Opini
Israel dan AI: Kolaborasi Canggih untuk Kekejaman Modern

Sungguh luar biasa kemajuan teknologi modern! Kini, perang bukan lagi sekadar permainan rudal dan drone, tapi juga algoritma. Israel, negara yang selalu berada di garis depan inovasi, kini menghadirkan kecerdasan buatan dalam upayanya untuk menumpas “teroris.” AI (artificial intelligence/ Kecerdasan Buatan) kini bukan hanya alat bantu, melainkan eksekutor keadilan modern. Seolah-olah kode-kode pemrograman bisa menggantikan hati nurani.
Laporan terbaru mengungkap bagaimana Israel menggunakan AI untuk menentukan target serangan. Seakan-akan, kini perang adalah urusan mesin yang berpikir sendiri. Seorang pria tua yang berjalan di jalanan Gaza? Bisa jadi target. Seorang ibu yang menggendong anaknya? Bisa dicurigai menyelundupkan bahan peledak. Seorang bocah yang berlari-lari? Mungkin AI mengira dia sedang membawa roket di dalam tas sekolahnya.
Teknologi canggih ini tentu dibuat demi “menyelamatkan” nyawa warga sipil. Tidak ada lagi kesalahan manusiawi, karena semuanya ditentukan oleh data. Jika sebuah rumah hancur dan seluruh penghuninya lenyap, itu bukan lagi tanggung jawab seorang pilot drone atau seorang komandan. Itu hanya angka-angka yang diproses oleh mesin. Tidak ada darah di tangan manusia. Hanya pada layar monitor.
AI yang digunakan dalam perang ini bekerja layaknya seorang Tuhan digital. Ia memilah mana yang boleh hidup dan mana yang harus musnah. Jika ada kesalahan, yah, itu hanya kecelakaan sistem. Bukankah semua teknologi punya “bug”? Kesalahan algoritma bukanlah kejahatan perang. Itu hanyalah angka yang salah membaca pola pergerakan. Lagi pula, bukankah statistik selalu menunjukkan ada “margin of error“?
Israel kini punya pembenaran baru untuk setiap serangan. “Ini bukan kami, ini AI!” Hebat, bukan? Tak perlu repot lagi mencari dalih atau alasan. Dunia yang selalu ingin percaya pada inovasi teknologi akan dengan mudah menerima bahwa AI tidak punya niat jahat. Seolah-olah AI dikembangkan di laboratorium suci yang tidak mungkin menyerap bias manusia.
Tapi jangan salah. AI ini tidak netral. Ia dibangun dengan data yang diberikan oleh tuannya. Jika sistem itu dibuat untuk mengidentifikasi “ancaman,” maka ia hanya akan melihat ancaman di mana pun yang diinginkan oleh pemrogramnya. Seorang bocah yang bermain di reruntuhan bisa saja dianggap bagian dari kelompok perlawanan. Seorang jurnalis yang membawa kamera bisa tampak seperti penembak jitu.
Yang paling menggelikan adalah bagaimana dunia diam-diam terkesima dengan kecanggihan ini. Media Barat mengangguk kagum pada “presisi” yang diklaim oleh militer Israel. Seolah-olah ini adalah revolusi dalam dunia militer. Seolah-olah ini adalah babak baru dalam “perang tanpa dosa.” Ya, perang tanpa dosa! Ironisnya, tidak ada perang yang benar-benar tanpa dosa. Tapi, bukankah lebih mudah untuk menelan kebohongan jika dikemas dalam bahasa teknologi?
Sementara itu, korban berjatuhan. Anak-anak menjadi eksperimen langsung dari kebijakan algoritma yang tak mengenal belas kasih. Rumah-rumah dibombardir oleh keputusan yang dibuat dalam sepersekian detik oleh mesin. Tidak ada pengadilan. Tidak ada peringatan. Hanya keputusan dingin yang dijatuhkan oleh sesuatu yang tidak punya hati.
Tentu saja, jika ada yang mempertanyakan ini, jawabannya sudah disiapkan. “AI meningkatkan efisiensi perang.” Ya, perang kini lebih efisien. Tak perlu lagi mata-mata. Tak perlu lagi pertimbangan moral. Semua cukup diproses dengan big data. Jika Anda muncul di tempat yang salah, pada waktu yang salah, maka tamatlah riwayat Anda. Tidak ada pengampunan. Tidak ada ruang untuk kesalahan manusiawi. Hanya kepastian yang diberikan oleh kode-kode tak bernyawa.
Tapi, mari kita bayangkan sejenak jika AI ini diterapkan di tempat lain. Bagaimana jika sebuah negara lain, katakanlah Iran atau Rusia, mengumumkan penggunaan AI dalam operasinya? Tiba-tiba, dunia akan berteriak soal ancaman etika dan bahaya teknologi dalam perang. Tiba-tiba, mereka akan mengkhawatirkan potensi kesalahan sistem yang bisa mengorbankan warga sipil. Tapi jika Israel yang melakukannya? Ah, itu inovasi.
Mungkin suatu hari nanti, Israel tidak perlu lagi tentara sama sekali. Cukup dengan program AI yang bisa memutuskan siapa yang boleh bernapas dan siapa yang tidak. Dunia bisa bertepuk tangan untuk keberhasilan teknologi militer. Perusahaan-perusahaan AI bisa menjual algoritma ini ke negara lain yang ingin meniru cara perang tanpa dosa. Dengan begitu, kekerasan bisa dikemas dalam bentuk yang lebih steril, lebih bersih, lebih tidak terasa brutal.
Dan jika dunia masih punya hati, seharusnya ada pertanyaan yang lebih besar. Jika AI ini bisa begitu efektif dalam menargetkan ancaman, mengapa jumlah korban sipil selalu meningkat? Mengapa selalu ada berita tentang satu keluarga yang musnah dalam semalam? Mengapa setiap laporan perang selalu menyebut angka anak-anak yang tewas bertambah? Bukankah AI seharusnya membuat perang lebih “akurat”? Atau mungkin akurasi itu hanya alasan untuk membantai lebih cepat?
Maka, mari kita sambut era baru perang! Era di mana AI akan menggantikan semua moralitas yang tersisa. Era di mana pembantaian bisa diklaim sebagai “kesalahan teknis.” Era di mana tidak ada lagi pertanggungjawaban, karena pelakunya bukan manusia. Pelakunya hanyalah sekumpulan kode yang menjalankan perintah. Dan siapa yang bisa menuntut sebuah program komputer di pengadilan?
Mungkin suatu saat nanti, Israel akan menyempurnakan AI ini hingga ke titik di mana tidak ada lagi yang bisa melawan. Palestina akan hilang bukan karena pertempuran, tetapi karena sebuah program komputer memutuskan bahwa mereka tidak layak ada. Dunia akan melihat, tapi dunia akan tetap diam. Karena siapa yang bisa menentang kecerdasan buatan? Bukankah AI lebih tahu segalanya?
Ah, dunia modern! Perang tidak lagi dilakukan oleh manusia, tapi oleh angka-angka dingin yang tidak mengenal belas kasih. Dan kita, yang menonton dari kejauhan, akan dipaksa untuk menerima bahwa ini hanyalah bagian dari kemajuan. Betapa ironisnya, ketika teknologi yang seharusnya membawa peradaban justru dijadikan senjata untuk menghapus keberadaan sebuah bangsa.