Opini
Israel Membunuh Fakta, Merakit Legitimasi Palsu

Seorang jurnalis kembali gugur di Gaza. Namanya Islam Al-Koumi. Ia bukan jenderal, bukan komandan militer, bahkan bukan politisi. Hanya seorang editor, pencipta konten yang sehari-hari bergulat dengan kata, gambar, dan informasi. Namun nyawanya terenggut oleh serangan yang jelas-jelas ditujukan untuk membungkam suara. Dengan kematian Al-Koumi, angka jurnalis yang terbunuh di Gaza mencapai 239. Angka yang membuat kita terdiam sejenak, lalu bertanya dengan getir: apa sebenarnya yang sedang diburu oleh mesin perang Israel? Roket? Atau kebenaran?
Laporan dari Government Media Office di Gaza menegaskan betapa sistematisnya pembunuhan ini. Tidak ada yang kebetulan. Tidak ada yang “terselip di antara tembakan.” Targetnya jelas: jurnalis. Orang-orang yang bertugas menjadi mata dan telinga dunia. Ketika mata dicongkel, telinga ditutup, maka yang tersisa hanyalah suara tunggal milik penguasa. Ironi paling pahit dari zaman modern: di era keterhubungan digital, kebenaran justru diputus secara brutal dari sumbernya.
Di titik inilah kita menemukan kejanggalan yang semakin sulit ditutupi: keberadaan unit khusus intelijen militer Israel yang bernama Legitimization Cell. Satu nama yang terdengar birokratis, padahal esensinya begitu telanjang: mencari pembenaran untuk pembunuhan. Di atas meja-meja kantor mereka, bukanlah strategi damai yang dirancang, melainkan narasi palsu untuk menutupi darah yang mengalir di jalanan Gaza. Mereka bekerja seperti tukang cat yang tergesa menutup noda, berharap dunia tak sempat melihat jejak merah yang masih basah.
Saya rasa, inilah salah satu puncak absurditas. Ketika sebuah negara merasa perlu membentuk satuan resmi hanya untuk merakit alasan atas kejahatan yang sudah mereka rencanakan. Kalau memang jurnalis di Gaza benar-benar “terafiliasi” dengan kelompok bersenjata, bukankah seharusnya bukti itu mudah ditemukan? Tetapi yang terjadi justru sebaliknya: mereka menghabiskan hari demi hari, menyisir data, membongkar rekam jejak, dan pada akhirnya gagal menemukan apa pun. Kosong. Tak ada bukti. Maka yang diciptakan adalah narasi—sebuah fiksi yang dipoles agar tampak meyakinkan.
Dan sayangnya, fiksi itu sering kali dikonsumsi dengan lahap oleh media arus utama Barat. Kita terbiasa mendengar kalimat-kalimat standar seperti “target Hamas yang bersembunyi di balik sipil” atau “operasi presisi yang salah sasaran.” Narasi ini persis produk pabrikasi Legitimization Cell. Mirip seperti iklan yang menjual sabun pemutih, hanya saja kali ini yang diputihkan bukan kain kusam, melainkan dosa perang. Bedanya, noda darah tak pernah benar-benar bisa hilang, sekalipun dicuci dengan propaganda berulang-ulang.
Mari kita tarik ke konteks yang lebih dekat. Bayangkan jika di Indonesia, seorang jurnalis terbunuh saat meliput banjir atau kerusuhan, lalu pemerintah buru-buru menudingnya simpatisan kelompok radikal hanya untuk menutup malu. Apa yang terjadi? Gelombang protes, kemarahan publik, tuntutan dari pers nasional. Lalu bayangkan itu terjadi bukan sekali, bukan dua kali, melainkan ratusan kali, hingga jumlahnya menyentuh 239 nyawa. Rasanya kita tak perlu lagi bertanya: ini bukan kelalaian, ini kebijakan.
Kematian Al-Koumi dan rekan-rekannya adalah cermin yang memantulkan wajah asli perang Gaza: sebuah proyek untuk menghapus saksi. Setiap kamera yang hancur, setiap pena yang patah, adalah satu langkah lebih dekat bagi Israel menuju impunitas total. Tak ada dokumentasi, tak ada bukti visual, maka tak ada “kejahatan.” Dengan begitu, perang bisa terus berjalan tanpa hambatan, tanpa ada pertanyaan yang mengganggu di ruang sidang internasional. Legitimization Cell hanya memastikan, kalaupun ada pertanyaan, jawabannya sudah disiapkan: “mereka bukan jurnalis, mereka Hamas.”
Tapi mari kita jujur, siapa yang percaya? Siapa yang bisa dengan waras menerima tuduhan bahwa ratusan wartawan, dari berbagai latar belakang, dengan beragam media, kebetulan semuanya “anggota Hamas”? Tuduhan itu sama konyolnya dengan mengatakan semua aktivis lingkungan adalah teroris hanya karena mereka mengkritik pembakaran hutan. Dan justru di sinilah letak kelemahan narasi Israel: semakin sering mereka mengulang tuduhan tanpa bukti, semakin tampak rapuh kredibilitasnya.
Namun, celakanya, dunia tetap diam. Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Prancis bukan saja bungkam, tetapi ikut menanggung beban dosa sebagai pihak yang membiarkan, bahkan membela. Mereka menutup mata atas fakta bahwa jurnalis yang dilindungi Konvensi Jenewa justru dijadikan sasaran. Mereka lebih peduli menjaga aliansi politik ketimbang menjaga integritas hukum internasional yang selama ini mereka gaungkan. Konsekuensinya jelas: jika impunitas ini dibiarkan, maka pesan yang terkirim ke seluruh dunia sangat berbahaya—bahwa membunuh jurnalis sah-sah saja, asal punya sekutu kuat yang siap menutupi.
Kita semua tahu, tugas jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Tapi di Gaza, tugas itu berubah menjadi vonis mati. Anas al-Sharif sudah sempat memperingatkan sebelum tewas: ia diburu, diancam, difitnah hanya karena pekerjaannya. Kini Al-Koumi menjadi nama terbaru dalam daftar panjang yang tak seharusnya ada. Daftar itu bukan sekadar angka, melainkan daftar saksi yang sengaja dihapus dari sejarah. Dan setiap kali satu nama baru ditambahkan, kita semua kehilangan bagian dari kebenaran yang seharusnya sampai kepada kita.
Di sinilah letak tanggung jawab moral kita. Kita mungkin jauh dari Gaza, tapi kita tahu rasanya dibohongi, dirampas informasinya, dipaksa percaya pada cerita resmi yang tak masuk akal. Sama seperti ketika listrik padam berhari-hari dan kita diberi alasan klise, padahal jelas ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Bedanya, di Gaza, konsekuensinya jauh lebih kejam: hilangnya nyawa, lenyapnya bukti, terkuburnya fakta di bawah reruntuhan. Maka kritik terhadap Legitimization Cell bukan sekadar kritik terhadap unit intelijen asing, melainkan penolakan terhadap praktik manipulasi kebenaran yang bisa terjadi di mana saja.
Saya rasa, membiarkan Legitimization Cell bekerja tanpa perlawanan sama artinya dengan membiarkan kejahatan mengendalikan sejarah. Karena pada akhirnya, perang bukan hanya soal siapa yang menang dengan senjata, tetapi siapa yang menang dalam menuliskan kisah. Dan jika kisah ditulis oleh mereka yang membunuh jurnalis, maka yang tertinggal hanyalah mitos palsu yang membungkus genosida.
Kita semua, entah jurnalis, akademisi, atau pembaca biasa, punya tanggung jawab untuk menolak mitos itu. Menolak propaganda yang disajikan seperti kebenaran. Menolak logika bengkok yang menganggap kamera lebih berbahaya daripada senjata. Karena kalau tidak, kita sedang membiarkan bukan hanya Gaza yang dibungkam, tetapi juga masa depan kebenaran itu sendiri.