Connect with us

Opini

Israel Menerapkan Gaya Lama di Tepi Barat, Genosida!

Published

on

Para pejuang Perlawanan Palestina terus menghadapi pasukan pendudukan Israel di Tepi Barat, di tengah agresi militer yang intens terhadap wilayah yang diduduki. Pada Jumat pagi, pejuang Brigade al-Quds di kamp pengungsi Askar, dekat kota Nablus, menargetkan pasukan Israel dengan menggunakan perangkat peledak rakitan (IED). Para pejuang Palestina juga menembakkan senjata otomatis mereka ke arah pasukan Israel, memastikan bahwa tembakan tersebut mengenai sasaran.

Ini bukan cerita baru. Ini adalah pengulangan dari pola yang sama, yang telah berlangsung puluhan tahun. Mungkin mereka pikir, “Jika itu berhasil dulu, kenapa tidak diterapkan lagi?”

Kehidupan di Tepi Barat tidak pernah berubah. Warga Palestina terus merasakan intensitas serangan yang semakin brutal, sementara dunia hanya bisa menonton. Israel, dengan segala kebijakan keamanannya yang terbungkus rapat dalam retorika ‘perjuangan untuk eksistensi’, membungkam kritik dan melanjutkan agresi dengan seolah-olah itu adalah hal yang sah. Berapa banyak lagi yang harus mati untuk mengerti bahwa ini adalah genosida?

Sementara itu, pasukan Israel dengan mudah masuk ke kota-kota seperti Nablus, Areeha, dan Tulkarm, menyerbu rumah-rumah keluarga Palestina, menculik mereka yang tidak bersalah, dan membunuh mereka yang mencoba bertahan. Pembantaian ini bukanlah upaya untuk “menangkap teroris”, tetapi penindasan dan penghancuran sistematis yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Ketika seluruh dunia memalingkan muka, mereka terus melangkah tanpa hambatan.

Jika ada yang bertanya apakah dunia melihat, jawabannya adalah “Ya”, tetapi tidak dengan cara yang pantas. Dunia melihat, tetapi seolah menonton pertunjukan drama murahan di layar televisi—tentang satu pihak yang terus menerus dihancurkan dan satu pihak yang terus berteriak tentang “keamanan” yang seolah-olah sah untuk didapatkan dengan darah. Namun, adakah kedamaian yang tercipta dari kekejaman ini? Atau hanya hancurnya sebuah bangsa yang lama tak terdengar suaranya?

Tak cukup dengan penghancuran fisik, Israel juga melancarkan serangan pada infrastruktur yang lebih penting: kehidupan itu sendiri. Di bawah pengepungan yang hampir tak terbayangkan, Palestina dipaksa untuk hidup dalam kegelapan, tanpa air, tanpa listrik, tanpa komunikasi. Rakyat Palestina kini dihadapkan dengan kekurangan pangan, obat-obatan, dan segala yang diperlukan untuk bertahan hidup. Tapi jangan khawatir, menurut Israel, ini adalah bagian dari “tindakan keamanan.” Keterputusan ini adalah bagian dari “strategi perdamaian.” Seolah kita terjebak dalam absurditas perang yang tak kunjung selesai.

Ada ironi besar yang mengalir dalam darah kebijakan Israel: apakah ini semua benar-benar untuk keamanan mereka, atau justru untuk memastikan bahwa mereka tidak pernah harus berhadapan dengan perdamaian yang sejati? Karena jika Israel benar-benar menginginkan keamanan, mereka harusnya tahu bahwa keamanan tidak datang dengan menghancurkan rumah dan mencabut hak hidup orang lain. Tindakan mereka di Tepi Barat lebih mirip sebuah rencana jangka panjang untuk memastikan bahwa Palestina tidak punya tempat di tanah mereka sendiri.

Mengapa dunia membiarkan ini terus berlanjut? Tidak ada yang lebih provokatif daripada melihat dunia internasional berdiam diri ketika tanah Palestina hancur satu demi satu. Semua pembicaraan damai yang terdengar manis hanyalah kebohongan semata. Ketika negara-negara besar, dengan kata-kata mereka yang terampil, terus mencondongkan diri ke arah Israel, mereka lupa untuk bertanya: bagaimana dengan mereka yang diperkosa tanah airnya, yang tak pernah diberi ruang untuk berbicara?

Bukan hanya militer yang bertindak dengan cara yang sama seperti biasa, tetapi dunia juga secara kolektif membiarkan kebohongan ini diteruskan. Genosida ini bukan sekadar kata-kata kosong. Ini adalah kenyataan yang terus menghantui, yang diterima tanpa pertanyaan. Mereka yang mengatakan bahwa dunia sudah berubah tidak melihat kenyataan di lapangan. Tidak ada perubahan, kecuali penderitaan yang semakin dalam bagi mereka yang terperangkap dalam lingkaran kejam ini.

Begitu banyak pertanyaan tanpa jawaban, begitu banyak nyawa yang hilang, dan begitu banyak infrastruktur yang hancur. Semua ini terjadi di depan mata kita, dan kita bertanya-tanya: siapa yang harus bertanggung jawab atas kehancuran ini? Pihak yang mengklaim ‘membela diri’ atau mereka yang telah berjuang untuk bertahan hidup? Atau mungkin, yang paling sederhana, adalah kita semua yang diam?

Jika ini bukan genosida, lantas apa yang lebih tepat? Ketika setiap sudut kehidupan dihancurkan, ketika setiap hak dasar dicabut, dan ketika pembunuhan menjadi bagian dari agenda harian, apa yang lebih bisa disebut selain genosida? Israel mungkin merasa aman, tetapi apa yang mereka bangun hanyalah tumpukan puing dan darah. Dan kita, dunia yang menyaksikan, tidak bisa lagi berpura-pura tidak tahu.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *