Opini
Israel-Iran di Ambang Perang?

Israel-Iran di Ambang Perang?
Dua bangsa, Israel dan Iran, berdiri di tepi jurang, menatap satu sama lain dengan napas tertahan, seperti petarung yang tahu satu langkah keliru bisa menyulut api konflik yang membakar dunia. Menurut laporan Al Mayadeen, Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, menegaskan bahwa Israel tak mungkin menyerang Iran tanpa restu Washington, sebuah pernyataan yang menggarisbawahi ikatan erat kedua sekutu. Namun, di balik fasad diplomasi, dunia merasakan denyut kegelisahan: akankah negosiasi rapuh ini mampu menahan dorongan perang? Ketegangan ini bukan sekadar berita di layar televisi; ia menyentuh kita semua, termasuk di Indonesia, di mana gejolak Timur Tengah kerap mengguncang harga minyak dan membangkitkan solidaritas umat di masjid-masjid desa.
Bayangkan Presiden Donald Trump, seperti dilaporkan Al Mayadeen, berbicara melalui telepon dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Senin lalu. Dengan nada tegas, ia berkata, “Kalian tak punya lampu hijau untuk menyerang Iran. Harus ada kesepakatan. Serangan itu harus keluar dari agenda sekarang.” Kata-kata ini bukan sekadar perintah, melainkan cerminan dilema geopolitik: menahan sekutu yang gelisah sambil menjaga harapan pada diplomasi. Netanyahu, sebaliknya, mendesak AS menghentikan negosiasi dengan Teheran, menuduh Iran hanya “membeli waktu” melalui pembicaraan. Trump juga menyentuh Gaza, meminta de-eskalasi dengan nada lelah: “Perang di sana sudah kelelahan.” Di tengah tarik-menarik ini, kita bertanya: bisakah kata-kata menahan amarah yang telah mendidih begitu lama?
Sikap keras Netanyahu bukan tanpa alasan. Israel memandang program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial, ketakutan yang diperkuat oleh keberhasilan intelijen Iran memperoleh ribuan dokumen sensitif tentang infrastruktur nuklir Israel, seperti dilaporkan Al Mayadeen pada 7 Juni. Data ini, termasuk foto dan video, memberi Iran kemampuan untuk membalas serangan dengan presisi ke situs rahasia Israel. Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, pada 9 Juni, menegaskan bahwa informasi ini memungkinkan “respons proporsional” jika diserang. Bagi Israel, ini adalah mimpi buruk strategis: keunggulan intelijen mereka terancam, mendorong tekanan untuk bertindak preventif sebelum Iran semakin kuat. Namun, tanpa dukungan AS, serangan sepihak berisiko tinggi—baik secara militer maupun diplomatik.
Iran, dalam laporan yang sama, menunjukkan strategi ganda yang cerdas. Menteri Pertahanan Aziz Nasirzadeh mengumumkan bahwa semua pangkalan AS di kawasan berada dalam jangkauan rudal Iran, menegaskan bahwa konflik akan memaksa AS “angkat kaki.” Uji coba rudal baru dengan hulu ledak dua ton memperkuat klaim ini, menunjukkan strategi asimetris Iran: memanfaatkan rudal jarak jauh untuk menekan musuh tanpa konfrontasi langsung. Namun, Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi menawarkan harapan di X, menyatakan bahwa kesepakatan nuklir “bisa dicapai dengan cepat” jika sanksi dicabut dan program nuklir damai Iran diakui. Iran, dengan pedang di satu tangan dan cabang zaitun di tangan lain, memainkan permainan geopolitik yang penuh perhitungan.
Ketegangan ini diperumit oleh dinamika global. Laporan CNN mengungkap bahwa Trump mengakui risiko serangan Israel ke Iran meningkat setelah Teheran mengumumkan rencana mempercepat aktivitas nuklirnya, menyusul resolusi IAEA yang mengecam ketidakpatuhan Iran. “Konflik besar bisa terjadi,” kata Trump, “bukan pasti, tapi sangat mungkin.” Ia memerintahkan evakuasi personel AS dari kawasan, mencerminkan kewaspadaan Washington terhadap skenario terburuk. Dalam wawancara dengan Politico pada 12 Juni, Trump menegaskan bahwa serangan Israel “sangat mungkin terjadi,” meski ia menolak menyebutnya “segera” dan menekankan preferensinya untuk diplomasi. “Iran tidak boleh punya senjata nuklir,” tegasnya, “tapi saya ingin mereka sukses, berdagang dengan kita.” Pernyataan ini mencerminkan dilema Trump: menjaga basis politiknya yang cenderung isolasionis sambil menghadapi tekanan dari kelompok hawkish yang mendukung Israel.
Mengapa Iran begitu ngotot? Selain menjaga kedaulatan, Teheran menghadapi tekanan domestik: sanksi AS yang melumpuhkan ekonomi mendorong kebutuhan akan legitimasi nasional melalui kemajuan militer dan nuklir. Strategi asimetris mereka—mengandalkan rudal, proksi seperti Hizbullah, dan intelijen—memungkinkan Iran menantang musuh yang lebih kuat tanpa perang terbuka. Keberhasilan intelijen Iran telah mengubah kalkulasi strategis, membuat Israel lebih hati-hati, tapi juga terdesak. Laporan Politico menyebutkan bahwa Israel mempersiapkan serangan jika negosiasi gagal, dengan dua pejabat senior—Ron Dermer dan David Barnea—dijadwalkan bertemu utusan AS Steve Witkoff untuk membahas posisi Israel. Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth, dalam sidang kongres, menghindari pertanyaan soal menahan Netanyahu, hanya menyatakan bahwa AS dan Israel “memprioritaskan kepentingan masing-masing.”
Di Indonesia, dampak ketegangan ini terasa nyata. Ingat krisis Teluk Persia di masa lalu? Harga minyak melonjak, antrean di SPBU membeludak, dan pedagang kecil di pasar-pasar kita mengeluh karena biaya transportasi membengkak. Konflik Israel-Iran, jika meletus, bisa mendorong harga minyak di atas 100 dolar per barel, membebani subsidi BBM kita dan memangkas anggaran untuk pendidikan atau kesehatan. Solidaritas dengan Palestina, yang sering bergema di masjid-masjid dan media sosial Indonesia, juga bisa memicu keresahan sosial jika konflik meluas. Realitas ini mengingatkan kita: dunia yang kita pikir jauh ternyata begitu dekat, menyentuh kehidupan sehari-hari dari Jakarta hingga pelosok desa.
Trump, dalam laporan CNN, menegaskan keinginannya untuk kesepakatan dengan Iran. “Kami cukup dekat dengan kesepakatan,” katanya, meski dengan nada hati-hati: serangan Israel bisa “membantu atau justru menghancurkan” proses itu. Huckabee, dalam wawancara dengan Ynet, membantah keretakan dengan Netanyahu, menyebut hubungan mereka “kokoh seperti batu.” Namun, perbedaan visi terlihat jelas: Netanyahu memandang diplomasi sebagai kelemahan, sementara Trump bersikeras menjaga pintu negosiasi terbuka. Iran menambah kerumitan dengan tuduhan terhadap IAEA, menurut Fars News pada 10 Juni, menuding badan itu membocorkan informasi rahasia ke Israel, memicu pembunuhan ilmuwan nuklir Iran. Juru bicara Iran, Fatemeh Mohajerani, menyoroti inkonsistensi sikap AS sebagai penghalang negosiasi. “Kami ingin sanksi dicabut dan program nuklir damai diakui,” tegasnya, menegaskan kedaulatan Iran tak bisa ditawar.
Skenario ke depan bergantung pada jalur yang diambil. Diplomasi, melalui negosiasi di Oman, adalah harapan utama. Jika berhasil, kesepakatan bisa meredakan ketegangan, dengan Iran membatasi pengayaan di bawah pengawasan IAEA dan sanksi dicabut bertahap. Namun, jika gagal—misalnya, karena desakan Israel atau inkonsistensi AS—skenario militer mengintai. Israel mungkin melancarkan serangan udara terbatas pada fasilitas nuklir Iran, tapi ini berisiko memicu pembalasan melalui rudal Iran atau proksi seperti Hizbullah, yang bisa menyeret kawasan ke perang luas. Laporan Politico menunjukkan bahwa Israel mempersiapkan serangan, dengan pertemuan Dermer dan Barnea sebagai indikator. Iran, menurut Menteri Pertahanannya, siap menyerang pangkalan AS, menegaskan strategi asimetris mereka. Alternatifnya, insiden tak terduga—seperti serangan siber atau drone tersasar—bisa menjadi percikan yang tak terkendali.
Risiko eskalasi diperparah oleh kelemahan regional Iran. Serangan Israel sejak Oktober 2023 telah melemahkan proksi Iran seperti Hizbullah dan meruntuhkan sekutu seperti Bashar al-Assad di Suriah, memberi Israel jendela strategis untuk bertindak. Namun, data intelijen Iran meningkatkan risiko balasan. AS, menurut Politico, telah mengerahkan B-2 dan B-52 ke Diego Garcia, menunjukkan kesiapan militer meski Trump lebih memilih diplomasi. Kegagalan negosiasi bisa memicu “snapback” sanksi, mendorong Iran keluar dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, mempercepat krisis.
Di Indonesia, dampaknya bukan hanya ekonomi—harga sembako naik, anggaran tergerus—tapi juga sosial. Isu Palestina, yang selalu menyentuh hati masyarakat kita, bisa memicu demonstrasi atau ketegangan agama. Di warung kopi, di media sosial, kita sudah mendengar bisik-bisik keresahan. Ini bukan sekadar geopolitik; ini tentang kehidupan kita, tentang anak-anak yang mungkin tak bisa sekolah karena anggaran dipangkas untuk subsidi BBM. Merenungi semua ini, kita sampai pada pertanyaan yang tak mudah: apa yang bisa kita lakukan? Kita bukan pengambil keputusan di Washington, Teheran, atau Tel Aviv, tapi kita adalah bagian dari dunia yang sama. Menyerukan perdamaian, mendukung diplomasi, atau sekadar memahami kompleksitas ini—mungkin itu langkah kecil. Tapi, seperti Israel dan Iran yang berdiri di ambang perang, langkah kecil bisa menentukan apakah kita jatuh ke jurang atau melangkah mundur ke tempat aman. Akankah dunia memilih damai, atau menyaksikan api konflik membakar kita semua?