Connect with us

Opini

Israel Menggila: Genosida Gaza dan Kemunafikan Global

Published

on

Kepala Staf Tentara Baru Israel, Mayor. Jenderal Eyal Zamir, dengan penuh percaya diri mengumumkan rencana ofensif baru terhadap Gaza. Seolah-olah tidak cukup membantai puluhan ribu warga sipil, kini militer zionis bersiap mengulang kebiadaban yang sama dengan dalih keamanan nasional. Tapi mari kita jujur: ini bukan perang, ini pembersihan etnis yang dikemas dengan jargon militer modern.

Laporan terbaru dari New York Times mengungkap bahwa 41 sandera Israel tewas akibat serangan brutal yang dilakukan oleh militernya sendiri. Ironis, bukan? Israel yang mengklaim menyelamatkan warganya justru menjadi algojo mereka. Sementara itu, lebih dari 50.000 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, telah menjadi korban. Ini bukan sekadar angka, ini daftar panjang pembantaian.

Namun, kejahatan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Israel selalu memiliki lisensi untuk membunuh. Dunia Barat, dengan kemunafikan kelas satu, terus mengucurkan dukungan finansial dan persenjataan tanpa jeda. Amerika Serikat, dalang besar di balik layar, memainkan simfoni imperialisme dengan nada tinggi: “Israel berhak membela diri.” Membela diri dari siapa? Dari bayi yang mereka bom di inkubator?

Hukum internasional seharusnya menjadi benteng terakhir melawan barbarisme ini, tetapi Konvensi Jenewa sepertinya hanya selebaran yang tertiup angin di padang pasir Gaza. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC) meski sudah mendakwa para pemimpin Israel atas kejahatan perang, tetapi sampai hari ini, mereka masih bebas melenggang di panggung diplomasi global. Ini bukan sekadar impunitas, ini legalisasi genosida.

Jika ini bukan genosida, lalu apa? Genosida, berdasarkan Konvensi 1948, adalah usaha sistematis untuk menghancurkan suatu kelompok, baik secara fisik maupun psikologis. Gaza bukan hanya dihancurkan secara fisik dengan bom fosfor dan rudal pintar, tetapi juga dibunuh perlahan melalui blokade, kelaparan, dan pemutusan listrik. Semua ini dilakukan dengan dalih “menekan Hamas”—sebuah eufemisme murahan untuk pembunuhan massal.

Taktik hukuman kolektif yang diterapkan Israel telah lama menjadi bagian dari doktrin militernya. Pemadaman listrik total, pemblokiran bantuan kemanusiaan, dan penghancuran rumah-rumah penduduk merupakan bukti nyata bahwa ini bukan sekadar perang melawan militan, tetapi pemusnahan suatu bangsa. Dunia melihat, tapi memilih untuk tetap buta. Pejabat-pejabat PBB mungkin mengeluarkan kecaman yang terdengar sopan, tetapi kecaman itu tidak akan menghidupkan kembali bayi-bayi yang terkubur di bawah reruntuhan.

Dalam dunia yang lebih adil, tindakan Israel terhadap Palestina sudah lama dikategorikan sebagai apartheid. Amnesty International dan Human Rights Watch telah menyebutnya demikian, tetapi siapa yang peduli? Kolonialisme gaya baru ini terus berjalan, didukung penuh oleh kampanye media yang menggambarkan Israel sebagai “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah.” Demokrasi macam apa yang membangun tembok pemisah dan menjadikan rakyat asli sebagai tahanan di tanah mereka sendiri?

Mari kita bicara tentang imperialisme. Israel bukan sekadar negara, melainkan proyek geopolitik yang dirancang untuk menjaga kepentingan Barat di Timur Tengah. Washington, London, dan Brussel memandang Israel sebagai benteng peradaban mereka di tengah “barbarisme Arab.” Tidak heran jika setiap agresi brutal Israel selalu mendapat restu, baik dalam bentuk veto di Dewan Keamanan PBB maupun aliran senjata tanpa henti.

Pola yang sama terus berulang: setiap kali ada perlawanan dari Palestina, Israel merespons dengan eskalasi brutal, lalu mengklaim diri sebagai korban. Media Barat pun dengan cekatan memainkan perannya, mengemas pembantaian ini sebagai “bentrokan.” Bentrokan antara siapa? Jet tempur F-35 melawan anak-anak yang bermain bola di reruntuhan rumah mereka?

Strategi militer Israel, yang mereka sebut sebagai “Doktrin Dahiya,” bukanlah hal baru. Ini adalah kebijakan penghancuran total, memastikan bahwa setiap wilayah yang mereka serang akan ditinggalkan dalam kondisi tidak layak huni. Gaza bukan sekadar dihancurkan, tetapi dijadikan eksperimen brutal bagi industri militer. Setiap bom yang dijatuhkan adalah iklan berjalan untuk senjata buatan Israel yang akan dijual ke rezim-rezim represif di seluruh dunia.

Sementara dunia sibuk berbicara tentang “hak Israel untuk membela diri,” siapa yang berbicara tentang hak Palestina untuk hidup? Hak untuk tidur tanpa ketakutan akan bom yang meledak di tengah malam? Hak untuk mendapatkan air bersih tanpa harus menunggu belas kasihan organisasi kemanusiaan yang dihalang-halangi oleh Israel?

Para pemimpin Barat, yang selalu menasihati dunia tentang nilai-nilai kemanusiaan, ternyata tidak lebih dari sekelompok pedagang kematian. Mereka menutup mata terhadap genosida di Gaza, sementara di saat yang sama berbicara tentang hak asasi manusia di belahan dunia lain. Inilah wajah asli tatanan dunia: aturan dibuat untuk ditegakkan pada yang lemah, sementara yang kuat bisa berbuat sekehendak hati.

Dunia pernah melihat kebiadaban seperti ini sebelumnya. Afrika Selatan di bawah apartheid, Jerman di bawah Nazi, Rwanda di tahun 1994. Namun, ada satu perbedaan mencolok: saat ini, kejahatan itu disiarkan langsung di layar kita, tetapi dunia memilih untuk tetap diam. Apakah kita akan membiarkan Gaza menjadi kuburan massal tanpa ada konsekuensi bagi para pelakunya?

Sejarah akan mencatat kebungkaman ini. Sejarah akan mencatat bagaimana komunitas internasional membiarkan sebuah bangsa dihancurkan dengan alasan keamanan. Dan ketika generasi berikutnya bertanya, “Mengapa tidak ada yang menghentikan ini?” jawabannya akan memalukan: karena dunia lebih peduli pada hubungan diplomatik ketimbang nyawa manusia.

Israel tidak hanya sedang membunuh warga Palestina, mereka sedang membunuh hati nurani dunia. Namun, bagi mereka yang masih memiliki sisa-sisa kemanusiaan, diam bukanlah pilihan. Kita harus berbicara, kita harus menolak, kita harus memastikan bahwa para pelaku kejahatan ini tidak akan pernah lolos dari hukuman sejarah.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *