Opini
Israel dan Strategi yang Tak Pernah Belajar dari Sejarah

Di dunia politik internasional, terkadang aktor utama berperilaku seperti anak kecil yang ketahuan mencuri kue dari toples, tapi masih berani menyangkal sambil mulutnya penuh remah. Itulah yang terlihat dari langkah Israel di Lebanon. Netanyahu mengklaim penundaan penarikan pasukan adalah “koordinasi penuh dengan Amerika Serikat” sambil menunjuk Lebanon yang dianggap tak patuh pada kesepakatan. Ironis sekali, bukan?
Hizbullah telah lama memahami gaya permainan ini. Pernyataan mereka baru-baru ini jelas: setiap pelanggaran terhadap kesepakatan adalah tamparan terhadap kedaulatan Lebanon. Namun, Israel tetap bergeming, memainkan lagu lama dengan irama yang sudah tidak sedap. Mereka bicara tentang “persyaratan belum terpenuhi,” padahal pelanggaran gencatan senjata terus terjadi hampir tanpa jeda. Siapa sebenarnya yang menunda-nunda?
Jack Neria, seorang pakar Israel, bahkan memberikan peringatan yang terdengar seperti ironi pahit. Katanya, tinggal di Lebanon lebih lama hanya akan membawa Israel kembali ke era 1982-2000, era perang gerilya Hizbullah. Sebuah pernyataan yang seolah berkata, “Ayo ulangi kesalahan lama, karena mungkin kita butuh lebih banyak pelajaran sejarah.”
Namun, jangan salah paham, ini bukan hanya tentang strategi militer. Ada ego politik yang menyesakkan di balik semua ini. Netanyahu sepertinya lupa bahwa Lebanon adalah medan yang berbeda. Di sini, musuhnya tidak hanya sekadar pejuang dengan senjata, tetapi ideologi yang terpatri dalam hati dan pikiran rakyatnya. Ideologi yang berakar dari rasa kehilangan dan perlawanan.
Hizbullah, dengan retorika dan aksi nyata mereka, bukanlah aktor biasa. Mereka adalah simbol perlawanan yang mampu mengubah ketakutan menjadi keberanian. Ketika Israel mengulur-ulur penarikan pasukan dengan dalih kosong, Hizbullah justru memperlihatkan posisi tegas yang membuat pendukungnya semakin solid. Dalam konflik seperti ini, siapa yang terlihat lebih berani?
Lalu ada pertanyaan besar: apa sebenarnya yang diinginkan Israel? Melemahkan Hizbullah? Kalau begitu, mereka gagal total. Malah, setiap serangan kecil, setiap pelanggaran gencatan senjata, hanya membuat musuh mereka semakin terlatih dan termotivasi. Taktik “menjaga tekanan” ini seperti menggigit tangan sendiri. Hasilnya: sakit tanpa manfaat.
Hizbullah paham permainan ini, tapi mereka juga tahu kapan harus menunggu dan kapan harus bertindak. Mereka mengawasi setiap langkah Israel, memantau batas waktu yang semakin dekat, dan menegaskan bahwa setiap pelanggaran akan ada konsekuensinya. Kalau Israel berpikir mereka bisa terus bermain-main tanpa balasan, mungkin mereka lupa bahwa sejarah tidak berpihak pada mereka yang arogan.
Yang menarik adalah bagaimana komunitas internasional melihat drama ini. Amerika Serikat, tentu saja, tetap mendukung Israel, meskipun itu berarti melanggengkan kebijakan yang justru merusak stabilitas regional. Sementara itu, negara-negara lain hanya bisa menonton, terperangkap antara kritik moral dan diplomasi pragmatis. Siapa yang benar-benar peduli pada Lebanon?
Dalam banyak hal, situasi ini bukan hanya soal Israel versus Hizbullah, tetapi juga tentang bagaimana dunia menghadapi ketidakadilan yang terus berulang. Ketika sebuah negara kecil seperti Lebanon harus terus menanggung beban konflik, kita dipaksa bertanya: sampai kapan ini akan berlangsung? Dan lebih penting lagi, siapa yang akan diuntungkan?
Kalau Netanyahu dan timnya berpikir bahwa penundaan penarikan ini adalah strategi cerdas, maka mereka perlu memeriksa kembali definisi kecerdasan. Tinggal lebih lama di Lebanon tidak hanya menunda masalah, tetapi juga menciptakan konflik baru yang lebih kompleks. Kalau perang benar-benar pecah, bukan hanya Israel yang akan kehilangan, tetapi seluruh kawasan akan terguncang.
Dalam politik internasional, langkah-langkah seperti ini hanya menunjukkan satu hal: ketidaksiapan untuk menerima kenyataan. Israel, dengan segala kekuatannya, masih terjebak dalam ilusi bahwa mereka bisa mendikte segalanya. Tapi kenyataannya, dunia sudah berubah, dan Lebanon bukan tempat untuk bermain-main dengan impunitas.
Pada akhirnya, pertanyaan yang harus dijawab Israel bukanlah apakah mereka akan mundur dari Lebanon, tetapi apakah mereka siap menghadapi konsekuensi jika terus bermain api. Sejarah telah membuktikan bahwa kesombongan hanya membawa kehancuran. Dan di medan seperti ini, kesombongan bukanlah strategi, melainkan jalan pintas menuju kegagalan.