Opini
Israel 2025: Menghitung Harga Kehancuran yang Tak Terelakkan

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Seiring dengan dimulainya tahun 2025, harapan baru sepertinya semakin menjauh bagi banyak orang di “Israel”. Menurut surat kabar Yedioth Ahronoth, warga “Israel” masih harus bertahan dengan konsekuensi dari perang di Gaza, yang mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan mereka, dari ekonomi yang semakin memburuk hingga trauma psikologis yang mendalam. Harga barang yang melambung, pengurangan manfaat sosial, dan ancaman roket yang terus berdatangan dari Gaza dan Yaman seakan menjadi pengingat bahwa konflik yang berlarut-larut ini tidak akan berakhir dengan baik bagi siapa pun. Begitulah, mereka merayakan tahun baru dengan sedikit kegembiraan dan banyak ketakutan. Ini adalah “hadiah” yang diberikan oleh kebijakan yang terus mendorong perang dan ketegangan tanpa memikirkan solusi damai.
Begitulah “Israel” kini menghadapi pilihan yang tidak mengenakkan: apakah mereka akan terus berada dalam lingkaran kekerasan yang tak berujung, atau apakah mereka akan menghadapi kenyataan pahit bahwa cara-cara lama hanya akan membawa kehancuran lebih cepat? Jika ada yang masih meragukan akibat dari kebijakan agresif pemerintah Netanyahu, mari kita lihat sekilas bagaimana negeri yang katanya penuh dengan jaminan keamanan ini justru semakin terperosok dalam krisis internal dan internasional.
Pemberitaan yang datang dari surat kabar tersebut mengungkapkan kenyataan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Biaya ekonomi akibat kebijakan perang semakin memberatkan rakyat biasa. Setiap orang diperkirakan akan kehilangan 12.000 shekel di 2025, dan dua juta warga “Israel” kini hidup di bawah garis kemiskinan—jumlah yang hanya akan terus bertambah. Sementara itu, pemerintah memutuskan untuk memotong dana bagi tentara cadangan yang berjuang di Gaza, yang menambah daftar panjang ketidakpuasan di dalam negeri. Dengan terus-menerus bergantung pada kekuatan militer, apakah Netanyahu dan para pendukungnya tidak sadar bahwa mereka tengah menyiapkan “fakta keras” yang akan dibayar oleh rakyatnya sendiri?
Namun, dampak negatif ini bukan hanya terasa di dalam negeri. Di luar sana, dunia mulai menilai “Israel” sebagai negara yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis. Tuduhan genosida bukan lagi sekadar debat di meja internasional; ia telah menjadi label yang menggerogoti legitimasi negara itu di mata dunia. Dari ancaman pemboikotan hingga protes internasional, “Israel” semakin terpojok, dan itu hanya soal waktu sebelum negara ini semakin terisolasi secara diplomatik. Negara yang sebelumnya dijuluki sebagai “oasis demokrasi” di Timur Tengah kini perlahan kehilangan kemewahan tersebut, seiring dengan semakin meledaknya ketegangan dan perpecahan dalam kebijakan luar negeri mereka.
Sementara itu, di dalam negeri, ketidakpuasan semakin meluas. Keberlanjutan pemerintahan yang berfokus pada solusi militer tanpa mempertimbangkan dialog damai hanya akan memperburuk suasana. Konflik yang tak kunjung usai, baik di Gaza maupun dengan negara-negara tetangga, membuat “Israel” terus terjebak dalam siklus kekerasan tanpa solusi. Tidak ada perdamaian yang datang dari peperangan berkelanjutan. Sebaliknya, rakyat biasa, yang semakin terjerat dalam kondisi sosial dan ekonomi yang buruk, mulai merasakan bahwa mereka hanyalah pion dalam permainan kekuasaan yang lebih besar.
Dan jika kita berbicara tentang masa depan, ada satu hal yang harus dihadapi: apakah “Israel” siap menanggung akibat dari kebijakan yang telah mereka pilih? Dalam laporan yang mengejutkan, diperkirakan bahwa 100.000 tentara “Israel” akan mengalami kecacatan hingga tahun 2030, dengan 60% di antaranya mengalami gangguan mental. Trauma fisik dan psikologis ini akan menjadi beban jangka panjang bagi generasi mendatang. Penderitaan fisik para tentara yang terluka hanyalah permulaan; dampak mental akibat perang ini akan terus menghantui mereka. Dan bagaimana dengan warga sipil? Jika kehidupan mereka semakin terancam oleh ketidakamanan dan kekacauan, apakah mereka tidak akan mulai mempertanyakan apa yang telah mereka perjuangkan?
Krisis yang semakin dalam ini bisa berujung pada kehancuran jika “Israel” tidak segera mengubah arah kebijakannya. Tidak ada negara yang bisa bertahan selamanya dengan kebijakan yang hanya mengutamakan kekerasan dan penindasan. Pada akhirnya, apakah “Israel” akan terus merayakan kemenangan semu, ataukah mereka akan sadar bahwa harga yang mereka bayar, baik secara fisik maupun psikologis, terlalu mahal untuk diterima? Keputusan-keputusan yang diambil oleh pemimpin mereka hari ini akan menentukan apakah “Israel” akan mampu bertahan atau akan tenggelam dalam kehancuran yang mereka ciptakan sendiri. Keputusan ini bukan hanya soal perang dan politik, tetapi soal masa depan, bukan hanya untuk “Israel”, tetapi untuk perdamaian yang sejati di kawasan ini.
*sumber: Al Mayadeen