Opini
Janji Manis Barat di Atas Puing Gaza

Ribuan warga Palestina berlarian dari Khan Yunis pada 19 Mei 2025. Koper usang tergenggam erat di tangan, anak-anak menangis di pelukan orang tua mereka, semuanya menuju Al-Mawasi—sebuah “zona aman” yang ternyata hanya ilusi, janji kosong yang berubah menjadi kuburan harapan. Serangan udara Israel menghantam wilayah itu tanpa ampun. Operasi yang mereka sebut “Gideon’s Chariots”, diluncurkan dua hari sebelumnya, mengklaim sebagai upaya “menghancurkan perlawanan” di Gaza. Tapi yang tampak di lapangan justru warga sipil terjebak dalam kepanikan, reruntuhan bangunan yang dulu rumah, dan tangisan yang berubah jadi keheningan maut.
Lebih dari 40 jiwa tewas di Al-Mawasi, termasuk anak-anak dan perempuan, dalam tenda-tenda pengungsian yang seharusnya menjadi tempat aman. Perintah evakuasi dari juru bicara militer Israel, Avichay Adraee, yang disebarkan lewat media sosial X, mengarahkan warga ke “zona aman” itu dengan peta yang rumit dan membingungkan—seolah-olah memang dirancang untuk menyesatkan, bukan menyelamatkan.
Ironisnya, setelah lebih dari setahun membiarkan Gaza terkoyak, Inggris, Prancis, dan Kanada tiba-tiba muncul dengan pernyataan bersama. Mereka menyerukan agar Netanyahu menghentikan invasi dan membuka blokade bantuan. Tiba-tiba terdengar nada-nada empati, seakan nurani mereka baru terjaga dari tidur panjang. Pertanyaannya: benarkah ini pertanda bahwa mereka tersentuh, atau hanya lakon panggung politik untuk menyelamatkan muka?
Mari kita telusuri jejak mereka. Selama 18 bulan terakhir, tiga negara ini—Inggris, Prancis, dan Kanada—hampir tak bersuara saat Gaza dilumat habis. Sebanyak 92 persen rumah hancur rata dengan tanah, hampir seluruh penduduk berubah menjadi pengungsi di tanah mereka sendiri, dan lebih dari 1.340 warga Palestina terbunuh sejak Maret 2025, termasuk ratusan anak-anak. Blokade bantuan kemanusiaan menyebabkan kelaparan merajalela, dengan hanya lima truk bantuan yang diizinkan masuk dalam beberapa minggu terakhir. Dua dari lima truk itu bahkan hanya membawa kain kafan—bukan makanan, bukan obat, melainkan simbol kematian yang dikirimkan dengan resmi, seolah-olah dunia sudah menyerah pada nasib Gaza.
Padahal, PBB menyatakan bahwa Gaza membutuhkan sedikitnya 500 truk bantuan per hari untuk menyelamatkan kehidupan. Hukum humaniter internasional yang sering dikutip negara-negara Barat di forum-forum PBB, justru dilanggar secara terbuka di hadapan mereka. Tapi apa yang dilakukan Inggris, Prancis, dan Kanada selama ini? Mereka lebih sibuk menggumamkan “hak Israel untuk membela diri,” sambil memalingkan wajah saat rumah sakit dibombardir dan anak-anak kehilangan seluruh keluarganya.
Kini, secara tiba-tiba, mereka menyebut serangan Israel “sangat tidak proporsional” dan berisiko melanggar hukum internasional. Posisinya mendadak bergeser dari penonton pasif menjadi komentator penuh keprihatinan. Ini seperti tetangga yang baru muncul membawa doa setelah rumah sebelah dibuldozer, lalu berkata, “Semoga kuat, ya.” Terlalu tepat waktunya untuk tidak dicurigai.
Pernyataan mereka pada 19 Mei terdengar manis dan penuh empati. Mereka menuntut penghentian operasi militer, akses penuh untuk bantuan kemanusiaan, dan bahkan menyerukan kembali solusi dua negara menjelang KTT PBB yang disponsori Prancis dan Arab Saudi. Tapi setelah satu setengah tahun membiarkan Gaza terbakar, apa yang sebenarnya berubah? Apakah mereka tersentuh oleh video viral yang memperlihatkan warga Khan Yunis berlarian dari gempuran bom? Atau ini hanya reaksi atas tekanan publik yang makin tak terbendung?
Di Indonesia, kita mengenal betul kalimat-kalimat manis seperti ini—mirip janji kampanye: indah di kata, nihil di perbuatan. Protes di London, Paris, dan Toronto kian menggema. Media sosial penuh dengan video dan gambar penderitaan warga Gaza. Amnesty International telah menyebut pola serangan Israel sebagai bagian dari kemungkinan genosida. Maka, bisa jadi ini bukan perubahan hati, tapi perubahan strategi: menyelamatkan reputasi global sebelum panggung ambruk.
Ada banyak tanda bahwa ini semua hanya lips service belaka. Pertama, laporan The Washington Post pada 19 Mei menyebut bahwa tim Donald Trump di AS mulai muak dengan strategi Netanyahu. Mereka memperingatkan bahwa jika Israel tak segera menghentikan perang, dukungan dari AS bisa menguap. Inggris, Prancis, dan Kanada, sebagai sekutu dekat AS, kemungkinan besar hanya mengikuti alunan irama Washington. Ini bukan soal kemanusiaan, ini soal kalkulasi politik yang dingin dan strategis.
Kedua, ketidaksinkronan dengan Jerman semakin memperjelas lemahnya komitmen mereka. Jerman masih memasok senjata ke Israel, tanpa hambatan berarti. Jika Inggris, Prancis, dan Kanada memang serius, bukankah mereka seharusnya menekan Berlin agar berhenti menyalurkan alat pembunuh massal? Tapi mereka diam seribu bahasa. Barangkali takut harmoni geopolitik terganggu. Mirip orang yang bernyanyi lagu protes, tapi dengan volume rendah supaya tak mengganggu tetangga elite sebelah.
Sejarah mereka pun membuat kita tak bisa begitu saja percaya. Inggris, berdasarkan laporan Campaign Against Arms Trade, telah mengekspor senjata senilai £487 juta ke Israel antara 2015–2022. Prancis, meskipun sering berbicara tentang solusi dua negara, tak pernah benar-benar mendorong sanksi terhadap Israel di forum Uni Eropa. Sementara Kanada, dengan citra “negara damai,” tetap memberikan dukungan politik ke Israel dalam berbagai resolusi PBB. Kini, mereka mendadak bicara soal hukum kemanusiaan? Rasanya seperti menulis penyesalan di ujung surat wasiat yang penuh kontradiksi. Jika mereka serius, mana tindakan nyatanya?
Embargo senjata bisa menjadi bukti konkret. Sanksi terhadap pejabat Israel yang terlibat dalam kejahatan perang juga bisa. Tapi sejauh ini, yang kita dengar hanya janji “tindakan nyata” tanpa detail, semacam cek kosong yang tak pernah bisa dicairkan.
Pernyataan mereka soal solusi dua negara terdengar seperti musik klasik yang dimainkan terlalu sering: indah, tapi basi. Tanpa pengakuan resmi terhadap Palestina sebagai negara, tanpa tekanan nyata kepada Israel, itu hanya kosmetik politik. KTT PBB mendatang bisa saja hanya menjadi panggung untuk berpose, bukan untuk berbuat. Netanyahu sudah menolak keras pernyataan mereka. Ia menyebutnya sebagai “hadiah untuk Hamas.” Sementara itu, tokoh-tokoh ekstremis seperti Bezalel Smotrich bermimpi menyulap Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah”—pantai mewah di atas reruntuhan kemanusiaan. Ironi yang lebih pahit dari kopi hitam tanpa pemanis.
Bayangkan, dunia diminta percaya bahwa Gaza akan dijadikan zona wisata kelas dunia, sementara rakyatnya diusir ke negara ketiga atau dibiarkan kelaparan. Ini bukan sekadar kebohongan, ini penghinaan terhadap logika dan empati.
Di Indonesia, kita menyaksikan semua ini dengan kemarahan yang tak pernah benar-benar padam. Isu Palestina bukan sekadar berita luar negeri. Ia adalah luka kolektif yang kita warisi, dan kita pahami dengan perasaan. Kita tahu betul bahwa narasi kemanusiaan dari negara-negara besar sering kali hanyalah bungkus untuk kepentingan. Lobi pro-Israel di Inggris, Prancis, dan Kanada terlalu kuat untuk ditentang. Mengambil langkah nyata seperti embargo senjata hampir mustahil. Mereka juga harus menghadapi kenyataan bahwa mitra mereka, Jerman dan AS, masih berdiri kokoh di belakang Israel. Ini seperti bermain catur, tapi setiap pion adalah manusia, dan setiap langkah membawa konsekuensi berdarah.
Jadi, apa yang seharusnya kita tunggu sebagai bukti keseriusan mereka?
Pertama, embargo senjata. Jika Inggris benar-benar menghentikan ekspor senjata, atau Prancis mendorong sanksi di Uni Eropa, itu baru sinyal nyata. Kedua, tekanan terhadap pembukaan akses bantuan kemanusiaan. Lima truk bantuan, dengan dua di antaranya hanya membawa kain kafan, adalah lelucon kejam yang tak pantas di tengah tragedi. Gaza butuh 500 truk per hari, bukan pengiriman simbolik untuk pencitraan.
Ketiga, pengakuan resmi terhadap Palestina menjelang KTT PBB. Tanpa itu, semua retorika akan tetap menjadi angin lalu. Terakhir, konsistensi dalam aliansi. Jika mereka tak berani menekan Jerman atau bersuara lantang di hadapan AS, pernyataan mereka hanyalah teater murahan untuk menjaga citra moral yang sudah lama luntur.
Tapi, sejenak, mari bayangkan mereka benar-benar tersentuh. Mungkin mereka mulai melihat bahwa Gaza bukan sekadar statistik, melainkan kehidupan yang hancur—ibu yang kehilangan anak, anak yang tak pernah tahu apa itu sekolah, ayah yang menggali kubur dengan tangan kosong. Mungkin tekanan publik mulai membuka mata mereka bahwa diam adalah bentuk dukungan terhadap kebrutalan. Namun realitas politik global jarang memberi ruang bagi hati nurani. Lebih mungkin ini soal menenangkan publik, menyelamatkan reputasi, dan mengikuti arus AS yang mulai goyah.
Gaza adalah cermin paling jujur dari kegagalan dunia. Inggris, Prancis, dan Kanada mungkin mencoba mengenakan topeng baru—dari pendiam menjadi pembela keadilan. Tapi setelah setahun lebih membiarkan Gaza terbakar, perubahan sikap mereka lebih terasa seperti naskah dadakan yang ditulis buru-buru menjelang akhir pertunjukan.
Kita yang menyaksikan dari jauh, tak boleh tertipu. Dunia tak bisa diselamatkan dengan kata-kata manis semata. Embargo senjata, sanksi nyata, dan bantuan kemanusiaan yang memadai adalah tolok ukur kesungguhan. Jika itu tak terjadi, maka pernyataan mereka tak lebih dari lip service. Dan Gaza, seperti biasanya, akan tetap jadi panggung tragedi yang berulang—karena kita membiarkannya.
Tunggu, tapi jangan diam. Gugat, tanya, dan ingatkan: kemanusiaan bukan jargon politik. Ia adalah nyawa yang sedang dipertaruhkan.