Connect with us

Opini

Israel Muak, Netanyahu Makin Haus Kekuasaan

Published

on

“Perdana Menteri Israel adalah orang yang mengerikan. Tak ada pilihan lain selain mengatakannya secara terang-terangan. Benar-benar pria yang mengerikan.” Begitu kata Ben Caspit, seorang jurnalis Israel sendiri. Ini bukan kutipan dari pernyataan Hamas, bukan pula dari pemimpin perlawanan di Timur Tengah. Ini suara dari dalam rumahnya sendiri, dari mereka yang bosan melihat sandiwara murahan seorang Benjamin Netanyahu.

Netanyahu, pria yang senang meminum darah dari penderitaan rakyatnya sendiri, kini semakin sulit menyembunyikan taringnya. Sementara Gaza dibombardir tanpa ampun, dia masih punya waktu untuk bersolek, menciptakan narasi kepahlawanan yang bahkan tak dipercayai oleh timnya sendiri. Dia bagaikan drakula tua yang kehabisan trik, tapi tetap memaksa diri beraksi di depan panggung.

Saat empat jasad tawanan Israel dikembalikan oleh Hamas, Netanyahu bukannya menunjukkan kesedihan yang tulus, melainkan justru sibuk mengklaim kredit atas negosiasi yang bahkan bukan dia yang merancangnya. Bagi Netanyahu, darah, air mata, dan kematian hanya sekadar properti panggung. Seperti aktor yang buruk, dia selalu ingin jadi pahlawan, meski tanpa aksi nyata.

Mereka yang dulu menggonggong membela Netanyahu kini mulai berbalik menggigit. Para pejabat keamanan yang ditunjuknya sendiri mulai mengkritik kebijakan ngawurnya. Shin Bet dan Mossad, yang seharusnya menjadi alat utama Netanyahu dalam mengendalikan narasi, kini menjadi saksi betapa ia lebih sibuk menyelamatkan karier politiknya ketimbang rakyatnya sendiri. Bahkan mesin propagandanya mulai mogok.

Skenario Netanyahu selalu sama. Ketika ada keberhasilan, itu karena kejeniusannya. Ketika ada kegagalan, itu pasti kesalahan orang lain. Dalam realitas Netanyahu, ia adalah satu-satunya orang yang benar, sementara sisanya adalah kumpulan orang bodoh yang tak tahu bagaimana menjalankan negara. Tidak heran, bahkan para sekutunya sendiri kini mulai muak.

Saat berdiri di depan Knesset, Netanyahu dengan percaya diri mengklaim bahwa kesepakatan pertukaran tawanan adalah hasil dari tekanannya. Ia ingin terlihat seperti pemimpin tegas, yang dengan kecerdasannya memaksa Hamas bertekuk lutut. Padahal, kenyataannya Hamas sudah mengajukan opsi itu jauh sebelum Netanyahu mengganti tim negosiasi. Kebohongan, tentu saja, adalah salah satu keahlian lamanya.

Di luar negeri, Netanyahu ingin dikenal sebagai ‘pelindung Israel’. Namun di dalam negeri, rakyatnya mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang dilindungi? Apakah rakyat Israel, atau ambisinya sendiri? Bukankah seorang pemimpin seharusnya bertanggung jawab atas nasib rakyatnya, bukan malah mengorbankan mereka untuk melanggengkan kekuasaan?

Namun, kita tahu, Netanyahu tidak akan menyerah begitu saja. Seperti politisi yang ketagihan kekuasaan, ia akan terus mencari cara untuk bertahan. Jika citranya semakin buruk, mungkin ia akan memerintahkan serangan baru untuk mengalihkan perhatian. Jika semakin banyak pejabat yang berani melawannya, mungkin ia akan mencari kambing hitam baru. Siklus ini sudah terlalu sering terjadi.

Masalahnya, berapa banyak lagi nyawa yang harus melayang sebelum Netanyahu benar-benar jatuh? Seberapa banyak lagi kota yang harus hancur sebelum ia mengakui bahwa dirinya bukanlah penyelamat, melainkan justru bagian dari masalah? Ketika pemimpin lebih sibuk membangun citra daripada mencari solusi, maka kehancuran hanya soal waktu.

Jika ada satu hal yang pasti, Netanyahu tak akan rela pergi tanpa drama. Dia mungkin akan bertahan dengan kuku dan taringnya, seperti monster dalam film horor yang selalu kembali meskipun sudah ditembak berkali-kali. Namun, bahkan monster pun punya akhir. Dan mungkin, hanya mungkin, akhir Netanyahu sudah lebih dekat dari yang ia kira.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *