Connect with us

Opini

Israel Keteteran: Terlalu Banyak Musuh, Terlalu Sedikit Tentara

Published

on

Laporan dari Haaretz pada 11 Maret mengungkapkan kebocoran besar dalam tubuh militer Israel. Di tengah rencana melanjutkan perang genosida di Gaza, militer negeri Zionis justru menghadapi krisis yang lebih mengancam dari roket Hamas: pasokan tentara yang terus menipis. Reservis mulai enggan bertempur, dan ultra-Ortodoks tetap menolak wajib militer. Mesin perang Israel mulai kehabisan bahan bakar.

Kita menyaksikan negara yang menggali kuburannya sendiri. Israel, yang dulu percaya diri sebagai kekuatan militer tak terkalahkan di kawasan, kini tersandung oleh keangkuhan strateginya. Seperti kekaisaran-kekaisaran yang mendahuluinya, Israel terjebak dalam overstretching—melibatkan diri dalam terlalu banyak konflik hingga tak mampu lagi menanggung bebannya sendiri.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Perang Gaza bukan sekadar invasi brutal terhadap rakyat Palestina, tetapi juga cerminan kesalahan klasik dalam sejarah perang. Ambisi buta untuk menghapus Gaza dari peta telah menyeret Israel ke dalam rawa tak berujung. Sementara Netanyahu dan para menterinya membayangkan kekuasaan absolut, pasukan mereka justru terkikis oleh perlawanan yang tak mereka perhitungkan.

Inilah perang asimetris dalam bentuknya yang paling tajam. Hamas dan kelompok perlawanan Palestina tidak bertempur dalam formasi militer konvensional, tetapi mengandalkan taktik gerilya, serangan mendadak, dan perang psikologis. Setiap rudal yang mereka luncurkan tidak hanya menghancurkan bangunan, tetapi juga mental para serdadu Israel. Ketakutan mulai menjalar di barak militer Zionis.

Di sisi lain, tentara cadangan mulai muak dengan permainan perang Netanyahu. Dalam sejarah Israel, tentara cadangan selalu menjadi tulang punggung militer. Namun, kini mereka mulai bertanya: Apakah perang ini layak? Apakah ini tentang pertahanan atau hanya ambisi fanatik segelintir politisi yang ingin mengusir dua juta lebih penduduk Gaza dari tanah mereka?

Sebagian tentara Israel lebih memilih bertugas di Suriah atau wilayah pendudukan lain yang minim perlawanan dibandingkan harus masuk ke Gaza, tempat setiap gang bisa menjadi jebakan mematikan. Ini bukan sekadar pembangkangan, tetapi gejala kelelahan perang yang bisa menghancurkan moral tentara. Pasukan yang kehilangan keyakinan tak lebih dari sekelompok pria berseragam tanpa tujuan.

Overstretching menjadi semakin nyata saat Israel juga terlibat dalam ketegangan di Lebanon dan Suriah. Hizbullah terus menguji pertahanan Israel di perbatasan utara. Pasukan Zionis harus membagi fokus mereka, sementara Netanyahu sibuk memainkan propaganda bahwa Israel bisa menang di semua front. Kenyataan di medan tempur berkata lain: Tentara mereka terlalu lelah untuk bertarung di banyak medan sekaligus.

Ironisnya, di saat kebutuhan akan tentara semakin mendesak, komunitas ultra-Ortodoks justru tetap menolak wajib militer. Mereka percaya belajar kitab suci lebih penting daripada bertempur. Tentara reguler mulai bertanya-tanya: Jika perang ini benar-benar demi eksistensi Israel, mengapa kelompok Haredi tak merasa perlu mengangkat senjata? Atau mereka tahu sesuatu yang tidak diketahui rakyat biasa?

Strategi militer Israel kini seperti kapal perang yang dihantam badai dari segala arah. Tidak ada arah yang aman, dan setiap keputusan yang mereka ambil hanya membawa mereka semakin dalam ke jurang kehancuran. Netanyahu boleh saja bermimpi membangun kembali permukiman Yahudi di Gaza, tetapi siapa yang akan melakukannya jika tak ada tentara yang mau bertempur?

Dari sudut pandang sejarah, Israel kini menyerupai imperium-imperium yang hancur karena keserakahan mereka sendiri. Kekaisaran Romawi jatuh ketika mereka tak lagi mampu mempertahankan wilayah kekuasaannya yang terlalu luas. Uni Soviet kolaps setelah mencoba bertahan di Afghanistan. Israel, dengan kebijakan ekspansifnya, tampaknya sedang mengantre untuk masuk daftar berikutnya.

Kesalahan fatal Israel adalah menganggap Gaza hanya masalah teknis yang bisa diselesaikan dengan bom dan blokade. Mereka lupa bahwa perlawanan bukan soal jumlah pasukan, tetapi tentang ketahanan. Hamas dan rakyat Palestina telah menunjukkan daya tahan luar biasa meski hidup di bawah blokade selama lebih dari satu dekade. Sementara Israel justru mulai kehabisan tenaga meski memiliki semua peralatan canggih.

Lebih buruk lagi, Netanyahu dan politisi sayap kanan semakin keras kepala. Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Perlindungan Lingkungan Idit Silman secara terbuka menyerukan pengosongan Gaza. Ini bukan sekadar kebijakan brutal, tetapi juga pengakuan diam-diam bahwa mereka tak mampu menang secara militer. Jika tak bisa mengalahkan perlawanan, lebih baik usir seluruh penduduknya, pikir mereka.

Namun, rencana ini tidak lebih dari fantasi buruk. Dunia semakin gerah dengan tindakan Israel. Demonstrasi pro-Palestina mengguncang ibu kota-ibu kota besar dunia. Hubungan dengan sekutu mulai retak, bahkan Amerika Serikat, meski tetap mendukung, mulai merasa risih dengan kebijakan ekstrem Israel. Jika dukungan AS goyah, Israel akan benar-benar sendirian dalam perang ini.

Di dalam negeri, masyarakat Israel mulai sadar bahwa pemerintah mereka sedang bermain api. Setiap hari yang berlalu, lebih banyak nyawa yang hilang, lebih banyak tentara yang ragu, dan lebih banyak sumber daya yang habis sia-sia. Netanyahu bisa terus berbicara tentang kemenangan, tetapi tanpa tentara, tanpa moral yang kuat, dan tanpa dukungan dunia, apa yang tersisa?

Akhir dari overextension militer adalah kehancuran. Israel bisa terus memaksakan diri, tetapi batas ketahanan mereka semakin dekat. Gaza mungkin terlihat kecil di peta, tetapi ia telah menjadi kuburan bagi banyak ambisi imperialis. Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah Israel akan menang, tetapi berapa lama sebelum mereka terpaksa menerima kekalahan yang tak terhindarkan?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer