Opini
Israel Buat Jenin Menjadi Gaza?

Pagi kemarin, kabar dari Jenin kembali memenuhi media. Israel menggempur kota kecil di Tepi Barat ini dengan serangan udara dan darat, sebuah operasi yang dinamai “Iron Wall.” Serangan itu menewaskan tujuh orang dan melukai puluhan lainnya. Jenin, yang pernah disebut “sarang teroris,” kini terasa seperti pengulangan Gaza dalam skala berbeda.
Dalih serangan ke Jenin pun tidak kalah kreatif. Jika di Gaza alasan utamanya adalah membebaskan sandera dan menumpas Hamas akibat serangan 7 Oktober, maka Jenin menawarkan narasi lain: “pemberantasan terorisme.” Alasan ini menunjukkan bahwa bahkan tanpa 7 Oktober, Israel tetap akan menyerang. Alasan hanyalah formalitas yang berganti sesuai kebutuhan.
Serangan ini, tentu saja, bukan sekadar respons militer biasa. Pendukung sayap kanan Netanyahu, yang menolak gencatan senjata di Gaza, tampaknya tidak bisa dibiarkan kecewa terlalu lama. Mungkin Netanyahu berpikir, “Jika Gaza terlalu mahal secara politik, mengapa tidak mulai dari Jenin?” Dan begitulah, perang baru pun dimulai.
Namun, apakah ini benar-benar perang baru? Tidak juga. Jenin telah lama menjadi simbol perlawanan Palestina di Tepi Barat. Dengan serangan ini, Israel ingin mengubah simbol itu menjadi peringatan. Operasi ini terlihat seperti upaya memperluas apa yang sudah terjadi di Gaza: membungkam perlawanan, sekaligus memuaskan basis politik di dalam negeri.
Menariknya, operasi besar ini datang hanya beberapa hari setelah gencatan senjata di Gaza. Kebetulan? Rasanya tidak. Netanyahu, yang sedang berada di bawah tekanan koalisi sayap kanan, tampaknya perlu membuktikan bahwa pemerintahannya tidak kehilangan “taring” meski Gaza tenang. Jenin pun jadi target pelampiasan berikutnya.
Jenin, kota kecil dengan populasi yang jauh lebih sedikit dibanding Gaza, kini dibombardir seperti zona perang besar. Rumah sakit dikepung, ambulans ditembaki, dan warga sipil terjebak di tengah kekacauan. Sementara itu, alasan keamanan yang disampaikan Israel terdengar seperti naskah lama yang diulang tanpa penyegaran.
Sama seperti di Gaza, klaim “operasi kontraterorisme” di Jenin diiringi dengan serangan ke wilayah sipil. Apa bedanya? Hanya skalanya. Jenin lebih kecil dari Gaza, tapi strategi yang diterapkan sama. Pertanyaannya, berapa lama sebelum Jenin benar-benar menjadi Gaza berikutnya? Atau mungkin, itu memang tujuannya sejak awal?
Operasi ini juga menunjukkan pola lain: serangan Israel hampir selalu dimulai dengan dalih keamanan, tapi berakhir dengan pendudukan dan penghancuran. Dari Gaza hingga Jenin, pola ini berulang. Yang membedakannya adalah seberapa besar perhatian dunia tertuju pada mereka. Gaza menarik perhatian global; Jenin, meski penting, lebih mudah diabaikan.
Bagi Netanyahu, membuka front baru di Jenin bisa jadi langkah strategis. Di satu sisi, ia memuaskan pendukung garis kerasnya. Di sisi lain, ia mengalihkan perhatian dari masalah domestik, seperti protes terhadap kebijakan pemerintahnya. Jika Gaza adalah gambaran besar, maka Jenin adalah eksperimen skala kecil yang sama kejamnya.
Namun, langkah ini juga membawa risiko besar. Serangan ke Jenin mempertegas bahwa Israel tidak pernah benar-benar membutuhkan alasan besar untuk menyerang. Bahkan di tengah gencatan senjata di Gaza, serangan di tempat lain tetap berlanjut. Hal ini hanya memperkuat kesan bahwa klaim Israel soal keamanan adalah kedok untuk ekspansi dan dominasi.
Dari perspektif Palestina, Jenin adalah babak baru dari perjuangan panjang melawan penjajahan. Serangan ini hanya menegaskan bahwa Israel tidak akan berhenti, terlepas dari apakah ada perlawanan atau tidak. Jika hari ini Jenin jadi target, besok mungkin kota lain. Bagi Israel, dalih selalu tersedia.
Jenin kini menghadapi ancaman yang sama seperti Gaza. Operasi ini menunjukkan bahwa bahkan gencatan senjata tidak menjamin penghentian kekerasan. Jika Jenin benar-benar menjadi Gaza berikutnya, maka dunia harus bertanya: kapan dan di mana siklus ini akan berhenti? Atau mungkin, itu memang tujuan yang sebenarnya.