Connect with us

Opini

Ironi Kemitraan: Jurnalis Dibungkam Saat Ungkap Kebenaran

Published

on

Surabaya, 24 Maret 2025. Kota yang sibuk dengan hiruk-pikuk kendaraan dan kesibukan pagi itu berubah tegang. Suara nyaring dari pengeras suara bercampur dengan teriakan massa yang memenuhi jalan. Spanduk membentang, tuntutan menggema, sementara di sudut-sudut, kamera dan lensa jurnalis mengabadikan setiap momen. Tapi di tengah tugas mereka, dua orang dengan rompi bertuliskan “PERS” malah menjadi sasaran. Rama Indra dan Wildan Pratama, jurnalis yang sedang meliput demonstrasi menolak revisi UU TNI, tiba-tiba dipukuli aparat. Kamera mereka dirampas, memori dihapus, darah menetes dari wajah yang berusaha tetap tegak. Alasannya? “Chaos.”

Dalam banyak kesempatan, jurnalis sering disebut sebagai “mitra” bagi aparat dalam menjaga keterbukaan informasi dan ketertiban sosial. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa ketika kepentingan berseberangan, jurnalis justru menjadi korban represi. Narasi kemitraan ini kerap digunakan untuk membangun citra bahwa aparat menghormati kebebasan pers, tetapi kenyataannya hubungan ini lebih bersifat transaksional.

Jurnalis diterima selama mereka tidak menggali terlalu dalam, tidak mengganggu stabilitas yang sudah diatur, dan tidak membongkar penyimpangan. Namun, begitu mereka mulai mempertanyakan kebijakan, menyoroti pelanggaran, atau mengekspos kekerasan aparat, “mitra” berubah menjadi “ancaman.” Ironinya, ketika kepentingan tidak sejalan, jurnalis yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban. Banyak kasus menunjukkan bahwa ketika berita yang diungkap tidak menguntungkan pihak tertentu, jurnalis menghadapi ancaman, kekerasan, atau bahkan kriminalisasi. Di saat yang sama, slogan kemitraan tetap digaungkan, seolah-olah relasi ini harmonis. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru. Dari era Orde Baru hingga sekarang, jurnalis kerap mengalami represi ketika berita mereka tidak sejalan dengan kepentingan kekuasaan.

Meskipun demokrasi diklaim lebih maju, bentuk represi terhadap jurnalis masih terjadi dalam berbagai cara—mulai dari intimidasi halus, serangan fisik, hingga kriminalisasi. Narasi kemitraan antara jurnalis dan aparat sering kali hanya berlaku sepihak. Jurnalis diharapkan membantu menyebarkan informasi yang menguntungkan, tetapi ketika mereka bekerja sesuai fungsi sebenarnya—mengungkap fakta tanpa kompromi—mereka justru dianggap pengganggu. Hal ini menunjukkan betapa ironisnya kondisi kebebasan pers di Indonesia.

Viral. Getir. Absurd. Polisi lebih takut pada lensa daripada nurani. Seakan kamera lebih berbahaya daripada pentungan yang mereka genggam. AJI mencatat 12 kasus serupa hanya dalam kurun waktu beberapa bulan di tahun 2025, tapi nihil pelaku yang diadili. Ini bukan insiden acak. Ini pola, ini pesan: jurnalis adalah ancaman bagi mereka yang ingin tetap bersembunyi di balik seragam dan kekuasaan.

Bagi aparat, jurnalis bukan sekadar peliput, tapi pengungkap. Kamera mereka bisa menjadi bom waktu yang membongkar topeng kepalsuan. Rama dan Wildan hanya merekam kenyataan, tetapi reaksi yang muncul seolah mereka sedang mengacungkan senjata. Rekaman dihapus, pukulan mendarat, dan alasan klise “demi keamanan” kembali dikumandangkan. Sejak 1998, ada 514 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Dari jumlah itu, 90% menguap tanpa keadilan. Sejarah panjang sejak Orde Baru menunjukkan satu hal: yang takut pada bukti akan selalu mencoba menghapusnya.

Di tempat lain, Juwita, seorang jurnalis muda berusia 23 tahun, ditemukan tak bernyawa di Gunung Kupang, Banjarbaru, pada 22 Maret 2025. Awalnya disebut kecelakaan, tapi investigasi mengarah pada pembunuhan. Pelakunya? Anggota TNI AL dari Lanal Balikpapan. Dugaan kuat menyebutkan bahwa dia sedang menggali kasus korupsi. Mirip dengan kisah lama, seperti Udin pada 1996, yang tewas setelah mengungkap suap pejabat militer. Saat rekaman tak cukup untuk dibungkam, nyawa jadi taruhan. Efisien, brutal, dan sayangnya, terbukti ampuh.

