Opini
Janji Manis al-Sharaa, Darah Alawi Belum Kering

Damaskus bersuara. Lembut, tegas, dan penuh empati. Setidaknya di atas kertas. Presiden Suriah yang baru, Ahmad al-Sharaa, menyatakan bahwa kekerasan terhadap warga sipil di Sweida—khususnya terhadap perempuan dan anak-anak—tidak dapat diterima dalam standar moral, hukum, maupun kemanusiaan. Ia menambahkan bahwa perlindungan terhadap warga sipil adalah kewajiban nasional yang tak bisa ditawar. Ah, betapa indahnya kalimat-kalimat itu. Sayang, mereka tak cukup kuat untuk membendung aliran darah yang belum kering di desa-desa Alawi di pesisir barat.
Janji itu terdengar akrab. Beberapa minggu sebelumnya, janji serupa telah terlontar dari bibir yang sama. Kala itu untuk kaum Alawi. Tapi kita tahu, janji—terutama dalam dunia politik Suriah pasca-Assad—bisa jadi seperti teh mint di Damaskus: disajikan hangat, harum, dan menenangkan, tapi ketika diteguk, rasanya hanya air hangat dengan aroma yang nyaris menghilang. Tidak ada ampas. Tidak ada efek. Hanya janji yang menguap.
Sweida, wilayah mayoritas Druze di selatan, memang sedang memanas. Baku tembak, dentuman, dan tubuh yang roboh berserakan menjadi rutinitas. Dan seperti biasa, negara—yang entah mengapa masih merasa layak disebut demikian—muncul dengan pernyataan “tegas” yang pada akhirnya hanya menjadi pelengkap berita untuk meredam kegelisahan sementara. Yang menyedihkan bukan hanya isi pernyataannya, tapi keseriusan dunia dalam menganggapnya serius. Seolah retorika dari ruang ber-AC lebih bermakna daripada jeritan mereka yang dikepung oleh maut.
Padahal, tidak jauh sebelumnya, dunia menyaksikan bagaimana janji-janji yang diucapkan atas nama perlindungan terhadap warga Alawi berujung pada sesuatu yang jauh dari perlindungan. Reuters melaporkan hampir 1.500 warga Alawi dibantai dalam rentang waktu beberapa hari. Bukan oleh entitas asing, bukan pula oleh kelompok liar tanpa kendali, melainkan oleh mereka yang kini memakai seragam resmi negara dan berada di bawah struktur pemerintahan baru Suriah.
Bayangkan: seorang ayah menerima telepon dari ponsel anaknya sendiri. Suara di ujung sana bukan suara putranya. Tapi suara yang memberitahu bahwa jantung putranya telah dicabut dari dadanya, diletakkan di atas tubuhnya yang terbuka, dan dia boleh mengambilnya sekarang—sebelum anjing-anjing liar yang kelaparan lebih dulu menemukannya. Ini bukan sinetron. Ini bukan adegan fiksi distopia. Ini Suriah tahun 2025.
Dan al-Sharaa? Ia berjanji. Berjanji bahwa darah yang tumpah tak akan dibiarkan tanpa keadilan. Bahwa siapa pun pelakunya, bahkan dari barisan dalam pemerintahan sendiri, akan dihukum. Bahwa hukum akan ditegakkan dengan hukum. Oh, betapa berani dan elegan kalimat itu! Tapi seperti kebanyakan pidato pejabat Timur Tengah, keindahannya hanya berlaku di ruang dengar, bukan di dunia nyata.
Yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa mereka yang memimpin pembantaian justru mendapatkan promosi. Komandan Unit 400 yang disebut sebagai pelaku pembantaian di desa Sonobar, diangkat menjadi jenderal dan diberikan wewenang atas wilayah yang sama tempat pembantaian terjadi. Komandan milisi Sultan Suleiman Shah, yang juga disebut dalam laporan Reuters sebagai bagian dari aksi keji, justru menerima gelar Brigadir Jenderal. Di Suriah baru, tampaknya pengalaman membunuh massal menjadi syarat karier yang moncer.
Dan jangan kira mereka tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan. Mereka menuliskan pesan di dinding rumah korban: “Kalian dulu minoritas, sekarang kalian hanya sisa.” Sebuah puisi sektarian yang menggantikan slogan negara. Apakah ini harga dari revolusi? Apakah menggulingkan seorang diktator hanya untuk digantikan oleh rezim dengan cat darah yang lebih segar?
Lalu muncullah wajah-wajah dari Eropa dan Amerika Serikat, yang biasanya tampil dengan ekspresi “deeply concerned.” Uni Eropa menjatuhkan sanksi terhadap beberapa faksi, tapi lupa memasukkan nama-nama besar yang kini memakai seragam negara. AS? Mereka terlalu sibuk mengatur ulang prioritas geopolitik dan “lifting sanctions” untuk memperhatikan anak-anak yang dibantai dengan nama mereka.
Tak semua dunia diam. Beberapa organisasi kemanusiaan, termasuk Komisi HAM PBB, menyebut pembantaian ini sebagai pelanggaran serius. Tapi lagi-lagi, bahasa yang digunakan terlalu sopan untuk menggambarkan jantung yang dicabut dari tubuh manusia. Terlalu akademis untuk menerjemahkan jeritan seorang ibu yang melihat suaminya ditembak di mata dan di jantung. Dunia kita terlalu diplomatis untuk menyebut pembunuh sebagai pembunuh jika mereka memegang jabatan resmi.
Sementara itu, kamp-kamp pengungsian di sekitar pangkalan militer Rusia dipenuhi oleh warga Alawi yang melarikan diri dari kampung halaman mereka sendiri. Desa-desa mereka diubah menjadi ladang pembantaian. Rumah mereka diambil alih. Mereka yang dulu dituduh terlalu dekat dengan Assad, kini bahkan tak punya tempat untuk menyembunyikan diri dari pemerintah baru yang katanya membawa harapan.
Ironisnya, dalam banyak kasus, justru warga Sunni biasa yang membantu menyelamatkan para Alawi dari kematian. Ini bukan perang Sunni vs Alawi. Ini bukan perang antar agama. Ini adalah perang antara kekuasaan dan rakyat, yang dibungkus dengan aroma sektarian agar lebih mudah dijual kepada dunia luar. Ini adalah pengulangan sejarah di mana identitas digunakan sebagai senjata, bukan karena agama yang bersalah, tapi karena kekuasaan tak pernah bisa berdiri tanpa kambing hitam.
Di tengah semua absurditas ini, mungkin kita butuh cermin. Di negeri kita sendiri, janji-janji politik sering kali hanya bertahan sampai surat kabar edisi esok pagi terbit. Kita terlalu sering melihat pembantaian dari jauh, sambil meyakinkan diri bahwa itu tak akan pernah terjadi di sini. Padahal, pola-pola yang sama ada: penggiringan opini, demonisasi kelompok tertentu, dan pembiaran terhadap kekerasan atas nama stabilitas.
Maka, jika janji-janji al-Sharaa di Sweida terasa menghibur, ingatlah bahwa mereka tak lebih dari pantun manis yang dibacakan di pemakaman. Kata-kata yang dibuat untuk menenangkan mereka yang masih hidup, bukan untuk menghidupkan kembali mereka yang sudah mati. Dan jika dunia terus membiarkan pembantaian seperti ini terjadi tanpa akuntabilitas, jangan kaget jika besok giliran janji-janji baru akan dibacakan di depan nisan baru.
Begitulah Suriah pasca-Assad: negara dengan pemerintahan baru, tetapi darah yang sama mengalir di sungai-sungai sunyinya. Negeri di mana janji dibuat bukan untuk ditepati, tapi untuk dilupakan bersama nama-nama korban yang tak pernah dicatat dalam laporan resmi. Dan kita, sebagai penonton global, terus menonton tanpa benar-benar melihat.
Sumber: