Opini
ISIS: Bayang Mematikan di Balik Adaptasi Licik

Di bawah langit kelam Sahel, api berkobar di ujung desa. Tembakan bergema, memecah keheningan, sementara warga berlari mencari perlindungan. Bendera hitam berkibar di tangan penyerang, simbol Islamic State (IS) yang tak pernah pudar. Global Terrorism Index (GTI) 2025, laporan tahunan Institute for Economics & Peace, mengukuhkan ISIS sebagai kelompok teroris paling mematikan, dengan 1.833 kematian di 21 negara. Angka ini adalah pengingat bahwa, meski kekhalifahan mereka runtuh, IS atau biasa dikenal sebagai ISIS tetap hidup, beradaptasi, dan menghantui dunia. Dari desa terpencil hingga lorong digital, mereka menabur teror dengan licik. Mengapa mereka masih mendominasi? Adaptasi taktik dan eksploitasi konflik adalah jawabannya.
GTI 2025 mencatat lonjakan kematian akibat terorisme menjadi 8.352 jiwa, tertinggi sejak 2017, meski insiden turun 22%. Wilayah Sahel, khususnya Burkina Faso, kini menjadi pusat terorisme global, menyumbang hampir setengah kematian dunia. Di sini, ISIS dan afiliasinya, seperti Islamic State West Africa Province (ISWAP), menyerang desa-desa terisolasi, menewaskan warga sipil yang tak berdaya. Serangan mereka dirancang untuk memicu kepanikan, seperti pembantaian di pasar atau penyergapan komunitas petani. Data GTI menunjukkan 94% kematian terjadi di negara berkonflik, tempat ISIS memanfaatkan kekacauan politik untuk memperluas cengkeraman mereka.
Adaptasi taktik adalah nyawa ISIS. Dulu mereka bertarung dengan tank dan menguasai kota seperti Raqqa. Kini, mereka adalah bayangan gerilya, bergerak cepat untuk menghindari militer. Di Sahel, drone murah menjadi alat pengintaian atau pengirim bom kecil, sederhana namun mematikan. Propaganda mereka juga berubah, dari glorifikasi kekhalifahan ke narasi perlawanan terhadap pemerintah korup. Video di Telegram memamerkan serangan di Mali, menginspirasi pendukung tanpa komando langsung. GTI 2025 mencatat aktivitas ISIS di 21 negara, dari Nigeria hingga Afghanistan, bukti jaringan mereka yang lentur.
ISIS juga mahir memanfaatkan kerapuhan sosial. Di Sahel, mereka memicu konflik antara petani dan penggembala, menawarkan perlindungan kepada kelompok tertindas untuk merekrut anggota. Di Afghanistan, Islamic State Khorasan Province (ISKP) menyerang minoritas Hazara, memperdalam perpecahan sektarian dengan bom di masjid yang menewaskan puluhan orang. GTI menyebut ISKP sebagai salah satu cabang paling mematikan, dengan ratusan korban jiwa. Kemampuan ISIS menyesuaikan narasi lokal membuat mereka sulit dilumpuhkan, bahkan oleh koalisi global yang berusaha memutus akar mereka.
Namun, ISIS bukan tak terkalahkan. Dunia telah mencatat kemenangan penting. Di Filipina, pasca-pengepungan Marawi oleh Maute Group, kelompok pro-ISIS, otoritas berhasil membasmi jaringan mereka melalui operasi militer dan intelijen ketat. Komunitas lokal di Mindanao kini dilibatkan dalam deteksi dini, melaporkan aktivitas mencurigakan sebelum berkembang menjadi ancaman. GTI 2025 menunjukkan penurunan aktivitas teroris di Filipina, bukti bahwa pendekatan terkoordinasi bisa melemahkan ISIS. Kemenangan ini mengingatkan bahwa adaptasi taktik ISIS bisa dilawan dengan strategi yang tepat.
Bandingkan ISIS dengan kelompok lain, seperti Jamaat Nusrat Al-Islam wal Muslimeen (JNIM). Meski JNIM lebih aktif dalam jumlah insiden di Sahel, serangan mereka kurang mematikan dibandingkan ISIS. JNIM fokus menguasai wilayah dan menyerang militer, sementara ISIS memilih target sipil untuk kengerian maksimal. GTI mencatat lebih dari 50% serangan teroris menewaskan warga sipil, dan ISIS adalah dalang utama. Di Nigeria, ISWAP melampaui Boko Haram dengan serangan terkoordinasi, seperti penyergapan konvoi yang menewaskan puluhan tentara.
Struktur ISIS yang terdesentralisasi memperpanjang umur mereka. Setelah kekalahan di Suriah, mereka tak lagi bergantung pada komando pusat. Cabang seperti ISWAP atau ISKP beroperasi mandiri, menyesuaikan taktik dengan kebutuhan lokal. Di Irak, sel-sel kecil ISIS melakukan pembunuhan senyap terhadap pejabat, lalu menghilang ke gurun. GTI 2025 menegaskan bahwa fleksibilitas ini memungkinkan ISIS bertahan meski menghadapi tekanan global. Mereka seperti air, mengalir ke celah-celah kekacauan untuk tetap hidup.
Indonesia menawarkan gambaran berbeda. Dengan skor GTI 4,17, ancaman terorisme di sini terkendali, tanpa kematian akibat terorisme pada periode laporan. Namun, ISIS tetap hadir melalui Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang melemah namun aktif di ranah digital. Propaganda online mereka menargetkan pemuda, menawarkan makna di tengah keterasingan. Serangan kecil, seperti upaya bom di pos polisi, digagalkan oleh Detasemen Khusus 88, tetapi menunjukkan ideologi ISIS masih mengintai dalam bayang-bayang.
Indonesia juga menunjukkan inovasi dalam melawan ISIS. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memperluas program deradikalisasi, bekerja sama dengan ulama dan komunitas untuk membongkar narasi ekstrem. Reintegrasi mantan simpatisan ISIS menjadi fokus, dengan pelatihan kerja dan konseling untuk mengembalikan mereka ke masyarakat. Di penjara, program isolasi mencegah radikalisasi lanjutan. Meski tantangan seperti radikalisasi online tetap ada, pendekatan ini menekan ruang gerak JAD, menjadikan Indonesia model kontra-terorisme yang patut diperhatikan.
Keberhasilan global lain juga patut dicatat. Di Irak dan Suriah, koalisi internasional menghancurkan kekhalifahan ISIS, memaksa mereka beralih ke gerilya. Komunitas lokal kini berperan besar, seperti di Irak, di mana suku-suku Sunni membantu intelijen melacak sel-sel ISIS. GTI 2025 menunjukkan penurunan insiden di Timur Tengah, bukti bahwa tekanan terkoordinasi bisa meredam ancaman. Kemenangan ini, meski tak sempurna, melemahkan kemampuan ISIS untuk mengulang serangan skala besar seperti Paris 2015.
Namun, kelemahan dunia memperpanjang nafas ISIS. Penarikan pasukan dari Mali dan Afghanistan meninggalkan kekosongan yang mereka manfaatkan. Di Sahel, kudeta dan korupsi menciptakan ladang subur bagi terorisme. GTI menegaskan bahwa 94% kematian terjadi di zona konflik, dan ISIS adalah predator utama di sini. Upaya kontraterorisme terpecah, dengan fokus global beralih ke persaingan geopolitik, memberi ISIS ruang untuk bangkit kembali di desa-desa terpencil.
ISIS bukan tanpa kelemahan. Jaringan mereka terfragmentasi, dengan cabang-cabang yang kadang bersaing. Serangan besar seperti Bom Surabaya sudah tak mampu mereka ulang. Di Suriah, kekalahan mereka menunjukkan bahwa tekanan militer bisa berhasil. Namun, GTI 2025 mengingatkan bahwa selama konflik dan ketidakstabilan ada, ISIS akan menemukan celah. Burkina Faso, dengan skor GTI tertinggi, adalah contoh bagaimana kelemahan pemerintah membuka pintu lebar bagi teror mereka.
Laporan GTI 2025 adalah cermin kelam: ISIS tetap mematikan karena mereka belajar bertahan. Dari drone di Sahel hingga propaganda di Indonesia, mereka adalah ideologi yang menolak mati. Namun, dunia bukan tanpa harapan. Keberhasilan Filipina, Indonesia, dan Irak menunjukkan bahwa ISIS bisa dilawan dengan intelijen, komunitas, dan kolaborasi. Tantangannya kini adalah menyatukan pemerintah, masyarakat, dan teknologi untuk menutup celah-celah itu. Hanya dengan kerja sama lintas batas, dari desa hingga server digital, kita bisa memadamkan bisikan teror mereka untuk selamanya.