Connect with us

Opini

ISIS Bangkit Lagi: Ancaman Senyap dari Reruntuhan

Published

on

Tiba-tiba, nama itu kembali terdengar: Islamic State. Bukan sekadar kenangan dari masa lalu kelam antara 2014 hingga 2019, saat kekhalifahan semu mereka menggenggam wilayah luas di Suriah dan Irak, menebar ketakutan dalam bentuk pemenggalan, bom bunuh diri, hingga video propaganda gelap. Kini, setelah bertahun-tahun tenggelam dalam bayang-bayang, lebih dari dua puluh sumber dari pejabat keamanan, diplomat, hingga analis memperingatkan: ISIS tengah bangkit, pelan tapi nyata.

Di reruntuhan pasca-tumbangnya Bashar al-Assad di Suriah, ruang kosong kekuasaan seolah menjadi panggilan bagi sisa-sisa jaringan ISIS yang pernah tersebar. Mereka tak lagi ramai, tak lagi berbaris di depan kamera dengan bendera hitam. Namun diam-diam, mereka mengidentifikasi target, memindahkan senjata, dan merekrut—menyusupkan kehidupan ke dalam sel-sel tidur yang selama ini tak bersuara. Kolonel Abdul Ameer al-Bayati dari Divisi 8 Irak mengakui, unsur ISIS kembali bergerak, percaya diri di tengah kekacauan yang tak kunjung reda.

Meski serangan mereka belum masif—baru 38 klaim di Suriah dan hanya 4 di Irak sepanjang tahun ini—intensitas bukanlah satu-satunya ukuran bahaya. Justru ketika mereka terlihat senyap, risiko strategi jangka panjang meningkat. Beberapa serangan besar bahkan berhasil dicegah, seperti bom bunuh diri di Daquq, Irak, yang berhasil digagalkan setelah dua kurir ISIS tertangkap membawa instruksi lisan untuk mengaktifkan sel di wilayah itu. Hal-hal seperti ini bukan sekadar “insiden”, melainkan potongan puzzle dari sesuatu yang lebih besar.

Kekosongan politik dan keamanan di Suriah semakin rumit dengan naiknya Ahmed al-Sharaa sebagai pemimpin baru. Di saat negara masih sibuk menata ulang struktur pemerintahan dan keamanan, para militan mulai bergeser dari gurun ke kota—ke Aleppo, Homs, bahkan Damaskus. Gerakan senyap ini menandakan perubahan taktik. ISIS tak lagi bertarung di medan terbuka, tapi memilih kota sebagai tempat sembunyi, tempat mereka bisa tumbuh tanpa terlihat. Sementara itu di Irak, kawasan Pegunungan Hamrin kembali menjadi titik pengamatan, dihantui peningkatan aktivitas drone dan laporan pergerakan militan.

Situasi ini diperumit oleh kembalinya petempur asing. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, intelijen Eropa melaporkan bahwa individu dari Benua Biru kembali menyeberang ke Suriah. Meski belum jelas apakah mereka bergabung dengan ISIS atau faksi lain, gelombang ini cukup untuk memicu kekhawatiran global. Koneksi lintas negara semacam ini adalah bahan bakar utama kebangkitan lama ISIS, dan jika kini mulai hidup kembali, dunia tak bisa hanya menonton.

Peringatan datang dari berbagai penjuru. Menteri Dalam Negeri Suriah, Anas Khattab, menyebut bahwa tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah saat ini adalah Daesh—nama Arab untuk ISIS. Bahkan dalam laporan SITE Intelligence Group, ISIS telah mulai menyebar senjata seperti senapan otomatis, peredam suara, dan bahan peledak ke berbagai wilayah. Gerakan ini bukan sekadar bekal perlawanan kecil, tapi isyarat bahwa mereka menyiapkan fase baru: fase restrategisasi. Mereka belum berteriak, tapi bersiap untuk mengaum.