Di Jakarta, tiga hari sebelumnya, unjuk rasa menolak revisi UU TNI berubah menjadi panggung represi. Lagi-lagi, jurnalis dipukul, alat kerja dirampas, dan alasan yang sama diulang: “Tak teridentifikasi.” Padahal, rompi pers mencolok seperti baliho di tengah kota. Tapi anehnya, saat menyangkut kekerasan terhadap jurnalis, aparat tiba-tiba jadi rabun. Menurut Freedom House, skor kebebasan pers Indonesia turun dari 62 menjadi 59 dalam satu tahun. Bukan kebetulan. Ancaman bukan hanya berupa kekerasan fisik, tapi juga upaya membungkam melalui intimidasi dan penghapusan bukti. Ketakutan mereka bukan pada demonstran, tapi pada rekaman yang bisa menjadi saksi abadi.

Di kantor Tempo, 19 Maret 2025, kepala babi ditemukan di depan rumah Francisca Christy Rosana, seorang jurnalis investigasi. Bersama dengan ancaman di media sosial, pesannya jelas: “Diam, atau nyawamu taruhan.” Metode ini bukan baru. Tahun 1996, kantor Udin juga dibakar setelah ia menulis berita tentang militer. Sejarah berulang dengan cara yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang sama: membuat jurnalis takut.

Dari Surabaya ke Jakarta, dari Juwita ke Tempo, semuanya tenggelam dalam rawa impunitas. Polisi berkata, “Kami sedang menyelidiki,” TNI berkata, “Kami sedang memproses.” Tapi hasilnya nol. Komnas HAM mencatat, 80% kasus kekerasan oleh aparat tidak pernah sampai ke pengadilan. Karena dalam sistem ini, jurnalis bukan korban, melainkan musuh. Hukum lebih peduli menjaga citra daripada menegakkan keadilan. Darah jurnalis adalah harga yang dianggap lebih murah dibandingkan mengakui kebobrokan institusi.

Revisi UU TNI yang disahkan pada 20 Maret 2025 menjadi akar dari semua ini. Dengan undang-undang ini, militer kembali mendapat ruang di ranah sipil, membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi ala Orde Baru. Dalam sejarah, 30 jurnalis hilang antara 1965-1998. Kini, ancaman itu kembali dengan wajah baru. “Keamanan nasional” dijadikan alasan, tapi yang sebenarnya diamankan adalah kepentingan para jenderal. Jurnalis yang mencoba merobek tirai kebohongan justru menjadi target.

Statistik UNESCO mencatat, sejak 1993, ada 1.200 jurnalis yang terbunuh di seluruh dunia. Dari jumlah itu, sembilan dari sepuluh kasus tidak pernah diungkap. Indonesia bukan pengecualian. Yang lebih mengerikan dari peluru adalah kebisuan yang dipaksakan. Sistem ini lebih takut pada lensa daripada bom, lebih cepat mengayunkan pentungan daripada menjawab pertanyaan.

Dan hukum? Ia buta dan tuli jika korbannya adalah jurnalis, apalagi jika pelakunya berseragam. Rama dan Wildan tidak akan melihat pelaku mereka diadili. Kasus Juwita? Polisi Militer mengatakan “masih dalam proses”, tetapi proses macam apa yang tak pernah berujung? Indeks Impunitas CPJ 2024 menempatkan Indonesia dalam daftar 10 negara dengan impunitas terburuk terhadap jurnalis. Cermin dipecahkan agar sistem tak perlu melihat keburukan dirinya sendiri.

Dalam kontradiksi ini, jurnalis adalah pahlawan sekaligus korban. Mereka menggali kebenaran, tapi kerap menjadi sasaran. Surabaya, Jakarta, Banjarbaru—semuanya jadi saksi bahwa keberanian memiliki harga yang mahal. Pemerintah boleh menyebut mereka pengganggu, tapi takut mengakui bahwa mereka adalah satu-satunya pengawas yang masih berdiri.

Polisi dan TNI, penjaga atau algojo? Kasus demi kasus menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi keduanya. Di Surabaya, tangan mereka lebih cepat menghapus bukti daripada menyelamatkan hukum. Pada 1996, TNI disebut terlibat dalam pembunuhan Udin, tetapi tidak pernah dihukum. Kini, kisah yang sama berulang, hanya dengan nama-nama berbeda.

Impunitas bukan penyakit, tapi bagian dari desain sistem ini. Data UNESCO menyebut, 85% kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak pernah selesai. Indonesia berkontribusi besar dalam angka ini. Tanpa tekanan, tanpa desakan, pola ini akan terus berulang. Di Kolombia, tekanan publik berhasil mendorong pemerintah membentuk Unidad Especial pada 2010, yang menyelesaikan 70% kasus serangan terhadap jurnalis. Indonesia membutuhkan langkah serupa, bukan sekadar janji kosong dari pejabat.

Jurnalis menjadi ancaman bukan karena mereka bersenjata, tetapi karena mereka memiliki nyali untuk melihat kenyataan dan mengungkapnya. Pukulan yang mendarat di Rama dan Wildan bukan hanya pukulan fisik, tapi juga pukulan terhadap demokrasi yang semakin retak. Dalam sistem ini, mereka yang bercerita adalah musuh, dan darah mereka adalah peringatan bagi yang lain. Tapi sejarah membisikkan satu hal: kebenaran tak bisa dibunuh. Dan jika tekanan terus ada, sistem yang kini menekan bisa dipaksa untuk berubah. Kalau tidak, darah akan terus menjadi dekorasi seragam mereka.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *