Opini
Israel di Ambang Perang Sipil

Ketika Channel 7 Israel melaporkan hasil survei Jewish People Policy Institute bertajuk “Israeli Society Index” pada April 2025, sebuah peringatan mencolok dari mantan Presiden Mahkamah Agung Aharon Barak menjadi sorotan: potensi perang sipil di Israel. Survei itu mengungkap bahwa 27% warga Israel setuju penuh dengan Barak bahwa ancaman itu nyata, sementara 33% menganggapnya sedikit berlebihan namun tetap mengakui bahayanya. Hanya 16% yang yakin tidak ada risiko sama sekali. Data ini, dirilis menjelang Passover—hari raya yang biasanya melambangkan persatuan—menggambarkan ironi pahit: Israel, negara yang dibangun atas narasi solidaritas, kini terbelah oleh ketegangan internal yang kian memanas.
Bayang-bayang perpecahan ini bukan hal baru. Ketegangan politik telah membara sejak lama, diperparah oleh keputusan kontroversial Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, seperti pemecatan kepala Shin Bet Ronen Bar dan dorongan reformasi yudisial yang memicu protes massal. Survei yang sama menunjukkan 51% responden mendukung otonomi pemerintah dalam pemecatan tersebut, menolak campur tangan Mahkamah Agung. Namun, ketika pengadilan membekukan keputusan itu, dan pemerintah malah melawan dengan mosi tidak percaya terhadap Jaksa Agung Gali Baharav-Miara, publik terpecah lebih dalam. Dr. Shuki Friedman dari Jewish People Policy Institute memperingatkan, “Data ini menunjukkan kekhawatiran mendalam akan eskalasi konflik internal.” Angka-angka itu bukan sekadar statistik; mereka adalah cerminan luka sosial yang kian menganga.
Di tengah semua ini, isu sandera menjadi bara yang membakar lebih ganas. Pada April 2024, puluhan ribu orang turun ke jalan, menuntut kesepakatan dengan Hamas untuk membebaskan sandera yang ditahan di Gaza. Mereka menginginkan gencatan senjata, negosiasi, solusi damai. Namun, Netanyahu memilih jalur perang. Laporan menunjukkan ia menolak proposal gencatan senjata lima hari pada November 2023 yang bisa memulangkan sejumlah sandera, memprioritaskan operasi militer untuk “menumpas Hamas.” Pilihan ini memicu kemarahan keluarga sandera dan sebagian masyarakat yang melihatnya sebagai pengorbanan nyawa demi ambisi politik. Benny Gantz, pemimpin National Unity, bahkan menulis surat kepada Netanyahu, “Saya memohon sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas semua warga negara ini,” menyerukan kompromi. Tapi suara itu tenggelam dalam keras kepala koalisi.
Ketegangan soal sandera ini bukan sekadar dilema strategis; ia adalah pemicu perpecahan yang nyata. Gantz, dalam pertemuan dengan Menteri “Keadilan” Yariv Levin pada 26 Maret 2025, memperingatkan, “Israel berada di ambang perang sipil,” terkait reformasi yudisial yang tetap dikejar meski memicu boikot oposisi di Knesset. Levin bersikukuh bahwa perubahan itu “untuk menyembuhkan perpecahan bangsa,” tapi realitas berkata lain. Ketika Netanyahu bersiteguh pada pendekatan militer, menolak mediasi Qatar atau Mesir, dan berselisih dengan Menteri Pertahanan Yoav Gallant soal koridor Philadelphia, koalisi pemerintahannya sendiri retak. Publik melihat pemerintahan yang terpecah, dan kepercayaan pun runtuh—bahan bakar sempurna bagi konflik internal.
Lalu ada krisis ekonomi yang memperkeruh suasana. Leket Israel Association melaporkan bahwa 1,5 juta warga menghadapi ketidakamanan pangan pada 2023, sementara 2,6 juta ton makanan senilai 24,3 miliar shekel (sekitar $7 miliar) terbuang—naik 3% dari tahun sebelumnya. Perang di Gaza dan Lebanon menambah beban, dengan kerugian ekonomi mencapai 1,6 miliar shekel ($450 juta), termasuk 370 juta shekel untuk biaya kesehatan akibat krisis pangan. Angka-angka ini bukan abstrak; mereka adalah cerita tentang keluarga yang kelaparan di tengah negara yang membuang 38% produksi makanannya. Ketika rakyat merasa ditinggalkan oleh pemerintah yang sibuk berperang, ketidakpuasan membesar—dan sejarah mengajarkan bahwa kelaparan sering kali menjadi percikan kerusuhan.
Apakah semua ini akan berujung pada perang sipil? Tidak ada jawaban pasti, tapi tanda-tandanya mengkhawatirkan. Israel adalah masyarakat termiliterisasi, dengan wajib militer dan cadangan yang besar. Jika ketegangan politik mencapai titik didih—misalnya, bentrokan antara demonstran pro-sandera dan polisi meningkat, atau faksi militer menolak perintah pemerintah—konfrontasi bersenjata bukanlah hal mustahil. Gantz dan Barak bukan sembarang suara; mereka adalah tokoh berpengaruh yang melihat risiko nyata. Survei menunjukkan 60% warga setuju ada bahaya, meski hanya 27% yang sepenuhnya yakin perang sipil sudah di depan mata. Angka itu cukup untuk membuat kita bertanya: seberapa jauh lagi sebelum kata “perang” tak lagi sekadar peringatan?
Namun, ada pula yang menahan Israel dari jurang itu. Identitas kolektifnya, ditempa oleh dekade ancaman eksternal, adalah perekat kuat. Perang dengan Hamas atau Hizbullah bisa mengalihkan fokus dari konflik internal, menyatukan rakyat melawan musuh bersama—setidaknya untuk sementara. Mahkamah Agung, meski diserang oleh reformasi, masih berdiri sebagai penyeimbang kekuasaan. Selama institusi ini dan demokrasi parlementer bertahan, ketegangan bisa disalurkan melalui hukum, bukan peluru. Mediasi, baik dari Gantz maupun tekanan internasional seperti dari AS, juga bisa meredakan api. Tapi semua itu bergantung pada kemauan politik yang kini tampak rapuh.
Jika kondisi ini berlanjut—tanpa kesepakatan sandera, dengan reformasi yudisial yang memecah belah, dan ekonomi yang terpuruk—risiko eskalasi tak bisa diabaikan. Perang sipil tak harus berarti kehancuran total seperti di Suriah; ia bisa muncul sebagai kerusuhan terlokalisasi, bentrokan bersenjata antar-kelompok, atau pemberontakan kecil. Data 60% yang khawatir akan konflik internal adalah alarm, tapi belum ada bukti bahwa rakyat siap mengangkat senjata secara massal. Yang jelas, ketegangan ini adalah ujian terberat bagi Israel modern—dan jawabannya tergantung pada apakah para pemimpinnya memilih kompromi atau konfrontasi.
Saya melihat Israel kini seperti kapal di tengah badai. Ombaknya adalah kemarahan rakyat, anginnya adalah ambisi politik, dan nakhodanya tampak kehilangan arah. Netanyahu, dengan pendekatan perangnya, mungkin percaya ia menyelamatkan bangsa dari musuh luar. Tapi ia lupa bahwa musuh dalam—perpecahan, ketidakadilan, ketidakpercayaan—bisa sama mematikannya. Gantz benar: tanggung jawab ada pada mereka yang memimpin. Jika mereka gagal, Passover berikutnya mungkin bukan tentang persatuan, melainkan tentang puing-puing bangsa yang tercerai-berai.