Opini
Ironi Suriah: Eksekutor Jadi Simbol Keadilan Negara

Sungguh sebuah langkah brilian dari pemerintahan Suriah yang dipimpin oleh eks-jaringan jihadis! Dunia kini disuguhi kisah keadilan versi distopia: seorang pria yang dulunya dengan tenang mengawasi eksekusi jalanan kini menjadi Menteri Kehakiman. Shadi Muhammad al-Waisi, yang diabadikan dalam video viral saat memimpin eksekusi dua perempuan di Idlib pada 2015 atas tuduhan prostitusi dan zina, kini diamanahi tugas menegakkan hukum. Mungkin ini definisi baru dari istilah “hakim yang tegas.” Sayangnya, yang dilihat publik adalah jejak darah, bukan kredibilitas.
Mengangkat seorang eksekutor jalanan sebagai simbol keadilan tentu langkah strategis untuk memastikan reformasi hukum berjalan mundur dengan gesit. Dalam video yang dikonfirmasi oleh Verify-Sy, al-Waisi tampil percaya diri, seolah menegaskan bahwa hukum bukanlah alat untuk melindungi, melainkan senjata untuk menundukkan. Dan kini, pria itu dipercaya untuk memimpin institusi yang seharusnya menjadi penjamin keadilan bagi rakyat. Sebuah ironi yang terlalu pedas untuk diabaikan.
Hebatnya lagi, pemerintah sementara yang dipimpin oleh eks-petinggi Al-Qaeda, Ahmad al-Sharaa (alias Abu Mohammad al-Julani), dengan santainya berjanji akan “meninjau ulang” tindakan hukum masa lalu. Apakah ini berarti kita harus percaya bahwa al-Waisi, dengan sejarahnya yang gemilang dalam menjatuhkan palu hukum yang mematikan, akan tiba-tiba berubah menjadi pembela HAM? Entah bagaimana, transformasi ini lebih mirip sandiwara ketimbang reformasi. Tetapi siapa yang peduli? Yang penting dunia barat tampaknya cukup puas dengan janji kosong dan “tangan yang terulur” dari pemerintah ini.
Saat Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock dengan santai menyebut adanya “keinginan untuk moderasi” dari pemerintah Suriah, kita harus bertanya: di mana batas toleransi Barat terhadap hipokrisi ini? Pertemuan para diplomat dengan rezim yang baru saja melantik mantan pelaku pelanggaran HAM ke jabatan tinggi adalah bentuk legitimasi terselubung. Apakah para pemimpin ini benar-benar percaya bahwa mereka dapat memetik buah demokrasi dari pohon yang ditanam dengan kekerasan dan darah?
Jika langkah ini dibiarkan, konsekuensinya jelas. Pertama, Suriah akan semakin dalam terjerumus ke dalam jurang impunitas, di mana pelanggar hukum justru menjadi pembuat hukum. Kedua, legitimasi institusi hukum akan terkikis hingga tak bersisa, karena masyarakat tahu bahwa keadilan di negara ini hanyalah permainan sandiwara elit. Ketiga, pesan yang dikirimkan kepada rakyat dan dunia adalah bahwa kejahatan bukanlah penghalang untuk mencapai kekuasaan, selama Anda memiliki koneksi yang tepat.
Dunia internasional seharusnya lebih tegas. Tidak cukup hanya “menilai berdasarkan tindakan.” Kita telah melihat tindakannya: mengangkat hakim dengan rekam jejak mengerikan. Negara-negara seperti Jerman dan Prancis harus berhenti meromantisasi narasi reformasi palsu ini. Jika mereka terus berdiam diri, mereka tak ubahnya menjadi kaki tangan dalam melanggengkan sistem yang kejam ini.
Namun, masalah ini bukan hanya soal keadilan di Suriah; ini adalah ujian moral bagi komunitas internasional. Jika komunitas global terus menutup mata, mereka mengirimkan pesan yang sangat berbahaya: bahwa pelanggaran HAM bisa dimaafkan jika pelakunya cukup cerdik untuk membungkusnya dalam narasi reformasi. Ini adalah preseden yang mengancam, tidak hanya bagi Suriah tetapi juga bagi negara-negara lain di mana keadilan sering kali menjadi korban ambisi politik.
Suriah butuh reformasi, bukan daur ulang pelaku kejahatan menjadi pejabat. Dunia tidak bisa terus-menerus mengedepankan kompromi yang melanggengkan kezaliman. Karena ketika keadilan dikendalikan oleh tangan-tangan berlumuran darah, yang tersisa hanyalah kesunyian panjang atas hak asasi manusia yang terkubur dalam-dalam.
Lebih jauh, masyarakat internasional harus memberikan tekanan nyata kepada pemerintah sementara Suriah untuk membuktikan komitmennya pada reformasi. Ini termasuk penyelidikan independen atas masa lalu al-Waisi dan pemecatan pejabat dengan rekam jejak yang tercela. Jika dunia tidak bertindak sekarang, maka kita hanya menunggu waktu hingga rezim ini kembali mengulangi siklus kekejaman yang sama.
Barat, khususnya negara-negara seperti Jerman dan Prancis, harus berhenti bermain aman dengan “pendekatan dialog.” Dialog tanpa tekanan adalah omong kosong belaka. Hanya dengan sanksi tegas, investigasi independen, dan dukungan kepada masyarakat sipil Suriah, perubahan nyata dapat diwujudkan. Karena jika tidak, dunia hanya menjadi saksi bisu dari tragedi yang terus berulang: ketika keadilan dikorbankan demi stabilitas semu, dan pelanggar hukum terus berkuasa tanpa batas.