Opini
Janji Manis Barat untuk Palestina: Antara Retorika dan Realita

Perdana Menteri Inggris Keir Starmer pada Jumat itu terdengar seperti sedang memerankan tokoh protagonis di panggung diplomasi. Ia mendesak Israel untuk segera mempertimbangkan ulang rencana mengambil alih Kota Gaza. “Salah,” katanya, “dan hanya akan membawa pertumpahan darah.” Kedengarannya mulia, bahkan heroik, seperti seseorang yang baru saja menemukan nurani di tengah puing-puing. Tapi, mari kita tarik napas dalam-dalam, lalu ingat: Inggris pada saat yang sama masih mengirim mata-mata ke langit Gaza, membagi hasilnya dengan mereka yang ia kecam di depan kamera.
Starmer bukan sendirian dalam pawai retorika ini. Dari Jenewa, Volker Turk, Komisaris Tinggi HAM PBB, juga ikut bersuara lantang. Ia menyebut rencana pengambilalihan itu bertentangan dengan hukum internasional, melanggar putusan Mahkamah Internasional, dan mengancam hak penentuan nasib rakyat Palestina. Kata-kata yang rapi, kalimat yang terstruktur, diucapkan di forum yang megah. Tapi Gaza tetap dibombardir, truk-truk bantuan tetap tersendat di perbatasan, dan anak-anak tetap dikuburkan di bawah reruntuhan. Dunia, seperti biasa, kembali terpesona oleh keindahan diksi, bukan kekuatan aksi.
Di balik layar, cerita lain berputar. Menurut laporan Middle East Eye, pesawat pengintai Inggris masih lalu-lalang di atas langit Gaza. Mereka terbang dari RAF Akrotiri di Siprus, hanya 40 menit dari Tel Aviv. Pemerintah Inggris mengaku semua itu demi “membantu penyelamatan sandera.” Tetapi seorang mantan jenderal Inggris, Charlie Herbert, mengatakan dengan nada yang nyaris setengah jujur: intelijen itu bisa sama bergunanya untuk memburu sandera seperti untuk menargetkan anggota Hamas. Bahasa diplomasi mungkin menyebutnya “dukungan teknis”, tapi bahasa realita menyebutnya “komplikasi moral yang disengaja”.
Sejauh mana kita bisa percaya pada janji-janji Barat soal Palestina? Pertanyaan itu ibarat menanyakan seberapa setia kucing tetangga menjaga ikan asin di dapur kita. Mereka mengatakan “kami mendukung solusi dua negara” sambil mengirim senjata, mereka mengaku “meminta gencatan senjata” sambil mengisi tangki jet tempur sekutu mereka, mereka menyebut “hak rakyat Palestina” sambil menangkap mahasiswa yang membela Gaza di jalan-jalan London atau Paris. Ironinya terasa pahit, tapi juga begitu biasa, sampai kita hampir saja menganggapnya norma.
Sejarah sudah menunjukkan pola ini. Sejak Perjanjian Oslo pada 1990-an, Barat berkali-kali memoles wajahnya dengan kosmetik diplomasi, memotret diri di hadapan kamera sambil memegang dokumen perdamaian. Setelah itu, mereka pulang, duduk di meja perundingan lain yang lebih sepi, membicarakan kontrak senjata atau paket kerja sama intelijen. Hasilnya? Palestina tetap terjajah, Gaza tetap terkepung, dan “solusi dua negara” menjadi seperti nama warung kopi—enak di telinga, tapi tak pernah disajikan.
Di Inggris, janji Starmer untuk mengakui negara Palestina pada September jika Israel tak mengubah haluan terdengar seperti ancaman yang berani. Namun ancaman itu terbungkus syarat yang longgar, tanpa mekanisme paksaan yang jelas. Dan jika kita realistis, mengakui Palestina di kertas diplomasi tak otomatis menghentikan bulldozer di Tepi Barat atau misil di Gaza. Apalagi, seperti yang terungkap, Inggris tetap menjadi pengumpul intelijen nomor satu di kawasan Timur Tengah, lewat jaringan Five Eyes yang mencakup AS, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Data yang mereka miliki, kata seorang sumber, memberikan “pandangan mata burung terhadap genosida.” Artinya, mereka tahu persis apa yang terjadi, tapi memilih memutar kepala ke arah lain—atau malah menyodorkan peta kepada pelaku.
Lalu ada ironi tambahan yang menusuk: kebebasan berekspresi, yang selalu mereka jual sebagai nilai utama peradaban Barat, tiba-tiba punya klausul tak tertulis—bebas bicara, asal bukan soal Palestina. Di banyak negara Eropa, aktivis pro-Palestina ditangkap, unjuk rasa dibubarkan, dan simbol solidaritas disita. Di kampus-kampus, dosen atau mahasiswa bisa dicopot hanya karena mengkritik zionis. Bahkan di media sosial, algoritma seolah belajar membedakan duka manusia: ada duka yang layak trending, ada pula yang harus dikubur di pojok feed.
Bagi rakyat Palestina, semua ini bukan lagi sekadar kemunafikan, tapi bentuk baru kolonialisme modern—kolonialisme yang memakai bahasa hak asasi dan demokrasi, tapi menyalurkan kekuasaannya melalui teknologi pengawasan, embargo, dan perang opini. Dan bagi kita yang menonton dari jauh, janji-janji Barat terasa seperti kartu ucapan: penuh kata manis, tapi dilempar dari jendela mobil yang melaju cepat, tak pernah berhenti untuk benar-benar membantu.
Sebagian orang mungkin berargumen bahwa politik internasional memang rumit, penuh kompromi, dan tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Benar, tapi bukankah justru di sinilah ujian moralnya? Kalau Barat bisa cepat menjatuhkan sanksi ekonomi pada negara-negara yang melanggar hukum internasional di belahan dunia lain, kenapa mereka begitu sabar, bahkan protektif, terhadap pelanggaran yang dilakukan zionis? Jawabannya sederhana dan keras: aliansi strategis lebih mahal daripada nyawa manusia yang jauh di timur sana.
Sebagai warga di Indonesia, kita tahu rasanya hidup di bawah bayang-bayang kepentingan asing. Kita paham bahwa bahasa diplomasi sering dipakai untuk mengemas kepentingan sebagai moralitas. Maka, ketika Barat berkata “kami akan mendukung hak-hak rakyat Palestina”, kita wajar untuk bertanya balik: dukungan dalam bentuk apa? Pernyataan di podium? Resolusi yang tidak mengikat? Atau sekadar foto dengan latar bendera Palestina saat kampanye pemilu?
Mungkin yang paling menyedihkan adalah bagaimana janji-janji ini membentuk semacam siklus pengharapan palsu. Setiap kali Gaza dibombardir, Barat akan menyerukan “penghentian kekerasan”, janji reformasi, atau ancaman diplomatik yang samar. Publik dunia—termasuk kita—merasakan sedikit lega, seolah perubahan akan datang. Lalu bulan berganti, berita memudar, dan roda kekerasan berputar lagi. Gaza menunggu janji berikutnya, seperti penumpang yang menunggu bus yang tidak pernah lewat.
Pada akhirnya, kepercayaan pada janji Barat soal Palestina sama rapuhnya dengan kertas pernyataan pers yang mereka cetak. Kita bisa membacanya, mengutipnya, bahkan menghafalnya, tapi jangan pernah lupa untuk menimbangnya dengan tindakan nyata. Karena di dunia yang dikuasai kepentingan, kata-kata bisa menjadi jubah yang menutupi darah di tangan. Dan jika kita masih berharap keadilan untuk Palestina akan lahir dari janji-janji itu tanpa tekanan publik yang masif, mungkin kita sedang berdoa kepada langit yang sama yang terus diwarnai asap bom—indah dalam foto, tapi mematikan di kenyataan.
Sumber: