Connect with us

Opini

Israel Hadapi Krisis Militer Serius

Published

on

Puluhan ribu tentara cadangan militer pendudukan Israel berbondong-bondong mencari terapi psikologis setelah berbulan-bulan menjalankan tugas mereka. Begitu laporan yang disampaikan Yedioth Ahronoth, sebuah surat kabar Israel. Sebuah ironi, pasukan yang mengklaim sebagai salah satu yang terkuat di dunia kini berhadapan dengan musuh yang tak terlihat: trauma, depresi, dan rasa bersalah yang mencekik.

Program terapi “Amit” yang digagas oleh Kementerian Keamanan Israel kini kewalahan menangani permintaan yang melonjak. Bayangkan, 170.000 tentara mendaftar untuk terapi dalam waktu singkat. Begitu banyak yang ingin menghapus ingatan buruk mereka, mungkin tentang rumah-rumah yang dihancurkan, anak-anak yang terbunuh, atau wajah para ibu yang kehilangan segalanya. Mungkinkah itu hanya “efek samping” dari perang?

Sepertinya, ada yang lupa memberi tahu mereka bahwa menjadi mesin penghancur juga bisa merusak jiwa sendiri. Tentara yang dilatih untuk tak kenal ampun kini bergulat dengan mimpi buruk mereka sendiri. Beberapa memilih cara instan untuk mengakhiri penderitaan mereka. Setidaknya enam tentara telah bunuh diri, dan angka itu mungkin lebih tinggi. Tapi tentu saja, angka resmi bukanlah sesuatu yang ingin diumumkan.

Lebih dari 6.000 tentara baru terdaftar sebagai penyandang disabilitas karena perang, dengan 10.000 di antaranya secara resmi diklasifikasikan mengalami gangguan psikologis seperti PTSD. Sekarang, kita bertanya-tanya: apakah lebih banyak tentara Israel yang terluka oleh perang, atau justru oleh rasa kemanusiaan yang tiba-tiba muncul dalam diri mereka? Mungkin nurani yang selama ini tertidur mulai berontak.

Bahkan sebelum perang selesai, Israel sudah sibuk menangani pasukan yang hancur secara mental. Mereka mungkin tidak akan menyebut ini sebagai kekalahan, tetapi bagaimana bisa sebuah pasukan yang superior mengalami kehancuran dari dalam? Mungkin tank dan drone mereka tetap kokoh, tetapi manusia di dalamnya ternyata tak sekuat yang mereka bayangkan. Kematian jiwa lebih cepat daripada kematian raga.

Dari sudut pandang militer, tentara dengan PTSD adalah ancaman lebih besar daripada lawan bersenjata. Mereka tidak lagi bisa diandalkan di medan perang, terlalu sibuk menghadapi hantu dalam pikiran mereka. Jika jumlahnya terus meningkat, siapa yang akan tersisa untuk melanjutkan perang selanjutnya? Atau akankah Israel mulai mengimpor tentara seperti mereka mengimpor senjata?

Di balik semua ini, ada kenyataan pahit yang mulai terungkap. Tidak ada terapi yang bisa menghapus dosa perang, tidak ada obat yang bisa menyembuhkan luka nurani. Mungkin untuk pertama kalinya, mereka yang terbiasa menghancurkan kini merasakan bagaimana rasanya menjadi korban. Tapi ini bukan balasan ilahi, ini hanya konsekuensi dari kejahatan yang mereka lakukan.

Sementara itu, mereka yang memerintahkan perang tetap duduk nyaman di kursi kekuasaan. Mereka tidak perlu menghadapi malam-malam tanpa tidur, tidak perlu memohon terapi agar bisa bertahan hidup sehari lagi. Bagi mereka, tentara adalah alat yang bisa diganti. Satu batalion hancur? Tidak masalah, tinggal rekrut lagi. Tapi bagaimana jika seluruh pasukan mulai goyah?

Israel menghadapi dilema besar. Jika perang terus berlanjut, semakin banyak tentara yang akan pulang dalam keadaan hancur. Jika perang dihentikan, itu adalah pengakuan bahwa semua ini sia-sia. Mereka bisa mengklaim menang dalam pertempuran, tetapi jika pasukan mereka sendiri runtuh dari dalam, siapa sebenarnya yang kalah? Dunia hanya perlu menunggu jawabannya.

Mungkin yang paling ironis adalah kenyataan bahwa mereka tidak belajar dari sejarah. Kekejaman selalu berbalik menghantam pelakunya. Tentara Israel tidak hanya menghancurkan Gaza dan Lebanon, mereka juga menghancurkan diri mereka sendiri. Jika mereka masih ingin berperang, mungkin yang perlu mereka kalahkan bukanlah musuh di luar sana, tetapi setan dalam pikiran mereka sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *