Opini
Israel di Ujung Krisis: Ancaman ‘Jews will kill Jews’ Menggema

Di jantung Tel Aviv, di tengah hiruk-pikuk protes dan gemuruh retorika politik, Yair Lapid, pemimpin oposisi Israel, melontarkan peringatan yang mengguncang: “Jews will kill Jews.” Kata-kata ini, tajam dan provokatif, bukan sekadar hiperbola, melainkan cerminan krisis nasional yang mengguncang fondasi Israel. Ancaman pembunuhan terhadap kepala Shin Bet, Ronen Bar, dan polarisasi yang membelah masyarakat menandakan negara ini berada di persimpangan berbahaya, di mana kohesi sosial terancam runtuh.
Krisis ini berpuncak pada pemecatan Bar, yang diumumkan setelah pemerintah Netanyahu menyatakan “kurangnya kepercayaan” terhadapnya. Bar, yang mengakui kegagalan Shin Bet mencegah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, menjadi kambing hitam di tengah badai politik. Namun, pemecatannya, yang terhenti oleh Mahkamah Agung, memicu tuduhan bahwa Netanyahu mengorbankan keamanan nasional demi kepentingan pribadi. Jaksa Agung Gali Baharav-Miara menyinggung konflik kepentingan, mengaitkan langkah ini dengan penyelidikan kriminal terhadap rekan-rekan perdana menteri. Ketegangan ini bukan sekadar soal prosedur, tetapi cerminan krisis kepercayaan yang lebih dalam terhadap institusi negara.
Lapid tidak berbicara dalam kekosongan. Protes massal melanda Israel, didorong oleh kemarahan atas perang Gaza yang telah menewaskan lebih dari 43.000 warga Palestina, menurut laporan Al Jazeera. Keluarga sandera, warga yang kehilangan kepercayaan pada pemerintah, dan aktivis menuntut gencatan senjata atau pembebasan 101 sandera yang masih ditahan Hamas. Demonstrasi ini, sering kali berhadapan dengan polisi, mencerminkan perpecahan antara kubu sekuler yang mendukung Lapid dan kelompok sayap kanan yang setia pada Netanyahu. Ilan Pappe, sejarawan Israel, menyebut perpecahan ini sebagai dua visi Yudaisme yang tak dapat berdamai, mengancam disintegrasi sosial.
Ancaman kekerasan bukan isapan jempol. Lapid menunjukkan pesan media sosial yang berisi ancaman pembunuhan terhadap Bar, sebuah tanda bahwa retorika kebencian telah melampaui batas wacana politik. Insiden di Mahkamah Agung, di mana keluarga seorang tentara yang tewas menuduh Bar bertanggung jawab atas “darah tentara Israel,” menggambarkan betapa emosi publik telah mencapai titik didih. Sejarah Israel memberikan peringatan: pembunuhan Yitzhak Rabin pada 1995, didahului oleh kampanye kebencian serupa, membuktikan bahwa kata-kata dapat memicu peluru. Lapid, dengan pernyataannya, berusaha membunyikan alarm, tetapi juga berisiko memperdalam ketakutan.
Netanyahu, di sisi lain, tampak terjebak dalam labirin kepentingan politiknya sendiri. Tuduhan bahwa pemecatan Bar terkait penyelidikan 7 Oktober atau “masalah serius lainnya” menunjukkan motif yang lebih dalam. Laporan The Times of Israel mencatat bahwa Bar telah memperingatkan tentang potensi kerusuhan sipil sebelum serangan Hamas, sebuah peringatan yang diabaikan. Kini, dengan protes yang semakin memanas dan tekanan internasional atas Gaza, Netanyahu menghadapi dilema: melanjutkan kebijakan garis keras atau meredakan ketegangan domestik. Pilihannya akan menentukan apakah krisis ini mereda atau meledak.
Polarisasi ini diperparah oleh perang Gaza, yang tidak hanya memicu krisis kemanusiaan tetapi juga memperlebar jurang dalam masyarakat Israel. Data dari Haaretz menunjukkan bahwa 62% warga Israel mendukung gencatan senjata untuk membebaskan sandera, tetapi koalisi Netanyahu, yang bergantung pada partai-partai ultra-nasionalis, menolak kompromi. Ketegangan ini menciptakan lingkaran setan: protes memicu represi, represi memicu kemarahan, dan kemarahan memicu retorika seperti pernyataan Lapid. Postingan Lapid di X, yang menyebut “hasutan yang belum pernah terjadi sebelumnya,” mengindikasikan bahwa intelijen Israel sendiri khawatir akan eskalasi kekerasan internal.
Namun, Israel belum berada di ambang perang saudara. Institusi seperti Mahkamah Agung masih berfungsi, menghentikan pemecatan Bar dan menegakkan supremasi hukum. Militer dan dinas keamanan tetap bersatu di bawah pemerintah, berbeda dengan perang saudara di mana faksi bersenjata terpecah. Ancaman eksternal dari Hamas, Hizbullah, dan Iran juga memaksa persatuan minimal, meskipun rapuh. Namun, tanpa de-eskalasi, risiko kekerasan politik nyata. Laporan The Conversation mencatat bahwa retorika ekstremis, seperti seruan untuk menghancurkan “Amalek,” telah merembes ke arus utama, memperburuk ketegangan internal.
Apa yang mendorong krisis ini? Pertama, kegagalan kepemimpinan. Netanyahu, terbelit skandal korupsi dan tekanan politik, tampak lebih fokus pada kelangsungan kekuasaannya daripada menyatukan bangsa. Kedua, trauma 7 Oktober, yang menewaskan 1.200 orang dan menculik 250 lainnya, telah menghancurkan kepercayaan publik terhadap Shin Bet dan IDF. Ketiga, perang Gaza telah memicu isolasi internasional, dengan resolusi PBB menyerukan gencatan senjata yang diabaikan Israel. Ketegangan ini menciptakan badai sempurna, di mana setiap langkah salah bisa memicu kekacauan.
Lapid, dengan pernyataannya, berjalan di atas tali tipis. Di satu sisi, ia menyoroti bahaya nyata: ancaman pembunuhan, polarisasi, dan krisis kepercayaan. Di sisi lain, retorikanya yang alarmis berisiko memperburuk ketakutan, alih-alih mendorong solusi. Sebagai pemimpin oposisi, ia memiliki tanggung jawab untuk menawarkan jalan keluar, bukan hanya memperingatkan bencana. Dialog nasional, penguatan supremasi hukum, dan tekanan untuk gencatan senjata di Gaza bisa menjadi langkah awal. Namun, tanpa kerja sama dari Netanyahu, visi ini sulit terwujud.
Krisis nasional Israel adalah peringatan bahwa bahkan negara dengan militer kuat dan demokrasi mapan tidak kebal terhadap disintegrasi internal. Lapid benar bahwa “garis merah telah dilintasi,” tetapi mencegah “Jews will kill Jews” membutuhkan lebih dari kata-kata keras. Hukum harus ditegakkan terhadap ancaman kekerasan, media sosial harus dimoderasi untuk meredakan kebencian, dan pemimpin dari semua kubu harus menahan diri dari provokasi. Perang Gaza, sebagai pemicu utama ketegangan, harus diselesaikan melalui diplomasi, meskipun tantangannya besar. Tanpa langkah-langkah ini, Israel berisiko meluncur lebih jauh ke jurang ketidakstabilan.
Masyarakat Israel, yang telah bertahan dari perang dan teror, kini menghadapi musuh yang lebih licik: perpecahan dari dalam. Krisis ini bukan hanya tentang Bar atau Netanyahu, tetapi tentang identitas bangsa itu sendiri. Apakah Israel akan muncul sebagai demokrasi yang bersatu atau tenggelam dalam konflik internal? Jawabannya bergantung pada kemampuan para pemimpinnya untuk mendengar, bukan hanya berteriak, di tengah badai yang mereka ciptakan sendiri.
Sumber Data:
- Laporan al-Mayadeen – https://english.almayadeen.net/news/politics/lapid-warns-of-political-violence-over-shin-bet-chief-s-oust
- Al Jazeera, “Gaza death toll surpasses 43,000 as Israel’s war continues,” diakses April 2025.
- The Times of Israel, “Shin Bet chief warned of civil unrest before October 7,” diakses April 2025.
- Haaretz, “Poll: 62% of Israelis support Gaza ceasefire for hostage release,” diakses April 2025.
- SINDOnews, “Ilan Pappe: Masyarakat Yahudi Israel terpecah,” 13 September 2024.
- The Conversation, “Extremist rhetoric in Israel: From margins to mainstream,” 2 April 2025.
- Posting Yair Lapid di X, 20 April 2025, tentang “hasutan yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
- Laporan PBB tentang resolusi gencatan senjata Gaza, diakses April 2025.