Opini
Israel Takut Pada Narasi, Bukan Pada Rudal

Tel Aviv diguncang rudal hipersonik “Palestine 2.” Ashdod dihantam proyektil serupa. Pembangkit listrik di Ashkelon diserang. Umm al-Rashrash dibombardir delapan drone sekaligus. Itu bukan fragmen film dokumenter masa depan, bukan skenario latihan militer virtual, dan bukan pula teori konspirasi dari lorong gelap internet. Itu laporan serangan nyata yang diklaim oleh Angkatan Bersenjata Yaman. Negeri yang oleh banyak kalangan internasional disebut tak lebih dari reruntuhan akibat perang panjang, ternyata justru menyalakan bara perlawanan lintas benua dengan tingkat presisi dan keberanian yang membuat banyak kepala di Tel Aviv pening.
Namun lebih mencengangkan daripada serangan itu sendiri, adalah diamnya langit Israel. Bukan karena rudal berhasil dicegat. Bukan pula karena serangan itu tipuan. Melainkan karena sirine peringatan sengaja dimatikan. Bisu. Terkunci. Bungkam. Seolah udara yang menyimpan dentuman itu tak pantas mengusik kenyamanan psikologis para pemukim. Seolah alarm itu terlalu mengganggu untuk dibunyikan, terlalu jujur untuk diizinkan bersuara. Maka tak salah bila muncul dugaan dari sejumlah kanal Telegram dan sumber lokal Israel sendiri: sirine dimatikan bukan karena tak perlu, tapi karena dianggap bisa “mengacaukan narasi.”
Confirmed by Israeli telegram channels: Israel deactivated the sirens to not lose the narrative war.
They want the settlers to feel safe, meanwhile Yemeni Missiles high likely hit their targets, as claimed. https://t.co/vd2Yy5OdOW pic.twitter.com/V2HefloCAe
— MenchOsint (@MenchOsint) July 7, 2025
Narasi. Kata itu terasa lebih menakutkan dari rudal. Karena ia membentuk realitas tanpa harus nyata. Karena ia bisa menenangkan jutaan orang, bahkan saat tanah di bawah mereka mulai bergetar. Karena ia bisa membuat warga percaya bahwa semuanya baik-baik saja, meskipun rumah tetangganya sudah menjadi puing-puing. Ini bukan kali pertama propaganda menjadi sistem pertahanan utama sebuah negara. Tapi bila itu dilakukan dengan mengorbankan sistem peringatan dini bagi warga, maka kita tidak sedang berbicara tentang strategi, melainkan skandal moral.
Sejak lama, Israel membanggakan diri sebagai benteng pertahanan canggih di Timur Tengah. Dengan Iron Dome, Arrow, dan segala rupa teknologi yang sebagian besar disuplai oleh Amerika Serikat, mereka memproklamirkan diri sebagai kekuatan tak tertembus. Tapi kini, dengan senyapnya sirine dan kabar meledaknya rudal di Tel Aviv, kita melihat retakan di dinding tebal propaganda itu. Dan retakan kecil, seperti yang kita tahu dari sejarah, sering kali menjadi awal dari runtuhnya tembok besar.
Barangkali inilah zaman ketika suara sirine dianggap lebih berbahaya daripada rudal itu sendiri. Karena sirine menandakan pengakuan bahwa kita sedang diserang. Dan pengakuan itu, dalam dunia penuh ilusi ini, adalah bentuk kekalahan paling awal. Maka diam adalah taktik. Bukan demi ketenangan, tapi demi kelanggengan narasi. Warga tak perlu tahu kebenaran, asal mereka tetap bisa tidur malam itu tanpa rasa panik. Bahwa mereka bisa mati dalam tidur, itu soal belakangan.
Lucu, sekaligus getir, melihat sebuah negara modern dengan sistem keamanan bertaraf dunia memilih menyembunyikan kenyataan dari rakyatnya sendiri. Tak jauh beda dengan orang yang tahu rumahnya terbakar, tapi menutup jendela agar asapnya tak terlihat dari dalam. Tak ada yang panik, memang. Tapi semua akan hangus pada waktunya.
Yaman, yang selama ini dijuluki sebagai “tanah penderitaan tanpa akhir,” kini menjelma menjadi duri tajam yang menusuk narasi superioritas militer zionis. Bukan sekadar perlawanan simbolik. Ini serangan militer strategis, dengan target yang tidak main-main: bandara, pelabuhan, pembangkit listrik. Semua infrastruktur vital yang selama ini menjadi tulang punggung mobilitas dan ekonomi Israel. Dan tak main-main pula, yang diluncurkan bukan sekadar drone rakitan, tapi rudal hipersonik—senjata berkecepatan tinggi yang sulit dideteksi, apalagi dicegat.
Tentu saja, banyak yang skeptis. Apakah Yaman benar-benar memiliki kemampuan itu? Bukankah mereka terpuruk dalam konflik internal dan embargo? Tapi bukankah sejarah dunia sudah berulang kali menunjukkan bahwa kesulitan dan penderitaan justru kerap menjadi dapur inovasi paling revolusioner? Iran, sekutu utama Yaman, punya catatan panjang tentang itu. Ketika dunia mengucilkan mereka, mereka malah tumbuh menjadi kekuatan regional dengan jaringan proksi yang efektif di banyak titik panas Timur Tengah.
Dan kini, Yaman tampaknya tidak hanya menyalakan nyala api perlawanan, tapi juga melemparkan bara itu jauh ke jantung musuh. Apa pun yang terjadi di Tel Aviv, Ashdod, Ashkelon, dan Eilat—baik yang diakui maupun yang ditutup-tutupi—telah mengguncang kesadaran geopolitik kawasan. Bahwa dominasi Israel ternyata rapuh. Bahwa siapa pun bisa menyentuh mereka. Bahkan dari arah selatan yang sebelumnya dianggap hanya berisi gurun, penderitaan, dan reruntuhan.
Ada hal menarik bila kita tarik ke konteks lebih luas—bahkan ke tanah air. Di negeri ini pun, narasi sering kali lebih penting dari kenyataan. Pemerintah lebih takut pada penurunan kepercayaan publik daripada pada lonjakan harga sembako. Lebih cepat merespons trending topic daripada menyentuh akar masalah sosial. Kita punya banyak “sirine” yang sengaja dimatikan: data kemiskinan yang dimanipulasi, angka pengangguran yang dipoles, kasus korupsi yang tenggelam dalam pusaran pencitraan. Maka tak heran jika rasa “aman” yang kita rasakan sering kali hanyalah ilusi yang dipoles media dan buzzer.
Betapa dekatnya kita dengan Israel dalam hal ini. Sama-sama lebih takut pada keretakan narasi ketimbang keretakan kenyataan. Sama-sama ingin menjaga citra stabilitas, meski fondasinya keropos. Kita tidak punya rudal hipersonik yang menghantam, tapi punya bom sosial dalam bentuk ketimpangan yang terus melebar, ketidakadilan yang dibiarkan, dan kebohongan yang diberi panggung.
Maka ketika sirine tak lagi berbunyi, mungkin itu bukan karena kita aman. Tapi karena ada yang tak ingin kita tahu bahwa kita sedang dalam bahaya. Dan ketidaktahuan itu, dalam skala nasional, bisa lebih mematikan daripada seribu ledakan.
Israel memilih diam. Dan diam itu berbicara banyak. Ia bukan lagi simbol ketenangan, tapi tanda bahwa sesuatu yang besar sedang retak dari dalam. Tak peduli seberapa kuat bentengnya, jika rakyat mulai menyadari bahwa mereka dibohongi oleh pemimpinnya sendiri, maka perlawanan bisa muncul bukan hanya dari luar, tapi dari dalam.
Yaman mungkin hanya permulaan. Tapi bukan tak mungkin, jika dunia terus membuka mata dan telinga terhadap apa yang benar-benar terjadi, maka sirine-sirine yang selama ini dibungkam akan mulai terdengar lagi. Tidak untuk menebar ketakutan. Tapi untuk membangunkan kesadaran.
Dan kadang, suara paling jujur datang justru dari dentuman yang tak terdengar.