Opini
Israel Menduduki, Al-Sharaa Berdiam Diri

Menteri Pertahanan Israel Israel Katz mengumumkan pada 28 Januari bahwa Israel akan menduduki sisi Suriah dari Gunung Hermon dan beberapa wilayah di selatan Suriah “tanpa batas waktu.” Dalihnya? Demi keamanan komunitas Golan Heights dan Israel utara. Pernyataan ini mencerminkan pola lama: mencaplok, menetap, lalu mencari justifikasi di kemudian hari.
Israel mengklaim bahwa mereka tidak akan membiarkan “kekuatan musuh” bercokol di selatan Suriah. Siapa yang dimaksud? Tidak jelas. Iran sudah tidak ada di sana. Suriah sendiri sudah kehilangan banyak infrastruktur militernya akibat pemboman Israel. Namun, seperti biasa, dalih keamanan selalu efektif untuk melanjutkan ekspansi.
Tel Aviv bahkan berniat menjalin hubungan dengan “populasi yang bersahabat” di Suriah selatan, khususnya komunitas Druze. Ini menarik, mengingat Israel punya sejarah mengeksploitasi kelompok minoritas untuk kepentingannya. Seperti saat mendekati kelompok-kelompok di Lebanon sebelum akhirnya meninggalkan mereka begitu saja ketika keadaan berubah.
Rencana Israel juga mencakup “zona kontrol” 15 kilometer ke dalam wilayah Suriah dan “lingkup pengaruh intelijen” sejauh 60 kilometer. Dengan kata lain, bukan hanya menduduki secara fisik, tetapi juga mengawasi dan mengendalikan situasi dari kejauhan. Sebuah bentuk kolonialisme modern dengan bumbu keamanan.
Bagaimana reaksi Suriah? Nah, di sinilah letak absurditasnya. Ahmad al-Sharaa, pemimpin de facto Suriah yang baru, tampaknya lebih sibuk menyusun narasi bahwa tidak ada alasan bagi Israel untuk tetap di Suriah. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa Israel tidak butuh alasan untuk tetap bercokol di suatu wilayah.
Setelah rezim Assad tumbang pada 8 Desember 2024, Israel dengan cepat memperluas pendudukannya di Suriah. Enam pos militer didirikan di Quneitra, dari Hadar hingga Kodna. Israel juga melakukan serangan udara besar-besaran, menghancurkan hampir semua persenjataan berat Suriah. Sementara itu, al-Sharaa hanya mengeluarkan pernyataan kosong.
Ini seperti melihat seseorang yang baru saja kehilangan rumahnya, lalu meyakinkan pencuri bahwa mereka tidak punya alasan lagi untuk tinggal di sana. Bukannya berusaha merebut kembali, al-Sharaa malah sibuk bernegosiasi dengan entitas yang sudah jelas tidak akan mendengar. Sebuah strategi yang lebih mirip kepasrahan daripada diplomasi.
Kita bisa bertanya-tanya, apakah al-Sharaa dan kelompoknya sekadar pragmatis atau memang tidak punya pilihan lain? Ada yang mengatakan mereka menghindari konfrontasi demi stabilitas internal. Tapi bagaimana bisa ada stabilitas jika sebagian wilayah negara Anda sudah dikendalikan oleh pihak asing?
Sementara itu, Israel terus melangkah maju. Mereka membangun infrastruktur militer baru, memperluas pengaruhnya, dan memperkuat cengkeraman di Suriah. Dunia internasional? Seperti biasa, diam. Mungkin karena sudah terbiasa dengan agresi Israel, atau mungkin karena ada konflik lain yang lebih menarik perhatian.
Kondisi ini menunjukkan bagaimana konflik Timur Tengah bukan lagi soal siapa yang lebih kuat, tetapi siapa yang lebih lihai memanfaatkan keadaan. Israel tidak hanya menang secara militer, tetapi juga dalam permainan diplomasi. Mereka tahu kapan harus bertindak, kapan harus menunggu, dan kapan harus berbicara soal “keamanan.”
Jadi, apakah al-Sharaa benar-benar sedang menjalankan strategi jangka panjang? Ataukah ini hanya tanda bahwa Suriah kini diperintah oleh orang-orang yang tahu bahwa mereka tidak bisa melawan? Satu hal yang pasti: Israel terus memperluas wilayahnya, sementara al-Sharaa terus menutup mata, berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir sendiri.