Opini
Jeda Tarif AS-China: Harapan atau Ilusi Stabilitas Global?

Dunia terasa seperti menahan napas, bukan? Amerika Serikat and China, dua raksasa ekonomi yang saling mengunci dalam perang tarif berbulan-bulan, akhirnya sepakat menurunkan tarif barang masing-masing, sebuah terobosan yang mengguncang ketidakpastian global. Di Geneva, Senin lalu, negosiasi tingkat tinggi—pertama sejak Donald Trump kembali ke Gedung Putih—menghasilkan jeda 90 hari untuk langkah perdagangan baru dan penurunan tarif dari lebih 100% ke 10%. Tapi, di balik sorak pasar dan janji stabilitas, ada kegelisahan: apakah ini cuma jeda sesaat sebelum badai berikutnya?
Bayangkan, berbulan-bulan kita menyaksikan rantai pasok global tersendat, harga barang melonjak, dan pekerja kehilangan mata pencaharian. Perang tarif ini, yang melumpuhkan perdagangan bilateral senilai $600 miliar, bukan cuma soal angka. Ia menyentuh hidup orang-orang biasa—petani kedelai Amerika yang kehilangan pasar, pekerja pabrik di Shenzhen yang dirumahkan, atau pedagang kecil di Jakarta yang menghadapi harga elektronik membumbung. Ketika Trump menaikkan tarif impor China hingga 145% awal tahun ini, dengan alasan keamanan nasional dan ketimpangan ekonomi, Beijing membalas dengan kontrol ekspor elemen tanah jarang dan tarif 125% untuk barang AS. Dunia terjebak dalam spiral balas dendam, dan kita semua merasakan getarannya.
Namun, di tengah krisis, ada secercah harapan. Negosiasi di Geneva, yang digambarkan Menteri Keuangan AS Scott Bessent sebagai “produktif” dan “penuh hormat,” membawa angin segar. Di kediaman duta besar PBB Swiss, Bessent dan perwakilan China, Wakil Perdana Menteri He Lifeng serta utusan perdagangan Li Chenggang, menyepakati penurunan tarif signifikan: AS ke 30%, China ke 10%. Mereka juga berjanji membentuk mekanisme diskusi lanjutan, tanda bahwa diplomasi, bukan eskalasi, mungkin jadi jalan ke depan. Kementerian Perdagangan China menyebutnya “kemajuan substansial,” sementara Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala memuji langkah ini sebagai “significant step forward” yang meringankan beban ekonomi rentan. Tapi, benarkah ini akhir dari drama, atau cuma babak baru?
Pasar, setidaknya, bersorak. Indeks saham AS melonjak, dolar menguat, dan di China, yuan menyentuh level tertinggi enam bulan di 7.2001 per dolar. Hong Kong’s Hang Seng Index naik lebih dari 3%, Hang Seng Tech Index melonjak 5%, sementara CSI 300 dan Shanghai Composite masing-masing naik 1.2% dan 0.8%. William Xin, ketua Spring Mountain Pu Jiang Investment Management di Shanghai, bilang, “Hasil ini jauh melampaui ekspektasi pasar.” Tapi, di balik euforia, ada pertanyaan: apakah pasar terlalu cepat percaya? Bagaimanapun, ini cuma jeda 90 hari, dan isu besar—hak kekayaan intelektual, transfer teknologi, subsidi industri—masih mengintai seperti bayang-bayang.
Coba pikirkan dampaknya ke kita di Indonesia. Elektronik, pakaian, dan mainan yang kita impor dari China bisa jadi lebih murah, setidaknya untuk sementara. Petani kedelai Amerika, yang dulu kehilangan pasar karena tarif China, mungkin kembali mengekspor, menstabilkan harga pakan ternak di sini. Tapi, tarif AS ke negara lain tak berubah—Uni Eropa, Kanada, Meksiko masih terhimpit. Jadi, meski ada harapan, dunia tetap berjalan di atas tali tipis. Kita pernah melihat janji perdagangan runtuh, bukan? Ingat 2018, ketika kesepakatan awal AS-China gagal mencegah eskalasi?
Sektor yang diuntungkan menunjukkan betapa dalamnya dampak perang tarif ini. Teknologi, misalnya, tersiksa oleh tarif tinggi pada semikonduktor dan elektronik. Dengan tarif turun ke 10%, raksasa seperti Apple, Dell, dan Intel bisa bernapas lega, begitu pula konsumen yang tak lagi membayar harga selangit. Pertanian AS—kedelai, jagung, daging babi—akan kembali masuk pasar China, membantu petani yang terpukul. Otomotif, dari Tesla hingga BYD, mungkin melihat peluang ekspansi. Bahkan elemen tanah jarang, krusial untuk energi terbarukan dan pertahanan, bisa mengalir lebih bebas jika China melonggarkan kontrol. Tapi, tanpa kesepakatan ekspor formal, ini masih spekulasi.
Lalu, apa artinya ini buat dunia? Stabilitas rantai pasok adalah kemenangan besar. Negara seperti Korea Selatan, Jepang, atau Vietnam, yang terhubung erat dengan ekspor China, akan merasakan kelancaran. Inflasi global, yang diperparah kenaikan harga barang, bisa mereda, memberi napas pada ekonomi kecil di Afrika atau Asia Tenggara. Kepercayaan pasar meningkat, terlihat dari lonjakan bursa saham dan yuan. Tapi, jangan lupa, ini bukan solusi permanen. Jendela 90 hari adalah ujian—akankah AS dan China terus berdiplomasi, atau kembali ke sikap keras?
Di level manusiawi, aku membayangkan pedagang di Tanah Abang yang mungkin bisa menjual pakaian lebih murah, atau pekerja startup di Jakarta yang tak lagi khawatir komponen elektronik langka. Tapi, aku juga ingat teman di sektor ekspor yang bilang, “Dunia perdagangan sekarang kayak main catur, satu langkah salah, semua ambruk.” Ketidakpastian tetap ada karena isu struktural belum disentuh, dan tarif AS ke negara lain masih bikin ketimpangan. Apa yang terjadi jika negosiasi macet? Akankah kita kembali ke spiral tarif dan inflasi?
Refleksi dari laporan ini mengingatkanku pada keseimbangan rapuh dunia saat ini. Kita hidup di era di mana keputusan dua negara bisa mengguncang pasar di ujung dunia. Kesepakatan ini, meski membawa harapan, seperti perban pada luka yang lebih dalam. Aku teringat ucapan nenekku, “Kalau dua gajah bertarung, rumput yang menderita.” Negara kecil, pekerja biasa, dan konsumen seperti kita sering jadi korban sampingan. Tapi, di saat yang sama, langkah kecil ini mengingatkan bahwa diplomasi masih mungkin.
Ke depan, dunia menunggu. Apakah 90 hari cukup untuk membangun kepercayaan? Atau akankah kita kembali ke siklus balas dendam ekonomi? Laporan ini, dengan segala datanya—penurunan tarif, lonjakan pasar, sektor yang diuntungkan—menggambarkan dunia yang lapar akan stabilitas tapi masih terjebak ketidakpastian. Kita hanya bisa berharap, sembari mengawasi langkah berikutnya, bahwa dua raksasa ini memilih jalan damai, bukan perang. Karena, pada akhirnya, bukan cuma mereka yang bertaruh—kita semua ikut di dalamnya.