Opini
Israel dan Apartheid: Netanyahu Menulis Bab Baru dalam Sejarah Penindasan

Untuk ke-31 kalinya, kota Tulkarm dan kamp pengungsinya digempur tanpa henti oleh pasukan Israel. Selama 18 hari berturut-turut, Nur Shams dihancurkan. Lebih dari 26 rumah diratakan dengan tanah, dan 12.000 orang dipaksa kehilangan tempat tinggal. Dalihnya? Sebuah jalan. Ya, jalan yang entah menghubungkan siapa dengan siapa, tapi pasti dibangun di atas reruntuhan rumah warga Palestina.
Tentu saja, Netanyahu tidak akan menyebut ini sebagai pembersihan etnis. Itu istilah yang terlalu kasar, terlalu jujur. Lebih baik menyebutnya sebagai “proyek pembangunan.” Apartheid bukanlah apartheid jika dibalut dengan alasan infrastruktur. Dunia pernah menyaksikan kejahatan serupa di Afrika Selatan, tetapi di Palestina, itu hanya bagian dari kebijakan keamanan. Sebuah lelucon kejam yang terus diulang.
Sejarah penuh dengan pemimpin yang menggunakan retorika pembangunan untuk merampas hak hidup orang lain. Rezim apartheid di Afrika Selatan membangun pemukiman eksklusif bagi kulit putih dengan menggusur penduduk asli. Netanyahu mungkin membaca catatan itu dengan penuh inspirasi, menyalin halaman demi halaman, memastikan bahwa apartheid di Palestina tidak kalah canggih dari pendahulunya.
Netanyahu tidak hanya membangun jalan di atas mayat, tetapi juga membangun narasi bahwa Palestina tidak pernah ada. Baginya, pemusnahan bukan hanya tindakan fisik, tetapi juga pembentukan sejarah baru di mana korban tidak pernah ada sejak awal. Jika apartheid di Afrika Selatan dipertahankan dengan hukum rasis, Netanyahu mengawalinya dengan bom, penggusuran, dan blokade.
Ketika dunia merayakan berakhirnya apartheid pada 1990-an, Netanyahu justru mempercepat pembentukannya. Jika di Afrika Selatan ada Distrik Enam yang dihancurkan demi pemukiman kulit putih, maka di Palestina ada Sheikh Jarrah, Silwan, Tulkarm, dan Nur Shams yang dihancurkan demi pemukiman ilegal Israel. Sejarah tidak berulang, ia hanya berganti nama dan pelaku.
Saat dunia mengutuk penggusuran massal di masa lalu, Netanyahu melakukannya dengan lebih percaya diri. Ia tahu, tidak ada konsekuensi. Dunia akan mengeluarkan pernyataan “prihatin,” Uni Eropa akan menyatakan “kecaman mendalam,” dan Washington akan tetap mengucurkan miliaran dolar ke Tel Aviv. Jika ada perbedaan, hanya pada seberapa cepat Netanyahu menekan tombol penghancuran berikutnya.
Apartheid selalu membutuhkan musuh yang harus dihancurkan. Jika di Afrika Selatan ada Nelson Mandela yang dipenjara selama 27 tahun, maka di Palestina ada ribuan pemuda yang dikurung tanpa dakwaan. Jika di sana ada bantahan terhadap diskriminasi rasial, di sini ada perlawanan yang dicap terorisme. Netanyahu tidak perlu membangun kamp konsentrasi, karena seluruh Palestina telah menjadi satu penjara terbuka.
Hukum apartheid tidak bisa dijalankan tanpa tentara yang loyal. Netanyahu memastikan bahwa pasukan Israel tahu cara menekan pemicu dengan tanpa ragu. Mereka tidak sekadar menghancurkan rumah, mereka merampas masa depan. Air, listrik, sekolah, dan jalan hancur tanpa tersisa. Setiap kali seorang anak Palestina menatap reruntuhan rumahnya, Netanyahu tahu bahwa apartheid sedang bekerja dengan sempurna.
Sebagian dunia mungkin masih percaya pada perundingan damai. Mereka lupa bahwa apartheid tidak pernah diakhiri dengan negosiasi, tetapi dengan perjuangan dan perlawanan. Netanyahu tidak takut pada diplomasi, ia takut pada ingatan bahwa sejarah selalu memberi ruang bagi keadilan. Seperti Afrika Selatan yang akhirnya runtuh, Netanyahu tahu bahwa apartheid yang ia bangun tidak akan bertahan selamanya.
Namun, sebelum kejatuhannya tiba, Netanyahu akan terus membangun jalan di atas rumah yang dihancurkan, terus menyebut pembersihan etnis sebagai proyek pembangunan, dan terus memastikan bahwa apartheid ini bisa bertahan sedikit lebih lama. Sejarah sudah mencatat banyak penjahat perang, dan Netanyahu memastikan namanya tidak akan tertinggal di urutan terakhir.