Connect with us

Opini

Israel Gagal Lagi: Strategi Usang, Hasil yang Sama

Published

on

Mantan Menteri Keamanan “Israel,” Yoav Gallant, menyoroti kegagalan terbesar dalam sejarah keamanan negaranya. Ia mengungkap bahwa pada 11 Oktober, hanya tiga hari setelah Hizbullah membuka front pendukung Gaza, militer “Israel” ingin melancarkan operasi besar di Lebanon, termasuk membunuh Sayyid Hassan Nasrallah dan menghabisi 15 ribu anggota Hizbullah dalam hitungan jam. Sayang sekali, rencana tersebut tidak terlaksana.

Tentu saja, karena tidak terlaksana, kini mereka sibuk menyalahkan satu sama lain. Gallant menyesalkan kegagalan ini sebagai blunder terbesar “Israel.” Mungkin ia berpikir bahwa cukup dengan menekan tombol dan meledakkan beberapa perangkat komunikasi, Hizbullah akan menghilang seperti asap. Seandainya saja perang bisa semudah itu—sayangnya, realitas lebih kompleks daripada khayalan militer Tel Aviv.

Berkali-kali “Israel” membuktikan bahwa mereka tak memahami musuh yang mereka hadapi. Mereka tampaknya menganggap Hizbullah sebagai kumpulan gerilyawan yang bisa dikalahkan dengan strategi usang. Ini seperti mencoba memadamkan api dengan bensin—bukan hanya tidak berhasil, tetapi malah semakin memperburuk situasi. Rupanya, mengulang kesalahan adalah kebiasaan yang sulit ditinggalkan.

Mungkin “Israel” berpikir, jika pemimpin seperti Nasrallah terbunuh, maka Hizbullah akan tercerai-berai. Konsep yang menarik, tetapi sepenuhnya keliru. Hizbullah bukan organisasi yang bergantung pada satu figur, melainkan jaringan yang berakar kuat dalam masyarakat. Pemimpinnya bisa mati, tetapi gerakannya tetap hidup. Sayangnya, ini adalah pelajaran yang terus diabaikan.

Strategi deterrence yang sering dimainkan “Israel” juga tampaknya semakin kehilangan efeknya. Ketika mereka melancarkan serangan besar, Hizbullah tidak mundur, justru semakin termotivasi. Mereka bukan tentara bayaran yang lari setelah kehilangan gaji; mereka adalah ideologi yang bergerak. Tapi tampaknya, para jenderal Tel Aviv lebih senang percaya bahwa dunia masih berjalan seperti tahun 1967.

Bahkan, dalam kegagalan mereka, “Israel” masih memiliki keyakinan yang teguh bahwa Hizbullah bisa dikalahkan dengan pendekatan konvensional. Serangan udara, sabotase elektronik, bahkan ledakan pada perangkat komunikasi hanya menghasilkan lebih banyak korban sipil. Ini seperti menembak nyamuk dengan meriam—tidak efektif, merusak segalanya, dan akhirnya malah memperburuk keadaan.

Lebih menggelikan lagi, “Israel” menganggap bahwa detonasi massal pager dan walkie-talkie akan merusak infrastruktur komunikasi Hizbullah. Sayangnya, mereka lupa bahwa ini bukan tahun 1990-an. Hizbullah bukan organisasi yang bergantung pada perangkat komunikasi konvensional. Mereka sudah beradaptasi, mereka sudah belajar, sementara “Israel” masih sibuk mencoba trik lama yang gagal.

Namun, yang paling ironis adalah keyakinan “Israel” bahwa mereka bisa menang dengan strategi yang sama yang telah gagal selama lebih dari dua dekade. Sejak perang 2006, setiap operasi mereka melawan Hizbullah berakhir dengan kebuntuan. Setiap upaya menekan Hizbullah justru memperkuatnya. Tapi, seperti biasa, keangkuhan lebih kuat daripada logika di kalangan elite militer Tel Aviv.

Mungkin yang paling menyedihkan dari semua ini adalah bahwa “Israel” terus terperangkap dalam fantasi bahwa mereka adalah kekuatan tak terkalahkan. Mereka mengira Hizbullah adalah organisasi yang bisa dihancurkan dengan satu serangan dahsyat. Padahal, sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa setiap kali “Israel” menyerang, Hizbullah hanya semakin kuat. Betapa tragisnya delusi ini.

Jadi, ketika Gallant menyebut ini sebagai kegagalan terbesar, ia mungkin benar. Tapi bukan karena “Israel” tidak meledakkan 15 ribu anggota Hizbullah dalam satu malam, melainkan karena mereka masih berpikir itu mungkin bisa dilakukan. Kegagalan terbesar mereka adalah keyakinan bahwa mereka bisa menang dengan strategi yang sudah terbukti gagal berkali-kali.

Dan seperti biasa, “Israel” akan terus mengulang kesalahan yang sama dan berharap hasil yang berbeda. Sebab, jika ada satu hal yang konsisten dari strategi mereka terhadap Hizbullah, itu adalah ketidakmampuan mereka untuk belajar. Selamat datang di lingkaran setan yang mereka ciptakan sendiri. Semoga kali ini mereka sadar, meskipun sejarah menunjukkan bahwa kemungkinan itu sangat kecil.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *