Connect with us

Opini

Israel Mulai Mengibarkan Bendera Putih

Published

on

Lebih dari selusin mantan petinggi keamanan Israel muncul dalam sebuah video yang sunyinya lebih nyaring daripada dentuman bom di Gaza. Ada Ehud Barak, mantan perdana menteri dan kepala staf militer. Ada pula Dan Halutz, Moshe Yaalon, Tamir Pardo, dan sederet nama lain yang—katakanlah—dulu tidak dikenal karena kelembutan hati. Kini mereka tampil dalam satu video, bersuara satu: sudah cukup. Mereka menyebut bahwa Israel berada di ambang kekalahan. Dan seperti pahlawan kesiangan yang mendadak tercerahkan, mereka mendesak agar perang di Gaza dihentikan.

Ironi sejarah berputar begitu cepat. Para pengendali kekerasan itu kini mengaku bahwa kekerasan tidak membawa kemenangan. Mereka menyebut perang ini awalnya adil, defensif, lalu berubah menjadi sesuatu yang justru menggerogoti keamanan dan identitas Israel sendiri. Seolah-olah ketika Gaza mulai remuk dan bayi-bayi kekurangan air, mereka baru menyadari bahwa ini bukan lagi “perang melawan teror,” tapi sebuah jalan menuju jurang yang digali oleh tangan mereka sendiri.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Tamir Pardo, mantan kepala Mossad—institusi yang biasa berbisik di balik layar dan menggerakkan sejarah dari balik tirai darah—menyebutkan bahwa dunia kini melihat realitas buatan Israel. Kita sembunyi di balik kebohongan yang kita ciptakan sendiri, katanya. Citra diri sebagai korban, sebagai bangsa yang terus membela diri, kini telah berubah menjadi karikatur: negara bersenjata nuklir yang membombardir kamp pengungsi. Dunia melihat dan dunia muak.

Tentu saja, ini bukan bentuk pertobatan sepenuhnya. Tapi ketika para jenderal tua—yang barangkali bosan dengan seminar militer dan kopi pahit—mulai angkat suara, itu tanda bahwa kapal sedang oleng. Mereka tidak bicara atas nama hati nurani; mereka bicara karena kalkulasi. Mereka bukan LSM, bukan pendeta, bukan aktivis kemanusiaan. Mereka adalah sisa-sisa sistem keamanan yang kini menyaksikan negara mereka berdiri di tepi kekalahan. Dan dalam dunia para jenderal, kata “kekalahan” itu tidak main-main.

Mereka bahkan mendesak Presiden Amerika Serikat, Donald Trump agar menekan Netanyahu menghentikan perang. Ini semacam sandiwara diplomasi di mana anak buah yang sudah pensiun memanggil ayah tiri mereka yang tua agar membujuk majikan baru mereka agar berhenti membakar rumah tetangga.

Tentu saja, permintaan ini akan diabaikan oleh pemerintah Netanyahu. Mengapa? Karena perang ini bukan soal keamanan lagi. Ini soal kelangsungan politik. Netanyahu, yang dihantui berbagai kasus korupsi dan nyaris kehilangan kekuasaan, kini hanya bisa menggenggam kekuasaan dengan satu tangan—sementara tangan lainnya sibuk menunjuk Gaza sebagai musuh abadi. Selama bom dijatuhkan, ia aman. Selama darah mengalir, ia tidak ditendang keluar dari kantor.

Dan tidak, rakyat Israel bukan tidak tahu. Tapi seperti banyak rakyat di dunia, mereka dibius oleh rasa takut dan kebohongan yang terus-menerus dikumandangkan. Hingga kini, keluarga para sandera pun mulai sadar: mungkin satu-satunya cara membawa anak mereka pulang bukan lewat militer, tetapi lewat kesepakatan. Dan kesepakatan itu menuntut satu hal: hentikan perang.

Di sisi lain, Hamas berdiri di reruntuhan, tetap mengajukan syarat yang sama sejak awal: penarikan pasukan dan jaminan gencatan senjata permanen. Bukan karena mereka haus damai, tapi karena bahkan bagi mereka pun, pertumpahan darah yang terlalu lama hanya akan menguntungkan satu pihak: Netanyahu. Tapi Netanyahu, dengan koalisinya yang diisi oleh fanatik seperti Ben Gvir dan Smotrich, tidak ingin perdamaian. Mereka ingin Gaza menjadi tanah kosong untuk didirikan pemukiman Yahudi baru. Sebuah proyek kolonial abad 21, dengan dalih religius dan jargon keamanan.

Sementara itu, para tentara Israel mulai lelah. Kelelahan fisik, mental, bahkan moral. Mereka dikirim ke reruntuhan yang tak berujung, ke labirin penuh amarah dan kehancuran. Mereka tahu, musuh tak akan pernah habis, karena setiap rumah yang hancur melahirkan sepuluh dendam baru. Setiap anak yang kehilangan ibu akan tumbuh menjadi senapan yang menunggu saatnya menyala. Ini bukan operasi militer; ini adalah mesin produksi kebencian.

Dan dunia pun mulai jengah. Di Eropa, demo anti-Israel terus meningkat. Di Amerika Latin, kecaman datang dari presiden hingga pemuda jalanan. Bahkan di kampus-kampus Amerika, kibaran bendera Palestina menjadi pemandangan sehari-hari. Mungkin, satu-satunya tempat di dunia yang masih percaya pada narasi Netanyahu adalah studio Fox News dan ruang kabinet Israel itu sendiri.

Kita di Indonesia, tentu tak bisa sekadar menonton. Karena absurditas ini tidak berdiri sendiri. Ketika negara penjajah mengebom rumah sakit dan menyebutnya “basis teror”, dan dunia diam atau malah mengangguk, itu menjadi preseden. Itu bisa terjadi di mana pun. Maka ketika para jenderal Israel mulai mengibarkan bendera putih, meskipun malu-malu dan penuh ego, kita harus mengangkatnya tinggi-tinggi: Lihat, bahkan mereka tahu ini tak bisa dimenangkan.

Apa yang disebut sebagai kekuatan militer terbaik di Timur Tengah, kini terjebak dalam perang tanpa ujung, menembaki bayangan, memburu hantu, dan menyisakan reruntuhan moral. Mereka menang secara militer, katanya, tapi kalah dalam segala hal lain. Dan dalam sejarah, kemenangan semacam itu disebut kekalahan yang gagal disadari.

Jadi ya, mari kita beri tepuk tangan kecil—bukan karena kita bersimpati, tapi karena kita menyaksikan pertunjukan dramatis: para pembuat perang kini kewalahan oleh perang yang mereka buat sendiri. Dan pelan-pelan, mereka mengibarkan bendera putih. Mungkin bukan di medan perang, tapi di kepala dan kata-kata mereka.

Dan itu, saudara-saudara, adalah awal dari akhir. Atau paling tidak, akhir dari kebohongan yang mereka jual selama ini.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer