Connect with us

Opini

Ironi Suriah: Saat Nyawa Hilang, Dunia Sibuk Berdiplomasi

Published

on

Hari-hari ini, dunia tampaknya sibuk dengan drama politik tingkat tinggi di Riyadh, tempat para pemimpin Arab dan Uni Eropa berkumpul. Mereka membahas masa depan Suriah yang katanya cerah setelah Bashar al-Assad tumbang. Namun, realitas di lapangan bercerita lain. Rakyat Suriah, terutama komunitas Alawite, sedang menghadapi mimpi buruk yang tak berkesudahan.

Laporan menunjukkan bahwa militan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang kini memimpin pemerintahan transisi di Suriah telah memulai gelombang kekerasan sektarian. Di desa-desa seperti Al-Zaghba dan Salamiyah, mereka memaksa penduduk untuk meninggalkan rumah, mencuri, membakar, dan membunuh tanpa pandang bulu. Ini bukan masa depan, ini teror.

Sementara itu, di ruang konferensi yang nyaman dan mewah di Riyadh, pembicaraan didominasi oleh isu sanksi dan investasi. Para pemimpin berbicara tentang “dividen cepat” dari transisi kekuasaan, seolah-olah penderitaan rakyat hanyalah detail kecil yang bisa ditunda sampai agenda utama mereka selesai. Ironi ini begitu mencolok.

Di Hama, militan HTS bahkan melakukan eksekusi tanpa pengadilan, melabeli korban sebagai “sisa rezim” atau kadang-kadang tanpa alasan sama sekali. Tidak ada yang aman, bahkan seorang mahasiswa farmasi dari Homs menjadi korban penculikan dan pembunuhan. Tapi di Riyadh, pembicaraan berjalan seperti biasa, tanpa menyebutkan insiden semacam ini.

Kisah tragis aktor Abdulmounem Amayri yang dibunuh karena tuduhan penistaan agama menunjukkan betapa gelapnya situasi di lapangan. Namun, para pemimpin dunia lebih memilih memikirkan bagaimana membangun kembali ekonomi Suriah tanpa peduli siapa yang harus membayar harga kemanusiaan. Realitas ini menjadi catatan pahit dari dunia yang apatis.

Bahkan, ketika laporan pelanggaran hak asasi manusia oleh militan HTS bermunculan, mereka dengan santai menyebutnya sebagai insiden “terisolasi.” Padahal, kisah keluarga Izzeddine yang dibantai saat memetik zaitun atau protes keluarga tentara yang ditahan tanpa alasan jelas menunjukkan pola sistematis yang mengerikan.

Di tengah semua ini, Uni Eropa berbicara tentang “pemerintahan inklusif” sebagai syarat pencabutan sanksi. Apakah pemerintahan yang dipimpin oleh mantan afiliasi Al-Qaeda dengan catatan buruknya memenuhi standar itu? Tampaknya, standar moral internasional hanya berlaku bila tidak bertentangan dengan kepentingan ekonomi dan politik.

Sanksi, yang konon dijadikan alat untuk menekan Assad, kini menjadi alat tawar-menawar dengan rezim baru yang sama represifnya. Mereka yang memutuskan sanksi tidak pernah merasakan kelaparan atau kehilangan rumah. Mereka hanya sibuk menghitung laba dari investasi minyak dan gandum, seperti sedang merancang pasar baru.

Arab Saudi, yang pernah memimpin kampanye melawan Assad, kini menjadi tuan rumah pertemuan yang menggambarkan putaran tajam dalam diplomasi regional. Setelah menyambut Assad kembali ke Liga Arab tahun lalu, kini mereka bersedia bernegosiasi dengan penerusnya yang jauh dari kata damai.

Ironinya, negara-negara yang terlibat dalam pembicaraan ini berbicara lantang tentang hak asasi manusia, tetapi diam seribu bahasa ketika nyawa manusia dihancurkan atas nama transisi politik. Mereka berbicara tentang masa depan yang cerah sambil menginjak-injak masa kini yang penuh luka.

Bagi komunitas Alawite dan minoritas lainnya di Suriah, ini bukan hanya tentang kehilangan rumah atau tanah, tetapi juga kehilangan rasa aman dan martabat. Tapi siapa yang peduli? Para pemimpin dunia sibuk menyesap kopi di Riyadh, berbicara tentang “rekonsiliasi” yang tidak pernah mereka pahami.

Dunia kini seperti penonton yang hanya fokus pada panggung utama dan melupakan tragedi yang terjadi di belakang layar. Suriah adalah panggung itu, di mana penderitaan nyata tenggelam dalam suara tepuk tangan untuk rencana-rencana besar yang tak pernah menyentuh akar masalah. Ironi ini akan terus bergema.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *