Opini
Israel Ditinggal Warganya: Dari Surga Jadi Neraka

Hampir 60.000 orang Israel kabur dari “tanah perjanjian” mereka tahun lalu, tak pernah kembali—dua kali lipat dari tahun sebelumnya, kata Haaretz, seolah-olah negeri itu tiba-tiba jadi rumah berhantu yang ditinggalkan penghuninya. Menurut Biro Statistik Pusat Israel, 81% yang pergi adalah kaum muda dan keluarga, usia 25-44 tahun, yang seharusnya jadi tulang punggung masa depan. Lalu, survei C-Marketing bilang 40% penghuni wilayah pendudukan serius mikirin angkat kaki. Ini bukan eksodus biasa; ini seperti kapal megah yang bocor, dan penumpangnya buru-buru lompat ke sekoci, meninggalkan dek yang dulu mereka agung-agungkan. Ada apa, sebenarnya, di balik pelarian ini?
Bayangkan hidup di tempat yang setiap hari dihantui sirene rudal, di mana “keamanan” cuma jargon untuk membenarkan kekerasan, dan harga susu di supermarket bikin dompet menjerit. Perang yang tak kunjung usai, pemerintah yang sibuk merongrong independensi hakim, biaya hidup yang melambung, dan mimpi tentang masa depan yang kian pudar di tanah ini—ini alasan yang mendorong eksodus itu. Riki Cohen, 56 tahun, penulis dan penyair dari Tel Aviv, bilang dia marah tiap dengar ada yang pergi, tapi di lubuk hatinya, dia juga ragu. “Israel bakal jadi diktator,” katanya, “dan apa yang terjadi sekarang cuma bakal bawa kita ke jurang kehancuran.” Rumahnya tak punya ruang aman lagi, dan trauma sirene rudal masih menghantui. Ini bukan cuma soal fisik; ini soal jiwa yang lelah.
Ada wanita lain, tak mau disebut namanya, yang bilang pikiran untuk kabur kini bukan lagi rahasia kotor, tapi obrolan biasa di meja makan. “Selama pendudukan berlanjut, demokrasi cuma omong kosong,” katanya, tajam, seolah menikam narasi besar yang selama ini dijual. Dia belum pergi, tapi hatinya sudah setengah di pintu. Ironi yang menggigit: Israel, yang dibangun sebagai tempat perlindungan, kini jadi kandang yang bikin penghuninya gelisah. Negara yang katanya “benteng demokrasi” di Timur Tengah malah bikin warganya bermimpi tentang Kanada atau Berlin. Bukankah ini absurd, ketika “tanah yang dijanjikan” justru mendorong anak-anaknya mencari tanah lain?
Laporan itu cuma puncak gunung es. Ori Goldberg, dalam esainya di The Nation, melukis Israel sebagai kapal yang karam dalam spiral kehancuran. Perang di Gaza, kata dia, bukan cuma soal bom dan tank, tapi cerminan kegagalan moral dan politik. Tokoh seperti Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir, menteri-menteri yang seolah bangga jadi penutur kebencian, terang-terangan bicara soal pendudukan permanen dan “pengusiran” warga Palestina. “Apa artinya ‘pengusiran’ kalau bukan genosida?” tanya Goldberg, dengan nada yang bikin bulu kuduk berdiri. Sementara itu, masyarakat Israel terpecah: sebagian mendukung aksi militer demi “keamanan,” tapi keamanan macam apa yang dibangun di atas mayat dan puing?
Di sini, ironi mencuat bak pisau bermata dua. Israel memaksa warga Gaza meninggalkan tanah mereka, dengan blokade, bom, dan ancaman, tapi warga Gaza—meski hidup di bawah tekanan tak manusiawi—justru bertahan, berakar kuat di puing-puing rumah mereka. Sebaliknya, puluhan ribu warga Israel, yang katanya hidup di “sisi yang menang,” malah memilih kabur. Ini seperti lelucon kosmik: yang tertindas memeluk tanahnya, yang menindas lari dari tanahnya sendiri. Kalau ini bukan satir hidup, apa lagi namanya?
Goldberg juga menyinggung retakan dalam tubuh Israel sendiri. Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Eyal Zamir, baru-baru ini memperingatkan soal bahaya terhadap sandera dan bahkan berani minta wajib militer untuk kalangan ultra-Ortodoks—langkah yang bikin gempar karena menyinggung sekutu politik pemerintah. Ini bukan cuma soal strategi militer; ini soal kepercayaan yang runtuh. Ketika tentara sendiri mulai mempertanyakan pimpinan, apa lagi yang tersisa dari narasi “persatuan” yang selama ini digembar-gemborkan? Israel, kata Goldberg, sedang berjalan di tepi jurang, dan yang mendorongnya bukan musuh luar, melainkan tangan-tangan di dalam.
Coba bayangkan, di Indonesia, kita juga paham soal harga cabe yang naik, listrik yang tiba-tiba padam, atau janji politik yang cuma manis di bibir. Tapi bayangkan kalau tiap malam ada sirene rudal, kalau pemerintahmu sibuk merampas kebebasan hakim, kalau menteri-menterimu terang-terangan bicara soal mengusir tetangga. Rasanya seperti hidup di sinetron buruk yang naskahnya ditulis oleh penutur kebencian. Di Israel, ini bukan fiksi—ini keseharian. Dan keseharian itu, ternyata, cukup untuk bikin 60.000 orang bilang, “Cukup, saya mau keluar.”
Tapi jangan salah, ini bukan cuma soal Israel. Ini juga cermin buat kita semua. Negara mana pun bisa jatuh ke lubang yang sama kalau membiarkan ekstremisme tumbuh, kalau “keamanan” jadi alasan untuk menghalalkan segala cara, kalau warganya mulai merasa masa depan lebih cerah di negeri orang. Israel, dengan segala narasi besar tentang “tanah yang dijanjikan,” kini jadi studi kasus tentang apa yang terjadi ketika sebuah bangsa kehilangan kompas moralnya. Dan ya, tersenyum miris adalah reaksi yang wajar.
Laporan itu, meski dari Al Mayadeen yang punya sudut pandang tertentu, menawarkan data yang sulit dibantah: angka emigrasi, survei, dan suara warga seperti Cohen atau wanita anonim itu. Tapi, kalau mau jujur, cerita ini bukan cuma soal angka. Ini soal manusia—yang takut, yang marah, yang kecewa. Ini soal negara yang dibangun dengan mimpi besar, tapi kini terperosok dalam mimpi buruk ciptaannya sendiri. Dan di tengah semua ini, warga Gaza, yang rumahnya diratakan, tetap bertahan. Ironi ini bukan cuma menggigit; ini menusuk sampai ke tulang.
Jadi, apa pelajaran dari semua ini? Mungkin, bahwa tak ada kemenangan sejati dalam menindas. Israel mungkin punya tank dan jet tempur, tapi kalau warganya sendiri kabur, apa artinya “kemenangan” itu? Dan untuk kita, di mana pun kita berada, ini peringatan: jangan biarkan kebencian menulis naskah masa depan. Karena kalau itu terjadi, tak cuma kapal yang karam—kita semua yang di dalamnya juga ikut tenggelam. Mari kita tertawa kecil, tapi pahit, sembari berpikir: ke mana, sebenarnya, kita sedang melaju?