Opini
Israel: $67 Miliar Demi Ilusi Kemenangan

Sebuah negara modern dengan sistem pertahanan canggih, ekonomi yang dibanggakan, dan janji pemimpin untuk “membuka keran dana” demi rakyat—itulah Israel yang digambarkan Benjamin Netanyahu saat menghadapi salah satu ujian terbesarnya: perang melawan Hamas di Gaza. Tapi di balik gegap gempita bom dan janji kemenangan total, ada harga yang diam-diam menggerogoti fondasi ekonomi dan moral negara itu. Harga yang tak membeli apa-apa, kecuali ilusi keamanan dan reruntuhan yang menjerit dendam.
Ketika Calcalist memperkirakan pada akhir 2023 bahwa konflik ini bisa menelan biaya hingga 200 miliar shekel ($51 miliar)—setara dengan 10% Produk Domestik Bruto (PDB)—itu sudah terdengar seperti sirene ekonomi. Bahkan angka itu dibangun di atas asumsi optimistis: perang singkat 8-12 bulan, terbatas di Gaza, tanpa meluas ke Lebanon atau Iran, dan 350.000 reservis bisa kembali bekerja dengan cepat. Tapi hingga April 2025, setelah 18 bulan pertempuran, perkiraan itu sudah membengkak menjadi 253 miliar shekel ($67 miliar), atau 14% PDB, menurut Bank of Israel. Ironisnya, semua itu tak sebanding dengan hasil yang diimpikan: Hamas belum sepenuhnya dihancurkan, sandera belum seluruhnya dipulangkan, dan Gaza—alih-alih netral—masih memancarkan bara perlawanan.
Setiap hari, Israel menggelontorkan sekitar 1 miliar shekel ($270 juta) untuk perang—dari amunisi hingga logistik militer. Di luar itu, kerugian menganga: bisnis kolaps, pendapatan negara menyusut, dan biaya rehabilitasi membengkak. Bandingkan dengan Perang Lebanon Kedua yang memakan 2,2% PDB dalam 34 hari, atau Perang Teluk 1991 yang hanya menghabiskan 1,1% PDB AS. Bahkan Perang Irak yang berlangsung delapan tahun hanya menyedot 14% PDB AS. Sementara itu, perang Gaza kini memakan hingga 9,3% PDB Israel tiap tahun—untuk konflik yang terbatas dan belum kunjung usai.
Apa hasil dari pengeluaran ini? Setelah serangan mengejutkan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang berhasil menculik 251 sandra, tujuan Israel tampak jelas: membasmi Hamas sebagai kekuatan militer dan politik. Militer Israel mengklaim telah menewaskan lebih dari 9.000 militan dan menangkap 2.300 lainnya. Yahya Sinwar, otak dari serangan 7 Oktober, diyakini telah gugur, dan tokoh-tokoh utama Hamas lainnya pun dikabarkan gugur. Namun, hingga April 2025, Hamas belum benar-benar hilang. Terowongan-terowongan bawah tanah mereka masih digunakan untuk gerilya, dan roket masih diluncurkan dari Gaza. Gencatan senjata pada Januari 2025 hanya menjadi jeda singkat. Maret membawa kembali dentuman senjata, menandakan bahwa target utama Israel tetap tak tercapai.
Sandera pun masih menjadi luka terbuka. Dari 251 orang yang diculik, 105 dibebaskan saat gencatan senjata November 2023, sebagian kecil lagi lewat operasi militer. Tapi negosiasi stagnan. Hamas menunda pembebasan lanjutan, sementara Israel menolak kompromi yang dianggap akan memperkuat musuh. Hingga Februari 2025, puluhan sandera masih berada di Gaza. Dengan biaya perang yang sudah tembus $67 miliar, banyak pihak bertanya: mengapa kekuatan militer sebesar itu gagal membawa pulang seluruh warganya? Apakah diplomasi yang lebih intens tidak akan lebih murah dan lebih efektif?
Gaza sendiri porak poranda. Sekitar 70% infrastruktur tempat tinggal hancur, rumah sakit dan sekolah lumpuh, dan kehidupan sipil nyaris tak tersisa. Lebih dari 50.000 warga Palestina tewas hingga April 2025, separuhnya adalah perempuan dan anak-anak, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza. Sekitar 110.000 lainnya terluka. PBB memperingatkan potensi kelaparan massal dan menyebut kondisi di Gaza sebagai “tidak layak huni.” Namun, Hamas masih bertahan. Kekerasan yang begitu masif, justru bisa menanam bibit kebencian yang lebih dalam—menghasilkan generasi baru yang lebih radikal. Keamanan jangka panjang yang diimpikan Israel bisa jadi malah menjauh.
Di dalam negeri, ekonomi Israel pun merintih. Mobilisasi ratusan ribu reservis membuat tenaga kerja lumpuh. Ribuan bisnis tutup. Para investor gelisah. Lembaga pemeringkat seperti S&P menurunkan outlook ekonomi Israel menjadi “negatif,” sementara Moody’s dan Fitch mengisyaratkan penurunan serupa. Menteri Keuangan Bezalel Smotrich menjanjikan paket bantuan ekonomi yang bahkan lebih besar dari era Covid, tapi itu tak lebih dari penambal lubang dalam perahu yang terus bocor. Pemerintah sendiri kini mengakui bahwa estimasi awal 200 miliar shekel terlalu optimistis. Dan jika konflik merembet ke Hezbollah, Iran, atau Yaman, biayanya bisa berlipat ganda.
Yang menyakitkan dari semua ini adalah bahwa narasi kemenangan tidak sejalan dengan kenyataan. Israel ingin keamanan—tapi roket masih berdentum. Israel ingin sandera pulang—tapi banyak yang masih tertahan. Israel ingin Gaza jinak—tapi reruntuhannya justru menyemai perlawanan baru. Bandingkan dengan Perang Teluk yang membebaskan Kuwait hanya dalam enam bulan dengan biaya $102 miliar (dolar 2023), atau Perang Lebanon Kedua yang berakhir cepat. Perang Gaza, dengan 18 bulan durasi dan 14% PDB, adalah anomali mahal tanpa ujung.
Hamas, dengan strategi asimetrisnya, tahu bahwa mereka tak harus menang secara konvensional—cukup bertahan untuk menunjukkan bahwa kekuatan Israel pun punya batas. Setiap roket yang masih diluncurkan, setiap sandera yang belum pulang, adalah bukti bahwa $67 miliar belum membeli kemenangan. Sementara itu, Gaza membayar harga lebih tragis: puluhan ribu nyawa melayang. Israel menyebut ini harga eksistensi. Dunia menyebutnya pembantaian.
Apa yang tersisa? Ekonomi yang terhuyung, musuh yang belum tumbang, dan wilayah yang masih bergejolak. Jika tujuan perang adalah keamanan permanen, mengapa setelah miliaran dolar, ancaman masih ada? Jika demi kehormatan nasional, mengapa sandera belum pulang? Bandingkan dengan Perang Dunia II yang mahal tapi menentukan. Di Gaza, Israel membayar harga premium untuk hasil diskon.
Mungkin ada yang berkata bahwa waktu akan membuktikan pengorbanan ini layak. Bahwa Hamas akan runtuh, sandera akan pulang, dan Gaza akan diam. Tapi setelah 18 bulan dan $67 miliar, dengan data dari Bank of Israel, Calcalist, dan berbagai organisasi internasional, harapan itu semakin menyerupai fatamorgana. Harga mahal Israel di Gaza adalah kisah tentang ambisi yang gagal diraih, kekuatan yang terkikis, dan kemenangan yang entah kapan datangnya. Dunia menonton, menghitung, dan bertanya: berapa lama lagi, dan berapa banyak lagi, sebelum harga ini benar-benar sepadan?
Untuk saat ini, jawabannya jelas: belum—dan mungkin tidak pernah.