Opini
Israel Serang Suriah, Julani Diam Saja: Apa yang Salah?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Seorang pemimpin sejati harusnya tahu bahwa ketika musuh datang menggempur, satu-satunya pilihan adalah menghadapinya dengan keberanian, bukan dengan duduk santai sambil menyeruput teh bersama tamu dari Ukraina. Namun, pemimpin Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), Abu Muhammad al-Julani, yang saat ini memimpin Suriah pasca tumbangnya Bashar al-Assad, memilih untuk menghabiskan waktu dengan diplomasi yang jauh dari kenyataan, seperti seorang koki yang sedang asyik meracik resep baru di tengah kebakaran besar.
Bayangkan ini: saat Israel dengan sombongnya melangkah masuk ke kota Quneitra, mengusir pegawai pemerintah dan mengancam kedaulatan Suriah, Julani tampaknya tak terganggu sedikit pun. Sebaliknya, dia memilih untuk duduk di kursi, menatap layar dengan tenang, menunggu kedatangan delegasi Ukraina, sambil membahas “strategi kemitraan” yang jauh dari dunia nyata. Jika ini bukan ironi, saya tidak tahu apa lagi yang bisa disebut sebagai ironi.
Di tengah serangan nyata dari musuh, Julani malah sibuk membicarakan “pengakuan diplomatik” dan “kerjasama internasional.” Alih-alih memimpin rakyatnya dengan sikap tegas menghadapi Israel yang terus menggerogoti kedaulatan mereka, ia malah merancang hubungan internasional yang lebih cocok untuk pejabat yang sedang mengikuti kursus diplomasi daripada seorang pemimpin yang seharusnya memprioritaskan keselamatan warganya.
Begitulah sikap yang dipilih Julani: diam di depan ancaman Israel, lebih memilih merundingkan “kemitraan strategis” daripada mempertahankan tanah yang diperebutkan dengan darah. Apakah dia berharap Israel akan melunak dengan kata-kata manis dari diplomat Ukraina? Atau mungkin dia berpikir bahwa kekuasaan bisa dipertahankan dengan secangkir teh dan beberapa kata diplomatik? Ironisnya, dalam dunia politik, kadang-kadang diam lebih berbahaya daripada tindakan apapun, terutama ketika rakyat menunggu pemimpin mereka untuk bangkit, bukan membiarkan mereka jatuh dalam keputusasaan.
Pernahkah Anda mendengar pepatah, “Ketika rumah sedang terbakar, jangan malah duduk-duduk di ruang tamu sambil menulis surat”? Mungkin Julani belum pernah mendengarnya. Karena dalam kenyataannya, rumah Suriah sudah terbakar hebat, sementara pemimpinnya memilih untuk duduk tenang, menyusun rencana yang seolah lebih cocok untuk rapat kedutaan daripada krisis nyata yang sedang terjadi. Seharusnya dia tahu, ketika api membakar rumah, pemimpin harus turun tangan untuk memadamkan api, bukan sibuk menulis rencana yang tak ada hubungannya dengan kenyataan.
Ini semakin aneh karena respons Julani terhadap serangan Israel. Pasukan Israel yang telah masuk ke wilayah Suriah, mengusir pegawai pemerintah dari gedung-gedung, bahkan mendirikan pos-pos militer di sepanjang perbatasan yang sebelumnya dijaga ketat, tidak memicu reaksi yang jelas dari dirinya. Bukankah serangan seperti ini seharusnya menjadi ancaman nyata? Bagaimana bisa Julani mengabaikan serangan yang mengusir rakyatnya, merampas wilayahnya, dan membangun pos-pos militer di tanah Suriah? Atau, apakah memang dia tak menganggap Israel sebagai ancaman sama sekali, sehingga memilih untuk tetap tenggelam dalam urusan diplomatik yang jauh dari kebutuhan rakyat Suriah yang sedang berjuang?
Ini sangat aneh, karena jika rakyat Suriah dipaksa meninggalkan tanah mereka oleh Israel, seharusnya Julani merasakannya sebagai masalah besar. Namun, tampaknya ia lebih memilih untuk melanjutkan permainan politik dengan pihak-pihak yang tidak memiliki kepentingan untuk menyelamatkan tanah dan rakyat Suriah.
Sementara Israel terus memperluas kekuasaannya dengan cara yang tak kenal ampun, Julani sibuk dengan diplomasi seakan-akan konflik ini hanya soal meja perundingan. Seolah-olah ia tidak melihat kenyataan bahwa yang ia hadapi bukan sekadar masalah internal atau konflik antar faksi, melainkan ancaman dari luar yang siap menghapus segalanya. Tapi Julani tetap tenang, karena mungkin ia yakin, dengan kata-kata manis, dia bisa mengatasi segala permasalahan, bahkan yang datang dengan tank dan misil.
Inilah ironi terbesar dari semua: rakyat Suriah yang sudah lelah, yang sudah terlalu lama terjebak dalam kekacauan perang, mungkin ingin melihat pemimpin mereka mengangkat senjata dan bertempur untuk tanah air. Bukan malah mengangkat cangkir teh dan memikirkan masa depan diplomatik yang tak pasti. Inilah saatnya pemimpin menunjukkan ketegasan, bukan sekadar menyusun rencana jangka panjang dengan negara-negara yang bahkan belum tentu tahu apa yang sebenarnya terjadi di Suriah.
Mungkin Julani berpikir bahwa memegang kendali politik lebih penting daripada memegang kendali atas keselamatan rakyatnya. Tetapi dalam sejarah, pemimpin yang memilih kekuasaan pribadi di atas keselamatan rakyatnya sering kali berakhir dengan tangan kosong. Begitulah ironi, dan dalam hal ini, Julani mungkin sedang menciptakan sejarahnya sendiri: sebuah sejarah yang penuh dengan diplomasi yang tidak mengubah apapun, sementara rakyat yang ia klaim pimpin terus terlupakan dalam bayang-bayang penjajahan asing.
*Sumber: The Cradle