Konstelasi geopolitik turut membuka celah. Saat Presiden Trump dalam kunjungan ke Arab Saudi bertemu dengan al-Sharaa dan mengumumkan pengurangan setengah pasukan AS di Suriah, ISIS merespons cepat. Dalam publikasi al-Naba, mereka mengutuk pertemuan itu dan menyeru para petempur asing untuk bergabung ke barisan mereka. Bagi kelompok seperti ISIS, kompromi antara kekuatan regional dan global adalah peluang. Di tengah kekosongan itu, mereka bisa menawarkan narasi “perlawanan”—bukan terhadap ketidakadilan, tetapi demi ambisi kekuasaan berbasis kekerasan.

Lebih dari 9.000 tahanan ISIS saat ini masih dijaga oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS. Namun sejak Assad tumbang, dua upaya pelarian telah terjadi. Siapa yang menjamin tidak akan ada yang ketiga, atau keempat? Apalagi saat konflik internal di Suriah belum usai, dan serangan udara dari Israel serta bentrokan dengan kelompok oposisi terus membebani stabilitas wilayah.

Amerika Serikat pun mulai membuka jalur komunikasi terbatas dengan rezim al-Sharaa, terutama menyangkut operasi intelijen seperti penggerebekan di Aleppo yang menewaskan tiga militan ISIS. Namun, koordinasi ini tetap dibatasi oleh ketidakpastian politik dan keraguan terhadap kemampuan pemerintahan baru. Di Irak, kekhawatiran meningkat. Menteri Luar Negeri Fuad Hussein bahkan menyatakan bahwa pihaknya telah meminta agar AS menunda pengurangan pasukan karena ancaman terhadap stabilitas regional sangat nyata.

Dalam laporan PBB, diperkirakan ISIS masih memiliki antara 1.500 hingga 3.000 petempur aktif di Suriah dan Irak. Namun cabang paling kuat mereka kini justru berada di Afrika, dipimpin oleh Abdulqadir Mumin di Somalia. Fakta ini menunjukkan bahwa ISIS bukan lagi satu entitas lokal atau regional, melainkan jaringan adaptif yang tahu bagaimana berpindah, merunduk, dan bertahan.

Bagi Indonesia, realitas ini tak bisa dianggap jauh. Kita pernah mengalami keterkejutan ketika ratusan warga negara berangkat ke Suriah dan Irak pada puncak kejayaan ISIS. Beberapa pulang dengan luka, beberapa tewas, dan sebagian masih hilang. Pertanyaan tentang paspor—apakah mereka masuk kembali dengan dokumen Suriah atau tetap dengan identitas Indonesia—harus dijawab secara jujur. Lengah dalam hal ini bukan hanya risiko hukum, tetapi juga soal keamanan nasional dan jaringan sosial yang mungkin telah mereka bangun kembali secara diam-diam.

Apa yang sedang kita hadapi bukan hanya soal “kebangkitan ISIS” secara fisik, tetapi juga kebangkitan pola pikir radikal yang bisa menyusup dalam bentuk-bentuk baru. Di saat publik lelah oleh konflik politik domestik, di saat media sosial penuh hiruk-pikuk dan disinformasi, di sanalah ruang-ruang baru bisa terbuka untuk doktrin destruktif. Bukankah sudah seharusnya kita lebih waspada, tidak hanya dengan mata, tapi juga dengan hati dan kesadaran kolektif?

Resurgensi ISIS adalah peringatan, bukan hanya untuk Suriah dan Irak, tapi untuk dunia. Terutama negara-negara yang pernah menjadi bagian dari lalu lintas ideologis, logistik, dan manusia dalam jaringan transnasional mereka. Ini bukan tentang sekadar mencegah serangan, tapi memastikan bahwa kita tak lagi mengulang siklus yang sama: terkejut, bereaksi, lalu lupa. Sebab musuh kali ini tidak selalu datang dengan senjata, tapi kadang dengan paspor sah dan senyum yang kita kenali.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *