, memperburuk penderitaan, dan memicu tuduhan genosida. The Cradle melaporkan bahwa RSF, dengan senjata dan dana dari UEA, telah melakukan kekejaman yang tak terbayangkan, dari pembunuhan massal hingga pemindahan paksa. Komunitas internasional, termasuk PBB dan ICJ, harus menekan UEA untuk transparansi dan akuntabilitas. Tanpa intervensi, jejak berdarah UEA di Sudan akan terus membekas, meninggalkan luka yang sulit sembuh bagi jutaan warga sipil.

Jejak senjata dari Bulgaria ke Darfur adalah pengingat pahit bahwa konflik lokal sering kali didorong oleh ambisi global. UEA, dengan kekayaan dan pengaruhnya, memiliki tanggung jawab untuk menghentikan aliran senjata dan dana ke pemberontak RSF. Kegagalan mereka untuk bertindak hanya akan memperdalam krisis, memperpanjang penderitaan rakyat Sudan yang telah kehilangan rumah, keluarga, dan harapan. Dunia harus menuntut keadilan, bukan hanya untuk Sudan, tetapi untuk mencegah ambisi geopolitik menghancurkan lebih banyak nyawa.

Sumber Referensi:

  1. Reuters (2025): “UN probes UAE arms transfers to RSF militia in Sudan.”
  2. The Cradle (2025): “UN probes UAE arms transfers to RSF militia in Sudan.”
  3. Human Rights Watch (2025): “Sudan: UAE-Backed Forces Fuel Atrocities.”
  4. Al Jazeera (2025): “Sudan accuses UAE of genocide complicity at ICJ.”
  5. The Guardian (2023): “How the UAE became a key player in Sudan’s conflict.”
  6. Global Witness (2020): “The UAE’s role in Sudan’s gold trade.”
  7. The Washington Post (2024): “UAE military deaths in Sudan raise questions.”
  8. Foreign Policy (2023): “The UAE’s geopolitical ambitions in Sudan.”
  9. Middle East Eye (2023): “UAE’s role in Sudan’s civil war.”
  10. The New York Times (2024): “Sudan’s complaints against UAE at UN.”
  11. Bloomberg (2024): “Sudan cancels $6bn UAE port deal.”
  12. The National (2025): Pernyataan resmi UEA.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *