Connect with us

Opini

Israel Siksa Anak-anak Palestina, Dunia Pilih Bungkam

Published

on

Di sebuah kota kecil bernama Silwad, dekat Ramallah, seorang anak laki-laki berjalan di antara kebun zaitun. Namanya Walid Khaled Abdullah Ahmad. Usianya baru 17 tahun. Wajahnya masih menyimpan keceriaan masa remaja, mungkin baru selesai bermain bola atau membantu ayahnya di ladang. Tapi senyum itu tak akan pernah terlihat lagi.

Akhir Maret 2025, Walid meninggal di Penjara Megiddo, Israel. Tubuhnya rusak. Laporan dari Defense for Children International – Palestine (DCIP) mengungkap autopsi: kelaparan, dehidrasi karena diare colitis, infeksi dari malnutrisi berkepanjangan, dan penolakan perawatan medis. Bukan kematian alami—ini kematian sistematis dari sistem penahanan brutal.

Tiga organisasi hak asasi Palestina—Komisi Urusan Tahanan, Masyarakat Tahanan Palestina, dan Addameer—melaporkan bahwa sejak Oktober 2023, sekitar 1.200 anak dari Tepi Barat telah ditahan. Setiap hari, mereka menghadapi penyiksaan, kelaparan, dan pengabaian medis. Walid menjadi simbol nasib tragis anak-anak Palestina di bawah pendudukan.

Seperti anak-anak lain, Walid ditangkap dalam razia malam yang jadi rutinitas. Ayahnya berkata bahwa ia tidak punya masalah kesehatan sebelumnya. Namun, di balik jeruji penjara, tubuhnya melemah. Autopsi oleh Institut Forensik Abu Kabir, Tel Aviv, menemukan tanda trauma tumpul: udara di rongga dada dan perut, kemungkinan akibat pukulan keras.

Luka robek di lehernya, peradangan di usus besar, dan bukti malnutrisi ekstrem juga ditemukan. “Dia dipukuli, dibiarkan kelaparan, dan diabaikan secara medis,” kata sang ayah. Tubuh Walid menyusut. Ia menderita scabies, infeksi, kehilangan kesadaran, lalu meninggal dunia. Bukan kecelakaan—ini kebijakan penghancuran semangat anak-anak Palestina.

Angka-angka memperkuat cerita ini. Pernyataan bersama organisasi hak asasi pada 5 April 2025, diliput Anadolu Agency, menyebut 1.200 anak ditahan sejak Oktober 2023. Di Gaza, jumlahnya tidak diketahui karena Israel diduga melakukan penghilangan paksa. Dari total 9.500 tahanan Palestina, lebih dari 350 adalah anak-anak.

Mereka hidup dalam kondisi yang digambarkan sebagai penyiksaan sistematis. Walid adalah anak pertama yang meninggal di tahanan sejak perang Gaza dimulai. Namun, 63 tahanan lain juga telah meninggal sejak Oktober 2023, termasuk 40 dari Gaza. Angka-angka ini menunjuk pola kekerasan terhadap anak-anak yang sangat mencemaskan.

Laporan DCIP menyebut bahwa trauma tumpul dan cedera akibat pemukulan oleh penjaga penjara terdeteksi. Ayah Walid mengatakan, “Israel sengaja membunuh anak-anak tahanan. Walid bisa diselamatkan jika mereka memberi perawatan dan nutrisi.” Tapi perawatan itu tak pernah datang. Yang datang hanya penderitaan.

Dalam sel yang dingin, tubuhnya terus melemah. Organisasi hak asasi menyebut kampanye penangkapan ini sebagai upaya mencabut anak-anak dari keluarganya. Mereka dirampas masa kecilnya pada fase paling berdarah dalam sejarah Palestina. Ini bukan hanya penahanan. Ini penghancuran generasi muda secara sistematis.

Trauma dari penahanan melampaui luka fisik. Bayangkan seorang anak 12 atau 13 tahun, ditarik dari rumahnya tengah malam. Dibawa ke fasilitas interogasi, tanpa pendamping, tanpa penjelasan. Laporan mencatat bahwa mereka mengalami penyiksaan, kelaparan, dan pengabaian medis—setiap hari. Luka batin mereka sangat dalam.

Anak-anak yang selamat dari penjara kembali ke komunitas dengan beban trauma. Mereka kehilangan rasa aman, kepercayaan, dan harapan. Sementara itu, keluarga seperti ayah Walid ditinggalkan dengan duka dan pertanyaan: mengapa anak mereka harus mati dengan cara yang begitu menyakitkan dan tak manusiawi?

Walid juga memiliki kewarganegaraan Brasil. Ini menambah kompleksitas. Kematiannya menarik perhatian pejabat dan organisasi sipil Brasil, seperti dilaporkan DCIP. Tapi hingga kini, belum ada akuntabilitas dari pihak Israel. Ini memunculkan pertanyaan: jika anak berkewarganegaraan ganda diperlakukan seperti ini, bagaimana yang lainnya?

Laporan menyebut sejak Oktober 2023, agresi Israel di Tepi Barat menewaskan 944 orang dan melukai 7.000 lainnya. Penahanan anak-anak adalah bagian dari pola kekerasan yang lebih besar. Pola ini tampaknya ditujukan untuk menekan perlawanan dengan menargetkan pihak yang paling rentan—anak-anak.

Hukum internasional seharusnya melindungi anak-anak dalam konflik. Konvensi Hak Anak PBB, yang diratifikasi Israel, menjamin hak atas kehidupan, kesehatan, dan perlindungan dari penyiksaan. Namun, kenyataan berkata lain. Organisasi hak asasi menyerukan tindakan nyata untuk meminta pertanggungjawaban para pemimpin Israel.

Mahkamah Internasional (ICJ) pada Juli 2024 menyatakan pendudukan Israel atas Palestina ilegal dan menyerukan evakuasi permukiman. Tapi tanpa tekanan nyata dari komunitas internasional, seruan ini hanya bergema di ruang kosong. Keadilan tetap jadi bayangan yang jauh dari kenyataan.

Kematian Walid dan penahanan 1.200 anak lain mencerminkan sistem yang gagal melindungi, bahkan aktif menghancurkan. Penjara seharusnya menegakkan hukum, bukan menjadi kuburan bagi anak-anak. Ayahnya berkata, “Dia dibiarkan kelaparan, tidak diobati, dan akhirnya dibunuh.” Kalimat ini adalah dakwaan moral terhadap sistem yang kejam.

Laporan UNICEF April 2025 menyebut lebih dari 1 juta anak di Gaza kehilangan akses ke bantuan penyelamat jiwa. Ini menunjukkan bahwa penderitaan anak-anak meluas, tidak hanya di penjara. Di seluruh wilayah yang terkepung, anak-anak menjadi korban dari perang yang bukan mereka mulai.

Pertanyaan yang tersisa adalah: sampai kapan dunia akan membiarkan ini terus terjadi? Anak-anak seperti Walid bukan ancaman. Mereka remaja dengan mimpi yang direnggut kekerasan sistematis. Data menyebut 350 anak masih berada di penjara Israel, menghadapi nasib yang sama, setiap hari.

Jika kematian Walid—dengan bukti autopsi yang jelas—belum cukup untuk menggugah dunia, lalu apa lagi yang dibutuhkan? Organisasi hak asasi menyerukan sanksi dan akuntabilitas. Tapi tanpa kemauan politik, anak-anak Palestina akan terus jadi korban dari siklus kekerasan yang tak kunjung berakhir.

Kisah Walid adalah peringatan keras. Ia bukan sekadar angka dari 1.200 anak yang ditahan atau 17.000 yang tewas di Gaza sejak Oktober 2023. Ia manusia—anak dengan keluarga, identitas, dan hak untuk hidup. Penjara Israel menjadi kuburan baginya. Bagi yang lain, itu neraka yang terus menyala.

Dunia bisa saja memilih menutup mata. Tapi angka dan cerita ini akan terus bicara. Mereka menuntut keadilan yang belum datang. Hingga hari itu tiba, anak-anak Palestina akan terus membayar harga dari konflik yang tidak mereka ciptakan.

 

*Sumber:

https://english.almayadeen.net/news/politics/gaza-s-children-slaughtered–lifelines-collapse-under-israel

https://english.almayadeen.net/news/politics/over-one-mln-gaza-children-stranded-without-life-saving-aid

https://english.almayadeen.net/news/politics/-israel–detained-1-200-children-from-west-bank-since-oct–7

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *