Connect with us

Opini

Ironi Revolusi Suriah: Dari Mulut Singa ke Buaya

Published

on

Lima Alawit dieksekusi di Hama pada 27 Januari. Dalam beberapa hari terakhir, jumlah korban mencapai 35 jiwa. Direktur Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), Rami Abdul Rahman, menyebut eksekusi dilakukan oleh kelompok bersenjata di bawah Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Ironisnya, ini adalah terjadi di babak baru yang disebut sebagai era “keamanan dan keadilan.”

Ahmad al-Sharaa, mantan pemimpin ISIS yang kini memimpin pemerintahan de facto, sibuk memperkuat legitimasi internasionalnya. Ia mengklaim sedang menciptakan “keamanan,” namun di sisi lain minoritas diburu, warga diculik, dan eksekusi lapangan menjadi pemandangan rutin. Benarkah ini kebebasan yang diimpikan rakyat Suriah selama 13 tahun terakhir? Atau hanya transisi menuju tirani baru?

Perjuangan Suriah dimulai dengan harapan besar: mengakhiri kediktatoran Bashar al-Assad. Namun, hari ini, harapan itu berubah menjadi mimpi buruk. Dari mulut singa Assad, rakyat Suriah kini masuk ke mulut buaya HTS. Revolusi yang seharusnya melahirkan keadilan justru melanggengkan kekerasan dan pembalasan yang merusak tatanan sosial.

Ahmad al-Sharaa mungkin sosok paling ironis dalam cerita ini. Sebagai mantan pemimpin kelompok ekstremis, ia sekarang memimpin “pemerintahan transisi.” Sanksi internasional dilonggarkan, label teroris dihapus, dan pertemuan politik dengan negara-negara besar mulai berlangsung. Dunia tampaknya menganggap seorang ekstremis sebagai solusi yang lebih baik daripada kekacauan yang tidak terkendali.

Namun, apakah stabilitas seperti ini layak dirayakan? Sementara minoritas seperti Alawit dan Kristen diburu, tempat-tempat ibadah mereka dihancurkan, dan hak hidup mereka dipertaruhkan, sulit untuk tidak bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari semua ini? Rakyat Suriah jelas bukan jawabannya.

Eksekusi massal, seperti yang dilaporkan SOHR, bukanlah keadilan transisi. Ini adalah balas dendam brutal yang dibalut retorika manis. Bahkan direktur SOHR sendiri mengakui bahwa korban bukanlah sisa-sisa rezim Assad, melainkan warga sipil tak bersalah. Tapi apakah Ahmad al-Sharaa peduli? Tentu tidak, selama pemerintahannya tetap kokoh.

Revolusi yang awalnya menjadi simbol perlawanan terhadap otoritarianisme kini ternoda oleh kehadiran kelompok bersenjata yang berperilaku tak jauh beda dari rezim yang mereka gulingkan. Dunia internasional, alih-alih menekan pelanggaran ini, justru sibuk mencabut sanksi dan memberikan pengakuan politik. Ironi ini sungguh mencolok.

Uni Eropa baru-baru ini melonggarkan sanksi di sektor keuangan dan energi Suriah. Apa alasan di balik keputusan ini? Stabilitas. Dunia internasional tampaknya rela menutup mata terhadap kekejaman asalkan mereka tidak perlu menghadapi krisis pengungsi baru. Prinsip keadilan internasional? Mungkin hanya hiasan dalam pidato-pidato.

Namun, mari kita bicara lebih jujur. Bagaimana mungkin seseorang seperti Ahmad al-Sharaa, yang rekam jejaknya berlumuran darah, menjadi pemimpin yang diterima? Tentu, politik memiliki logikanya sendiri, tetapi akankah sejarah memaafkan mereka yang memilih stabilitas di atas kemanusiaan? Jawabannya akan terungkap di masa depan.

Rakyat Suriah layak mendapatkan lebih dari ini. Mereka layak mendapatkan kebebasan sejati, bukan sekadar transisi dari satu rezim ke rezim lainnya yang sama represifnya. Tetapi ketika aktor-aktor revolusi sendiri menggenggam senjata dan menghalalkan kekerasan, harapan untuk kebebasan semakin kabur di balik asap perang.

Situasi ini menunjukkan betapa rapuhnya perjuangan untuk kebebasan jika tidak diiringi prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Dari mulut singa ke mulut buaya, rakyat Suriah kini terjebak dalam labirin kekerasan yang tak berujung. Dan dunia? Dunia memilih diam, bernegosiasi, dan melupakan mereka yang telah menjadi korban.

Jika revolusi selama 13 tahun hanya berujung pada pembantaian baru, maka inilah saatnya untuk bertanya: apa sebenarnya yang kita perjuangkan? Keamanan tanpa keadilan hanyalah ilusi. Dan kebebasan tanpa kemanusiaan hanyalah retorika kosong. Suriah telah menjadi pengingat pahit bahwa tirani bisa memakai wajah apa saja, bahkan wajah revolusi.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *