Connect with us

Opini

Ironi Mesir–Yordania: Stabilkan Gaza, Singkirkan Perlawanan

Published

on

Di tengah puing-puing Gaza yang masih hangat berasap, ketika bau mesiu belum sempat pudar dan teriakan kehilangan masih menggantung di udara, sebuah kabar datang dari luar. Bukan kabar gencatan senjata yang sejati, bukan pula kabar bahwa blokade diangkat. Yang datang adalah rencana besar—rencana yang katanya demi masa depan Gaza, tapi anehnya disusun jauh dari tanah Gaza itu sendiri. Mesir dan Yordania, dua tetangga yang kerap mengaku berdiri bersama Palestina, kini tampil sebagai arsitek “pasca-perang” yang terdengar mulia di podium, tapi menyimpan aroma perhitungan dingin di balik layar.

Mesir, melalui Menteri Luar Negeri Badr Abdelatty, mengumumkan akan melatih 5.000 petugas keamanan Palestina di Mesir dan Yordania. Tujuannya jelas: menyiapkan Otoritas Palestina (PA) untuk mengambil alih pengelolaan keamanan Gaza setelah perang selesai. Narasinya rapi—ini tentang rekonstruksi, tentang stabilitas, tentang mempersiapkan administrasi sipil yang profesional. Tapi kalau kita bongkar sedikit, terlihat bahwa ini bukan sekadar kursus keamanan; ini adalah upaya mengganti wajah Gaza dengan model yang lebih jinak bagi dunia luar.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Saya rasa, kita semua tahu, kata “stabilitas” di dunia politik Timur Tengah jarang sekali berarti kedamaian sejati. Lebih sering, ia berarti “tenang untuk mereka yang berkuasa” dan “diam untuk mereka yang dipaksa tunduk.” Di sinilah absurditas itu menganga: Gaza yang baru saja dihancurkan oleh militer Israel, kini akan diatur oleh skema yang, pada intinya, berusaha melemahkan kekuatan perlawanan yang tersisa.

Hamas, yang selama ini memegang kendali Gaza, jelas menjadi target. Rencana Mesir-Yordania mensyaratkan pelucutan senjata kelompok ini, sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh mereka. Dan di sini, kita tak bicara soal senjata semata; kita bicara soal simbol perlawanan, soal hak untuk mempertahankan diri di hadapan penjajahan. Melucuti senjata Hamas, bagi banyak warga Palestina, sama artinya dengan meminta mereka menyerahkan hak terakhir untuk berkata “tidak” kepada Israel.

Ironisnya, Israel sendiri bahkan menolak gagasan bahwa PA akan mengelola Gaza. Netanyahu sudah bilang terang-terangan: pasca-pendudukan Gaza, ia ingin ada administrasi sipil pihak ketiga—“bukan Hamas, bukan PA.” Jadi untuk siapa sebenarnya rencana ini? Kalau Israel tak mau PA, dan Hamas tak mau menyerah, mungkinkah rencana ini sekadar menjadi papan catur tempat Mesir dan Yordania menunjukkan kesetiaan mereka kepada para sponsor internasionalnya?

Yordania, seperti Mesir, punya alasan pragmatis. Stabilitas di perbatasan adalah kebutuhan politik domestik, terutama dengan populasi besar warga Palestina di dalam negeri. Mereka tak ingin Gaza yang kacau menjadi magnet bagi radikalisasi atau arus pengungsi baru. Jadi, melatih pasukan PA bukan cuma “membantu Palestina,” tapi juga membangun pagar tak kasatmata untuk melindungi diri mereka sendiri.

Mesir bahkan lebih transparan soal kepentingannya. Gaza berbatasan langsung dengan Sinai, wilayah yang sudah lama menjadi medan pertempuran antara pemerintah dan kelompok bersenjata. Hamas, dengan afiliasi ideologis ke Ikhwanul Muslimin—musuh politik utama pemerintah Mesir—adalah ancaman ganda: ideologis dan keamanan. Maka, melemahkan Hamas adalah investasi politik dalam negeri yang sekaligus bisa dijual sebagai kontribusi pada “perdamaian regional.”

Namun, ada detail yang membuat rencana ini terasa lebih pahit: laporan dari UltraPalestine menyebut bahwa para petugas PA yang dilatih “tidak boleh menolak tugas” dengan ancaman sanksi. Artinya, bahkan dalam proses yang diklaim untuk membangun Gaza yang baru, unsur paksaan sudah merayap masuk. Bagaimana kita bisa bicara soal kebebasan dan kedaulatan, kalau fondasinya dibangun di atas instruksi yang tak boleh dibantah?

Bagi saya, ini mirip dengan cerita rumah yang terbakar lalu tetangga datang menawarkan bantuan—tapi sambil membawa peta rumah baru yang desainnya sudah mereka tentukan, lengkap dengan aturan siapa saja yang boleh tinggal di dalamnya. Dan anehnya, pemilik rumah yang asli malah diberitahu bahwa beberapa ruangan tidak boleh mereka masuki lagi.

Rencana Mesir-Yordania ini tak berdiri di ruang hampa. Ia adalah bab baru dalam pola panjang di mana negara-negara Arab, dengan dalih solidaritas, justru ikut menata ulang panggung politik Palestina agar sesuai dengan garis aman bagi Israel dan sekutunya. Ingat blokade Rafah sejak 2007? Itu juga dibungkus sebagai “langkah keamanan” tapi pada praktiknya menjadi bagian dari mekanisme mencekik Gaza.

Dan yang membuatnya semakin getir, semua ini dilakukan dengan retorika “untuk masa depan negara Palestina.” Tapi negara macam apa yang dimaksud? Negara yang aparatnya dilatih untuk memadamkan perlawanan? Negara yang perbatasannya dijaga oleh mereka yang mendapat restu dari tetangga, bukan dari rakyatnya sendiri?

Kita di Indonesia paham betul rasa frustasi melihat perjuangan yang direduksi jadi proyek administrasi. Bayangkan jika pada 1945, setelah proklamasi, yang datang adalah pasukan terlatih dari negara tetangga yang memutuskan siapa yang memegang kendali di Jakarta, sambil berkata bahwa ini semua demi “stabilitas” dan “rekonstruksi.” Tentu kita akan merasa dijajah dua kali.

Mesir dan Yordania mungkin akan berargumen bahwa mereka melakukan ini demi mencegah kekosongan kekuasaan yang bisa dimanfaatkan oleh Israel. Tapi mari jujur: kekosongan kekuasaan itu sendiri lahir dari kehancuran yang disebabkan Israel, dan upaya “mengisinya” tanpa melibatkan semua elemen perjuangan Palestina hanyalah memperkuat narasi bahwa perlawanan harus disingkirkan dulu baru bisa bicara masa depan.

Jika kita menyingkirkan Hamas dari perlawanan, apa yang tersisa? PA yang rekam jejaknya di Tepi Barat diwarnai koordinasi keamanan dengan Israel. Model ini bukanlah jalan menuju kemerdekaan; ini adalah resep untuk mempertahankan status quo yang menguntungkan penjajah. Gaza mungkin akan mendapat jalan yang diperbaiki dan gedung yang dibangun kembali, tapi tanpa kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, semua itu hanyalah penjara yang lebih rapi.

Saya rasa, sejarah akan mencatat momen ini bukan sebagai awal pembebasan Gaza, tapi sebagai babak di mana dua negara tetangga memilih bermain aman, menjaga hubungan dengan kekuatan besar, dan menukar solidaritas sejati dengan stabilitas semu. Dan seperti biasa, yang membayar harga tertinggi adalah rakyat biasa di Gaza—mereka yang sudah kehilangan rumah, keluarga, dan sekarang, mungkin, kehilangan hak untuk memutuskan siapa yang berbicara atas nama mereka.

Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita ajukan sederhana: apakah rencana Mesir dan Yordania ini benar-benar untuk membebaskan Gaza, atau justru untuk memastikan bahwa Gaza tetap aman bagi semua orang… kecuali bagi mereka yang berjuang melawan penjajahan? Saya khawatir jawabannya sudah jelas. Dan itu adalah kenyataan yang membuat kita semua seharusnya tidak tenang.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer