Connect with us

Opini

Israel Pecah! Netanyahu di Ujung Tanduk?

Published

on

Di sebuah negeri kecil yang mengklaim dirinya sebagai benteng demokrasi di Timur Tengah, para pemimpinnya justru sibuk bertikai seperti anak-anak berebut mainan di taman bermain. Benjamin Netanyahu, sang maestro ilusi politik, kini mendapati dirinya dikelilingi oleh musuh yang tak lagi hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam rumahnya sendiri.

Di dalam ruang-ruang rapat penuh asap kepanikan, kepala Shin Bet Ronen Bar dan pejabat militer yang menangani isu sandera bersitegang dengan Netanyahu. Bukan karena mereka peduli pada keadilan atau kemanusiaan, tapi karena mereka sadar bahwa kebohongan yang terlalu lama dipelihara akhirnya akan membusuk dan mengeluarkan bau menyengat yang sulit disembunyikan.

Netanyahu, dengan wajah tebal yang bahkan beton pun kalah kuat, terus menunda fase kedua gencatan senjata. Dalihnya? Ia menunggu utusan AS, Steve Witkoff, seolah lelaki itu adalah mesias yang akan turun membawa mukjizat. Dalam dunia nyata, semua tahu Netanyahu hanya ingin membeli waktu sambil menghitung peluang politiknya sendiri.

Namun, Ronen Bar rupanya bukan tipe pria yang bisa diam saja menyaksikan sirkus murahan ini. Dengan nada sinis, ia menuding bahwa pemerintah sedang menipu rakyatnya sendiri. Mereka dijanjikan kemenangan total, tapi yang mereka dapatkan adalah perpanjangan konflik tanpa kepastian, seperti seorang pecandu yang terus dijanjikan dosis berikutnya tanpa pernah benar-benar sembuh.

Sementara itu, di jalanan al-Quds yang penuh dengan poster kampanye dan janji kosong, para pemukim Yahudi menggelar demonstrasi. Mereka ingin lebih banyak darah, lebih banyak tanah, dan lebih sedikit negosiasi. Polisi pun dibuat bingung: haruskah mereka melindungi Netanyahu dari orang-orang yang dulu mendukungnya, atau membiarkan sang pemimpin merasakan sedikit dari kekacauan yang ia ciptakan?

Sementara Netanyahu bermain catur politik dengan pion-pionnya yang mulai memberontak, Hamas tak perlu melakukan banyak hal selain menonton dari jauh dan tertawa kecil. Mereka tahu, musuh yang retak dari dalam lebih mudah dihancurkan ketimbang yang kokoh dari luar. Israel kini bukan sekadar menghadapi perlawanan eksternal, tapi juga perang dingin internal yang bisa meledak kapan saja.

Di Kairo, para mediator Mesir sudah lelah dengan sandiwara ini. Mereka berbicara tentang solusi, tentang perdamaian, tentang kejujuran dalam diplomasi. Tapi siapa yang butuh kejujuran ketika kebohongan telah menjadi mata uang utama dalam politik Israel? Netanyahu hanya ingin bertahan di kursinya, dan jika itu berarti mengorbankan nyawa lebih banyak orang, maka biarlah begitu adanya.

Keputusan Netanyahu untuk menghentikan bantuan kemanusiaan ke Gaza adalah babak baru dalam tragedi ini. Hamas menyebutnya pemerasan murahan, dunia menyebutnya kejahatan perang, tapi Netanyahu mungkin hanya melihatnya sebagai strategi negosiasi. Bayangkan seseorang menahan makanan dari sandera dan menyebutnya sebagai upaya perdamaian. Dunia memang penuh ironi, dan Israel sedang mempraktikkannya dengan sangat serius.

Di balik layar, para jenderal di IDF mulai mempertanyakan apakah mereka benar-benar berperang untuk Israel atau hanya untuk ego seorang pria tua yang takut kehilangan kekuasaan. Mereka tahu bahwa perang tak bisa dimenangkan hanya dengan propaganda, bahwa kenyataan di lapangan selalu lebih brutal daripada ilusi yang diciptakan di meja rapat.

Antonio Guterres dari PBB pun angkat bicara, menyerukan agar Israel tidak bercokol lama-lama di Gaza. Tapi Netanyahu tentu tahu, resolusi PBB hanyalah kata-kata di atas kertas, seperti janji kampanye yang manis di telinga tapi pahit di realita. Selama masih ada dukungan dari Washington, siapa yang peduli dengan suara dunia?

Para pemimpin dunia menonton kekacauan ini dengan segelas anggur di tangan mereka. Sebagian besar dari mereka sudah tahu akhirnya: Netanyahu akan terus menunda, terus mengulur waktu, dan berharap keajaiban datang sebelum rakyatnya benar-benar muak. Tapi sejarah punya kebiasaan buruk untuk berulang, dan pemimpin yang bermain dengan api biasanya berakhir terbakar.

Israel selalu membanggakan dirinya sebagai negara yang memiliki kesatuan internal kuat dan solidaritas tanpa cela. Namun, apa yang terjadi sekarang membuktikan bahwa ilusi itu telah usang. Para pemimpin yang dulu tampak seia sekata kini saling menikam di ruang rapat, lebih sibuk menjaga karier pribadi daripada memastikan keamanan negaranya sendiri. Bayangkan, sebuah negara yang kerap mengklaim memiliki tentara terkuat di dunia, tapi tak bisa menyepakati strategi politik tanpa adu mulut di depan publik.

Ketika Netanyahu berusaha memperpanjang kekuasaannya dengan mengulur gencatan senjata, ia lupa bahwa sejarah tidak berpihak pada diktator yang gemar memanipulasi realitas. Para pemimpin dunia mungkin masih bersikap lunak terhadapnya, tapi di dalam negeri, benih-benih pemberontakan sudah mulai tumbuh. Partai-partai oposisi, kelompok militer yang kecewa, hingga warga sipil yang merasa dikhianati, semuanya tengah menunggu momen yang tepat untuk menjatuhkannya.

Israel kini berada di persimpangan yang menentukan. Jika mereka terus membiarkan Netanyahu bermain dengan nasib negara, kehancuran yang mereka takutkan dari luar justru akan datang dari dalam. Mungkin bukan Hamas atau Iran yang akan mengakhirinya, tapi kebohongan yang terlalu lama dipelihara yang akhirnya meledak dan menelan semua yang ada di sekitarnya.

Di ruang-ruang pertemuan yang megah, Netanyahu mungkin masih tersenyum. Ia berpikir bahwa dengan retorika dan taktik politiknya, ia bisa terus bertahan. Tapi bahkan seorang pesulap pun tahu bahwa trik yang sama tak bisa digunakan selamanya. Penonton akan sadar, panggung akan runtuh, dan ketika itu terjadi, tak akan ada tempat bersembunyi bagi mereka yang selama ini memanipulasi realitas.

Sementara dunia menunggu babak berikutnya dari drama ini, satu hal menjadi jelas: perpecahan di Israel bukan lagi sekadar perbedaan pendapat, tapi tanda bahwa sistem yang mereka banggakan sedang runtuh dari dalam. Dan jika Netanyahu terus berusaha menunda yang tak terelakkan, ia mungkin akan belajar bahwa bahkan pemimpin terkuat pun akhirnya harus menghadapi konsekuensi dari permainannya sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *