Opini
Israel Menyerang, HTS Bungkam, Rakyat Suriah Melawan!

Dalam sebuah peristiwa yang hampir terlalu absurd untuk menjadi kenyataan, rakyat Suriah turun ke jalan menuntut pengusiran seorang jurnalis Israel yang menyelinap ke Damaskus. Dengan tangan kosong dan tekad membaja, mereka berteriak menentang intervensi Israel, sementara di sisi lain, pemimpin baru mereka, Ahmad al-Sharaa, tampak lebih sibuk meyakinkan dunia bahwa dia tidak ingin perang dengan Tel Aviv.
Ironi ini semakin menggelikan jika kita mengingat bagaimana Suriah di bawah Bashar al-Assad tak pernah membiarkan Israel bertindak semena-mena di wilayahnya. Kini, di bawah rezim Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) yang baru saja menggulingkan Assad, Israel malah semakin berani mengokupasi wilayah selatan Suriah, seolah-olah diberi lampu hijau oleh mereka yang kini duduk di kursi kekuasaan.
Sungguh menarik melihat bagaimana rakyat jelata, yang tidak memiliki persenjataan berat atau dukungan internasional, justru lebih keras menolak keberadaan Israel dibandingkan pemimpin mereka sendiri. Ahmad al-Sharaa, dengan wajah penuh kebingungan, mengatakan bahwa mereka telah meminta Israel untuk berhenti. Permintaan? Sejak kapan permintaan menghentikan invasi? Mungkin mereka juga berpikir bisa mengusir Israel dengan surat cinta.
Lebih jauh lagi, HTS yang selama ini dikenal sebagai kelompok pemberontak keras malah berubah menjadi gerombolan birokrat pengecut begitu mereka mendapatkan kekuasaan. Dulu, mereka meneriakkan jihad dan kemerdekaan, kini mereka diam seribu bahasa ketika Israel mulai menggerogoti tanah air mereka. Satu-satunya hal yang mereka lawan dengan semangat adalah rakyat sendiri yang tidak sejalan dengan kebijakan mereka.
Jika ada satu hal yang lebih menyedihkan dari penghianatan ini, itu adalah fakta bahwa Israel lebih memahami cara kerja kekuasaan di Suriah dibanding pemimpinnya sendiri. Netanyahu tak perlu mengirim pasukan besar, tak perlu mengebom kota-kota dengan brutal seperti yang mereka lakukan di Gaza. Cukup biarkan pemimpin Suriah yang baru sibuk bertikai di dalam, dan sisa wilayahnya bisa mereka ambil sesuka hati.
Dan kini kita melihat permainan licik Israel semakin terang-terangan. Mereka berbicara tentang “demiliterisasi” Suriah selatan seakan-akan mereka adalah penjaga perdamaian, sementara mereka sendiri memiliki salah satu pasukan militer paling agresif di dunia. Mereka mengaku melindungi kaum Druze dari ancaman yang diciptakan oleh mereka sendiri. Sejak kapan penjajah peduli pada rakyat yang mereka tindas?
Sementara itu, Ahmad al-Sharaa tetap sibuk menenangkan semua pihak, mungkin berharap bahwa dengan tidak melawan, Israel akan pergi dengan sendirinya. Tentu saja, kita semua tahu betapa baik hatinya Israel. Sejarah telah mencatat bahwa ketika mereka mulai menduduki sebuah wilayah, mereka pasti akan menyerahkannya kembali dengan damai—di dunia fantasi.
Tak ada yang lebih menyakitkan bagi sebuah bangsa selain melihat pemimpin mereka bertekuk lutut lebih cepat dari rakyatnya sendiri. Di jalanan Suriah, orang-orang biasa berteriak menolak Netanyahu, menolak Israel, menolak pendudukan. Tapi di istana kekuasaan, mereka yang seharusnya memimpin malah berbisik lirih, meminta maaf, dan menghindari konflik.
Mungkin inilah wajah baru Suriah pasca-Assad: sebuah negeri di mana rakyat masih berani melawan penjajah, tapi pemimpinnya takut mengangkat suara. Negeri di mana rakyat miskin yang tak bersenjata lebih berani menentang Zionisme daripada kelompok bersenjata yang kini menguasai pemerintahan. Sebuah tragedi yang nyaris terlalu ironis untuk dipercaya, tetapi tetap terjadi di depan mata kita semua.
*Sumber: