Opini
Israel Terhuyung di Bawah Beban Perang Gaza

Debu dan asap menyelimuti langit Gaza, sementara dentuman bom mengguncang bumi, mencerminkan konflik yang tak kunjung reda. Di balik pertempuran sengit, Israel bergulat dengan beban yang kian berat. Menurut Yedioth Ahronoth, militer Israel meminta tambahan 10 miliar shekel (Rp 42 triliun) untuk memperluas operasi di Gaza, namun Kementerian Keuangan menolak keras, mengungkap ketegangan antara ambisi keamanan dan ekonomi yang rapuh. Israel tampak sempoyongan, tertekan oleh biaya perang yang melonjak.
Angka-angka itu berbicara lantang. Calcalist melaporkan Israel telah menghabiskan 250 miliar shekel (Rp 1.050 triliun) pada 2024 untuk serangan di Gaza, jumlah yang mengejutkan bagi negara dengan ekonomi yang mulai goyah. Anggaran pertahanan $31 miliar (Rp 480,5 triliun), termasuk cadangan $2.6 miliar (Rp 40,3 triliun), kini terancam membengkak. Penolakan anggaran 10 miliar shekel (Rp 42 triliun) adalah sinyal cadangan fiskal menipis, memaksa pilih antara keamanan dan stabilitas ekonomi.
Beban ini melampaui keuangan. Operasi militer, seperti rencana penguasaan 40% wilayah Gaza untuk mengamankan permukiman dan mencegah roket, menuntut logistik luar biasa. Bahan bakar, amunisi, dan pemeliharaan Iron Dome menguras sumber daya. Tanpa dana tambahan, militer berisiko membatasi serangan atau gagal mencapai tujuan. Keterbatasan ini mengancam keamanan, moral prajurit, dan kepercayaan publik terhadap IDF, yang selama ini dianggap tak terkalahkan.
Ketegangan antara militer dan Kementerian Keuangan mencerminkan dilema mendalam. Seorang pejabat senior, dikutip Yedioth Ahronoth, menyebut tambahan $2.6 miliar (Rp 40,3 triliun) “tak terbayangkan” di tengah beban fiskal. Konflik ini memperlihatkan keretakan dalam pemerintahan, di mana keamanan bentrok dengan kebutuhan ekonomi. Jika dana dialihkan ke militer, sektor kesehatan, pendidikan, dan teknologi—penopang ekonomi Israel—terancam terabaikan, memicu ketidakpuasan publik yang dapat mengguncang koalisi Netanyahu.
Dampak kemanusiaan perang menambah tekanan. Lebih dari 51.200 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, tewas sejak Oktober 2023. Angka ini mencerminkan krisis kemanusiaan yang memicu kecaman global. International Criminal Court (ICC) mengeluarkan surat perintah penahanan untuk Netanyahu dan Gallant atas kejahatan perang, sementara International Court of Justice (ICJ) menangani kasus genosida. Tekanan internasional ini mengisolasi Israel, memperumit hubungan diplomatik dan akses ke dukungan eksternal.
Ekonomi Israel, yang tangguh berkat teknologi dan bantuan AS $3.8 miliar (Rp 58,9 triliun) per tahun, kini di ujung tanduk. Pengeluaran 250 miliar shekel (Rp 1.050 triliun) meningkatkan defisit anggaran, berpotensi memicu inflasi atau melemahkan shekel. Penolakan anggaran menunjukkan kesadaran akan risiko, tetapi solusi sulit. Menarik pajak atau memotong belanja publik untuk perang dapat memukul daya beli, memperburuk ketegangan sosial di masyarakat yang sudah terpolarisasi.
Polarisasi ini terlihat jelas. Penduduk permukiman dekat Gaza mendesak operasi militer tegas, mendukung dana tambahan untuk keamanan. Namun, pelaku bisnis dan generasi muda khawatir pengeluaran $67.57 miliar (Rp 1.047,3 triliun) merusak ekonomi. Protes, yang sering muncul terkait kebijakan pemerintah, bisa meningkat jika krisis ekonomi memburuk. Solidaritas nasional, biasanya kuat menghadapi ancaman, terkikis oleh ketegangan antara mereka yang mengutamakan keamanan dan yang menuntut stabilitas ekonomi.
Militer Israel, meski kuat, merasakan dampaknya. Keterbatasan anggaran 10 miliar shekel (Rp 42 triliun) mengganggu rantai pasok, dari bahan bakar hingga suku cadang tank. Iron Dome, krusial melawan roket, membutuhkan dana konstan. Jika terbatas, pertahanan menurun, meningkatkan kerentanan. Moral prajurit cadangan, yang terus dipanggil, bisa tergerus tanpa dukungan penuh. Ketegangan ini menguji ketahanan IDF sebagai kekuatan militer terdepan.
Secara strategis, kewalahan ini mengubah dinamika konflik. Tanpa dana $2.6 miliar (Rp 40,3 triliun), operasi di Gaza bisa terhambat, memungkinkan kelompok bersenjata memulihkan kekuatan atau melancarkan serangan. Ketidakmampuan menguasai wilayah Gaza melemahkan kepercayaan publik terhadap militer, baik domestik maupun global. Reputasi IDF berisiko ternoda, terutama jika serangan roket kembali mengguncang permukiman, memperburuk persepsi keamanan nasional.
Perspektif geopolitik menambah kompleksitas. Isolasi diplomatik akibat tuduhan kejahatan perang dapat membatasi kerja sama militer atau ekonomi dengan sekutu Eropa. Ketergantungan pada AS, meski vital dengan $3.8 miliar (Rp 58,9 triliun), tidak cukup menutupi biaya perang. Negara-negara tetangga, yang mengamati kelemahan fiskal Israel, mungkin memanfaatkan situasi untuk menekan secara politik atau militer, meningkatkan ketegangan regional yang sudah tegang.
Dari sudut pandang masyarakat internasional, perang ini memperdalam persepsi negatif. Organisasi kemanusiaan menyerukan gencatan senjata, menyoroti 51.200 korban sebagai bukti pelanggaran hak asasi. Media global, yang meliput kehancuran Gaza, memperkuat narasi bahwa Israel bertindak berlebihan. Tekanan ini tidak hanya diplomatik tetapi juga ekonomi, karena boikot atau sanksi informal dari beberapa negara dapat menghambat ekspor teknologi, yang menyumbang 15% PDB Israel.
Jangka panjang, perang ini mengancam fondasi Israel. Pengeluaran 250 miliar shekel (Rp 1.050 triliun) menghambat investasi di sektor produktif, seperti riset teknologi atau infrastruktur. Generasi muda, yang mengharapkan peluang ekonomi, bisa kehilangan kepercayaan pada pemerintah jika krisis berlanjut. Ketegangan sosial, ditambah polarisasi politik, berisiko memicu instabilitas domestik, melemahkan kemampuan Israel menghadapi ancaman eksternal di masa depan.
Namun, Israel belum sepenuhnya runtuh. Bantuan AS dan sektor teknologi memberikan bantalan, meski terbatas. Pemerintah mungkin mencari pinjaman atau efisiensi anggaran untuk meredam tekanan. Diplomasi, meski sulit, bisa menjadi jalan keluar, misalnya melalui negosiasi gencatan senjata untuk mengurangi biaya militer. Tanpa langkah ini, beban perang akan terus menekan, mengubah sempoyongan menjadi ancaman krisis yang lebih serius.
Israel berdiri di tepi jurang. Beban perang, dari miliaran shekel hingga nyawa yang hilang, menguji keuangan, militer, dan ketahanan nasional. Negara ini masih bertahan, tetapi langkahnya kian berat. Jika konflik berlarut-larut tanpa solusi, sempoyongan ini bisa menjadi tergelincir, membawa Israel ke krisis ekonomi, sosial, dan geopolitik yang sulit dipulihkan, dengan konsekuensi yang mengguncang masa depan bangsa.