Connect with us

Opini

Janji Kemenangan Israel, Jauh Panggang dari Api

Published

on

Langit Gaza sudah lama gelap. Bukan karena matahari enggan terbit, melainkan karena kepulan asap dan dentuman artileri yang tak pernah benar-benar berhenti. Setiap kali ada tawaran untuk menghentikan perang, setiap kali pula terdengar jawaban yang seperti sudah disiapkan: “Tidak, belum cukup, kami belum menang.” Padahal kita semua tahu, kemenangan macam apa yang masih dicari setelah dua tahun, ribuan nyawa melayang, dan kota-kota tinggal puing? Ironinya, para pemimpin Israel masih menyebut perang ini memasuki “tahap penentuan”, seolah mereka baru saja menginjak garis start, bukan garis akhir yang sudah lama kabur.

Hamas, dengan segala kontroversinya, justru menawarkan kesepakatan: semua sandera akan dibebaskan, perang dihentikan, Gaza kembali bernapas dengan membuka perbatasan, rekonstruksi dimulai, bahkan sebuah pemerintahan teknokrat bisa dibentuk. Sebuah tawaran yang, setidaknya di atas kertas, menyentuh dimensi kemanusiaan yang paling mendesak. Tetapi Israel membalas dengan daftar syarat yang mustahil: Hamas harus menyerah total, melucuti diri, dan menyerahkan kendali Gaza sepenuhnya. Itu bukan negosiasi, itu ultimatum. Bukan pintu damai, melainkan dinding buntu. Saya rasa kita semua bisa melihat absurditas ini: yang satu bicara tentang tukar-menukar tawanan dan kehidupan sipil, yang satu lagi bicara tentang menyerah tanpa syarat.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Lalu muncullah pernyataan keras Netanyahu dan para jenderalnya. Gaza City akan digempur, tak ada tempat bersembunyi, perang harus selesai dengan kehancuran total Hamas. Kata-kata yang gagah di podium, tapi rapuh di lapangan. Bagaimana tidak? Sudah 23 bulan berjalan, Hamas tidak hilang. Rafah pernah disebut benteng terakhir, tapi kini Gaza City lagi-lagi dijadikan simbol benteng terakhir. Kalau begitu, besok lusa kota mana lagi yang akan mereka sebut “benteng terakhir”? Retorika ini seperti janji diet yang tak pernah ditepati—terus diulang, tapi hasilnya nihil.

Lebih ironis lagi, di dalam Israel sendiri suara sumbang makin keras. Kepala Staf IDF, Eyal Zamir, terang-terangan bilang kalau Gaza City benar-benar diduduki, tak ada pilihan selain memberlakukan pemerintahan militer di seluruh Gaza. Dan ia tahu, itu akan jadi bencana jangka panjang: beban diplomatik, beban militer, beban ekonomi. Oposisi pun tak ketinggalan. Yair Lapid menuding pemerintah membiarkan para sandera jadi taruhan politik, sementara Yair Golan menuding Netanyahu mengorbankan nyawa demi kursi kekuasaan. Itu bukan sekadar beda pendapat, itu pengakuan bahwa strategi perang ini penuh kebuntuan.

Dan lihatlah para tentara cadangan. Sekitar 350 orang menolak panggilan perang, menolak menjadi bidak di papan catur politik. Mereka bilang operasi Gaza City ilegal, berbahaya, tak ada justifikasi keamanan. Bagi bangsa yang selalu membanggakan disiplin militer, ini tamparan telak. Kalau pasukan cadangan saja sudah ogah, lalu siapa yang akan mengangkat senjata? Pemerintah mencoba memanggil 60 ribu orang lagi, tapi apa gunanya angka kalau semangat sudah tergerus? Kita semua tahu, perang tanpa moral hanyalah perhitungan statistik yang kosong.

Sementara itu, rakyat Gaza tak punya kemewahan untuk menolak atau membantah. Mereka hanya bisa bertahan. Setiap hari berita yang datang nyaris sama: anak-anak tewas karena kelaparan, keluarga hancur karena serangan udara, rumah-rumah rata dengan tanah. Lebih dari 62 ribu orang terbunuh atau hilang. Angka yang tak bisa kita bayangkan dalam keseharian kita yang masih bisa duduk di warung kopi, bercanda dengan teman, atau mengeluh soal macet. Apa yang tersisa di Gaza? Tubuh-tubuh dalam kantong plastik putih di jalanan, dan suara tangis yang seolah tak pernah kering. Inilah kenyataan pahit yang tak pernah masuk dalam narasi kemenangan Netanyahu.

Tetapi yang paling menyedihkan adalah klaim-klaim kemenangan itu sendiri. Berkali-kali Netanyahu berkata, “Kami hampir menang.” Berkali-kali pula medan perang membuktikan sebaliknya. Hamas memang terpukul, tetapi tak punah. Korban sipil makin banyak, tetapi tidak menghasilkan keamanan baru bagi Israel. Bahkan sebagian warga Israel mulai sadar bahwa jalan ini bukanlah solusi. Sama seperti seseorang yang menggali sumur di padang pasir—semakin dalam ia menggali, semakin jauh pula ia dari air. Dan di sini, yang jadi pasir bukan sekadar tanah, melainkan nyawa manusia.

Mari kita bicara terus terang. Perang ini tidak lagi soal keamanan. Ini soal politik Netanyahu, soal menjaga koalisi sayap kanan, soal menutupi kegagalan 7 Oktober yang masih menghantui. Jika perang dihentikan tanpa “kemenangan”, Netanyahu bisa jatuh. Maka perang harus dilanjutkan, tak peduli berapa nyawa yang harus jadi tumbalnya. Saya rasa inilah absurditas terbesar: ketika sebuah pemerintahan menganggap keberlangsungan dirinya lebih penting daripada kehidupan rakyat, baik rakyatnya sendiri maupun rakyat Gaza.

Dalam budaya kita, ada pepatah: jauh panggang dari api. Dan rasanya itulah pernyataan para pemimpin Israel hari ini. Mereka berbicara tentang kemenangan total, padahal kemenangan itu makin tak terlihat. Mereka bicara tentang menghancurkan Hamas, padahal Hamas masih bisa menawarkan kesepakatan. Mereka bicara tentang keamanan, padahal rakyat mereka sendiri masih jadi sandera. Kalau bukan ironi, lalu apa? Kita mungkin hanya bisa tersenyum getir membaca klaim-klaim mereka, karena kenyataan di lapangan begitu berbeda.

Seperti yang saya lihat, konflik ini sudah bergeser dari perang fisik menjadi perang absurditas. Satu pihak bertahan hidup dengan sisa tenaga, satu pihak bertahan kekuasaan dengan sisa legitimasi. Dan di tengahnya, dunia hanya bisa menyaksikan, kadang marah, kadang muak, tapi sering juga tak berdaya. Mungkin inilah tragedi zaman kita: kita tahu kebohongan sedang dipertontonkan, kita bisa mencium baunya, tapi kita tetap dipaksa menelan narasi yang basi.

Pada akhirnya, pertanyaan sederhana menggantung: sampai kapan? Sampai berapa lagi yang mati, sampai berapa kota lagi yang disebut “benteng terakhir”, sampai berapa kali Netanyahu berjanji kemenangan? Saya rasa jawabannya bukan pada tank atau jet tempur, tapi pada keberanian untuk jujur. Jujur bahwa perang ini tak menghasilkan apa-apa selain kehancuran. Jujur bahwa sandera bisa diselamatkan hanya lewat perundingan, bukan pengeboman. Jujur bahwa Gaza bukan sekadar medan perang, melainkan rumah bagi jutaan manusia yang berhak hidup.

Dan sampai kejujuran itu muncul, kita akan terus menyaksikan absurditas ini berjalan. Panjang, berliku, penuh darah, tapi tanpa ujung yang jelas. Ya, jauh panggang dari api.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer