Connect with us

Opini

Ironi Rafah: Ketika Kota Kemanusiaan Menjadi Alat Perang

Published

on

Media Israel melaporkan bahwa upaya gencatan senjata di Gaza kini terancam gagal, bukan karena kekerasan dari faksi bersenjata atau kemandekan diplomatik yang biasa, melainkan karena satu keputusan sepihak yang dibungkus jargon kemanusiaan. “Israel”, dalam manuver sepihaknya, bersikukuh membangun sebuah proyek bernama “kota kemanusiaan” di Rafah. Di balik istilah yang terdengar penuh empati itu, tersembunyi niat strategis dan dominasi militer yang dipertanyakan bahkan oleh sekutu dan pejabat internalnya sendiri.

Rencana membangun fasilitas raksasa ini bertujuan memindahkan sekitar 600.000 warga sipil dari Gaza bagian utara ke wilayah selatan, konon demi alasan kemanusiaan. Namun proyek ini bukan digagas oleh lembaga kemanusiaan, bukan pula dijalankan dengan koordinasi organisasi internasional independen. Ini adalah proyek militer—disusun, diawasi, dan dieksekusi oleh tentara “Israel” atas mandat politik dari pemerintahan Netanyahu. Di mata banyak pihak, termasuk para mediator di Doha, ini bukan solusi. Ini perintah evakuasi besar-besaran yang hanya menambah daftar panjang pemindahan paksa warga Palestina sejak 1948.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Channel 12 Israel melaporkan bahwa bahkan kalangan militer sendiri memperingatkan pemerintah: pembangunan fasilitas ini saat gencatan senjata bisa dimaknai oleh Hamas sebagai sinyal bahwa “Israel” hanya mengejar kesepakatan parsial, lalu akan kembali melanjutkan agresi. Dalam istilah strategis, ini adalah bentuk manuver preemptive: menggunakan masa damai untuk menyusun ulang posisi, memperkuat pasokan, dan membentuk narasi dominasi di tanah yang belum lepas dari bara perang.

Peringatan itu bukan tanpa dasar. Estimasi menunjukkan bahwa pembangunan proyek ini akan memakan waktu tiga hingga lima bulan. Dalam rentang waktu tersebut, diperlukan pengalihan sumber daya militer besar-besaran—baik dari segi pasukan, logistik, hingga suplai medis dan sanitasi. Apakah itu layak disebut proyek kemanusiaan? Atau justru perang dengan wajah yang diperhalus?

Tak hanya itu. Proyek ini ditolak oleh Hamas karena memuat klausul bahwa pasukan “Israel” akan tetap bercokol di Rafah selama masa gencatan senjata. Di mata kelompok perlawanan, kehadiran militer berarti tidak ada jaminan keamanan. Dan tampaknya bukan hanya Hamas yang meragukan niat baik proyek ini. Media Kan melaporkan bahwa beberapa pejabat “Israel” sendiri menyatakan keraguannya bahwa rencana ini bisa diterima, bahkan jika disesuaikan atau dimodifikasi. Artinya, para perancangnya pun tahu bahwa ini lebih menyerupai rencana sabotase daripada solusi damai.

Pertanyaannya kemudian: untuk siapa kota ini dibangun? Jika evakuasi dilakukan paksa, jika pengawasan dilakukan oleh militer penjajah, dan jika penduduk yang ditempatkan di dalamnya tidak punya kuasa menentukan nasib mereka sendiri, apakah ini bisa disebut sebagai zona kemanusiaan? Ataukah ini adalah lanjutan dari logika kolonial yang membungkus penguasaan wilayah dengan klaim moral?

Dari perspektif Indonesia, negara yang konstitusinya secara eksplisit menolak penjajahan, wacana seperti ini seharusnya membangkitkan kewaspadaan. Kita bukan sekadar penonton, tapi bagian dari komunitas internasional yang punya tanggung jawab moral dan diplomatik untuk menolak segala bentuk pemindahan paksa dan manipulasi narasi kemanusiaan untuk tujuan strategis. Apalagi Indonesia punya sejarah panjang dukungan terhadap Palestina, termasuk peran aktif dalam Konferensi Asia-Afrika, hingga komitmen diplomasi bebas-aktif yang menolak hegemoni dalam segala bentuknya.

Tapi apakah posisi kita hari ini cukup vokal? Saat “Israel” justru mengintensifkan operasi militer, memperluas dominasi, dan mengabaikan mediasi internasional, suara negara-negara di Selatan Global terasa semakin lirih. Apakah kita telah kehilangan ketegasan dalam membela prinsip? Ataukah kita mulai terjerat dalam diplomasi basa-basi yang menghindari konfrontasi langsung?

Laporan dari Channel 14 menambahkan elemen penting dalam konflik ini: sumbu ketegangan baru bukan hanya militer atau diplomatik, tapi juga distribusi bantuan. Operasi perusahaan Amerika di Gaza selatan, yang selama ini mengatur distribusi bantuan, kini menjadi sengketa. “Israel” menolak permintaan Hamas untuk menghentikan operasi perusahaan tersebut dan menarik penuh pasukannya dari selatan Gaza. Ini menunjukkan bahwa bahkan urusan pangan dan obat-obatan pun kini dimasukkan dalam kalkulasi perang dan strategi tekanan.

Ketika bantuan kemanusiaan menjadi ajang tawar-menawar politik dan perang urat syaraf, siapa yang benar-benar membela nyawa warga sipil? Kita harus kembali mempertanyakan esensi dari gencatan senjata: apakah ini jeda untuk merawat yang terluka dan menyelamatkan yang tersisa? Ataukah sekadar waktu tambahan untuk menyusun babak baru agresi?

Di Gaza, segala yang bernafas kini menjadi target yang bisa dinegosiasikan. Dari anak-anak yang kehilangan rumah, hingga ibu-ibu yang mencari air bersih, semuanya terjerat dalam lingkaran negosiasi yang tidak menempatkan mereka sebagai subjek. Padahal, dalam konflik sebesar ini, suara korban seharusnya menjadi pusat perhatian, bukan hanya angka statistik yang bisa dikompromikan dalam meja diplomasi.

Di Indonesia, kita terbiasa melihat bencana sebagai panggilan solidaritas. Tapi di Gaza, bencana adalah hasil dari desain kebijakan, bukan hanya akibat dari gejolak alam atau konflik sesaat. Maka, solidaritas yang dibutuhkan bukan hanya donasi, tapi juga keberanian politik untuk menyebut penindasan sebagai penindasan, pemindahan paksa sebagai kejahatan, dan rekayasa humanitarian city sebagai bentuk normalisasi dari kejahatan yang lebih besar: kolonisasi.

Kita bisa saja menutup mata dan menyebutnya konflik biasa. Tapi sejarah akan mencatat siapa yang diam ketika kata “kemanusiaan” digunakan untuk membungkus tindakan tidak manusiawi. Siapa yang berpura-pura netral ketika perumahan rakyat diubah menjadi target rudal. Dan siapa yang tetap berdiri menyuarakan keadilan ketika dunia sibuk memilih kata-kata yang tidak menyakiti pelaku kekerasan.

Dalam konteks ini, pembangunan kota di Rafah bukan sekadar proyek infrastruktur. Ia adalah ujian bagi moralitas dunia. Apakah kita akan menilai tindakan dari nama yang diberikannya—atau dari dampak nyata yang ditimbulkannya? Apakah kita cukup berani untuk berkata bahwa pemindahan paksa tetaplah bentuk kekerasan, meskipun dilakukan di bawah panji-panji humanitarian?

Kini, jalan menuju gencatan senjata semakin rumit. Negosiasi di Doha diwarnai ketidakpercayaan, kebuntuan, dan skenario-skenario saling sandera. Jika proyek “kota kemanusiaan” tetap dipaksakan, maka bukan hanya kesepakatan yang gagal, tetapi juga kemungkinan damai yang dipertaruhkan. Kita sedang menyaksikan bagaimana satu gagasan, yang tampaknya mulia, bisa berubah menjadi alat penghancur yang lebih halus, tapi tak kalah mematikan.

Dunia tak kekurangan narasi damai. Yang kurang adalah keberanian untuk menyebut pelanggaran sebagai pelanggaran, tanpa basa-basi dan tanpa pretensi. Dalam keheningan yang semakin sunyi, Gaza tetap menanti suara yang benar-benar berpihak, bukan sekadar bersimpati. Dan di tengah kabut asap dan reruntuhan Rafah, kata “kemanusiaan” terus diuji maknanya. Kita, sebagai bagian dari umat manusia, masih punya kesempatan untuk memilih: berdiri bersama yang tertindas—atau larut dalam eufemisme yang membius nurani.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer