Connect with us

Opini

Israel di Gaza: Perang Tanpa Akhir atau Strategi Licik?

Published

on

Jurnalis veteran Israel, Alon Ben-David, dalam laporannya yang menghantam keras di Maariv dan dikutip oleh Sputnik, menyamakan keterlibatan Israel di Gaza dengan perang 18 tahun yang tragis di Lebanon. Ia menyebut Gaza sebagai perang tanpa akhir, sebuah lubang hitam di mana darah, uang, dan moral bangsa terhisap tanpa hasil. Tapi benarkah hanya Gaza yang menjadi masalah? Ataukah Israel, dengan segala ambisi dan kesombongannya, tengah menggali kuburnya sendiri di medan yang tak bisa dimenangkan?

Mari kita lihat faktanya. Gaza telah menjadi tanah tak bertuan. Jabalia adalah kuburan puing-puing di mana hanya anjing liar yang berkeliaran. Tank-tank Israel merayap seperti binatang lapar, melumat jalanan, rumah, dan nyawa. “Hamas tak bisa dihancurkan,” tulis Ben-David dengan getir. “Setiap hari di sana menuntut setetes darah.” Tapi siapa sebenarnya yang haus darah? Hamas, atau mereka yang mengirim anak-anak muda Israel untuk mati di tanah yang tak pernah mereka miliki?

Israel tampaknya terjebak dalam fantasi Napoleon-nya sendiri. Mereka percaya bahwa kekuatan militer bisa mematahkan semangat perlawanan yang telah tertanam dalam setiap jiwa warga Gaza. Tapi Gaza bukan hanya tempat; ia adalah ide, sebuah identitas. Dan ide tidak bisa dihancurkan dengan bom fosfor atau peluru kendali. Justru, semakin banyak darah yang tumpah, semakin kuat ide itu tertanam.

Bayangkan ini: seorang petinggi militer Israel berdiri di depan peta, menunjuk Gaza sambil berkata, “Kita harus menghancurkan semuanya untuk menang.” Tapi kemenangan apa? Menguasai reruntuhan? Menyisakan tanah kosong yang dihuni oleh trauma, dendam, dan kenangan akan pembantaian? Ini seperti AS di Vietnam, di mana setiap pohon dianggap musuh, setiap desa dibakar, dan setiap kemenangan adalah ilusi yang menutupi kekalahan yang tak terelakkan.

Vietnam memiliki hutannya, Gaza memiliki terowongan bawah tanah. Sama seperti Viet Cong yang tak terlihat namun mematikan, para pejuang Gaza bersembunyi di bawah permukaan, menyerang tanpa pernah benar-benar bisa dihancurkan. Amerika belajar, dengan cara yang paling pahit, bahwa Anda tidak bisa memenangkan perang melawan musuh yang tidak pernah menyerah. Kini Israel tampaknya harus belajar pelajaran yang sama, meski mereka tampaknya terlalu sombong untuk mengakuinya.

Namun, tidak seperti AS yang akhirnya menarik diri dari Vietnam dengan ekor di antara kaki, Israel tampaknya tidak memiliki strategi keluar. “Tanpa pemikiran sistemik,” tulis Ben-David, “IDF hanya akan terjebak dalam perang yang tak berujung, sebuah luka yang terus berdarah.” Apakah ini benar-benar tentang keamanan nasional, atau sekadar ego yang terlalu besar untuk menerima kenyataan bahwa mereka telah kalah dalam pertempuran moral dan strategis?

Dan mari kita tidak melupakan dimensi ekonomi dari semua ini. Perang adalah bisnis, dan Gaza adalah ladang uang bagi industri senjata, kontraktor keamanan, dan politisi yang mendulang popularitas dari retorika perang. Netanyahu, dengan segala manuver politiknya, tampaknya tahu betul bahwa konflik adalah alat politik yang efektif. Dengan terus memompa narasi ancaman eksistensial, ia memastikan bahwa rakyat Israel tetap dalam kondisi ketakutan, yang pada gilirannya memberikan legitimasi bagi pemerintahannya yang semakin otoriter.

Jadi, pertanyaannya bukan lagi apakah Israel bisa menang di Gaza. Pertanyaannya adalah: apakah Israel sebenarnya ingin menang? Atau apakah mereka lebih suka perang ini terus berjalan, menjadi sumber daya politik dan ekonomi yang tak ada habisnya? Jika konflik ini memang adalah perang yang dirancang untuk tidak pernah selesai, maka siapakah sebenarnya korban sejati dari semua ini? Rakyat Palestina yang kehilangan rumah, atau rakyat Israel yang kehilangan moralitas dan masa depan mereka?

Pada akhirnya, seperti yang diperingatkan Ben-David, sejarah telah membuktikan bahwa mereka yang datang dengan gegap gempita sering kali pergi dengan hina. Jadi, apakah Israel akan menjadi pengecualian? Ataukah mereka akan menjadi pelajaran pahit berikutnya dalam buku sejarah dunia tentang kesombongan imperialisme modern?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *