Connect with us

Opini

Iron Swords: Operasi Mahal yang Tak Menyelesaikan Apa-Apa

Published

on

“Mereka masuk ke operasi ini, dan 20 warga Israel tewas. Tapi kenyataannya, masalah dengan Hamas tetap tidak terselesaikan.” Kalimat Raviv Drucker itu terdengar seperti bisikan getir dari ruang redaksi yang letih. Ia tidak berteriak. Ia tidak menabuh genderang. Ia hanya menunjuk pada absurditas yang berdiri telanjang: sebuah negara mengklaim sedang memusnahkan ‘teroris’, tetapi tak satu pun tujuan strategis yang berhasil diraih, selain kehancuran dan kematian.

Netanyahu dan para jenderalnya menjual narasi kemenangan. Mereka menyebutnya “Operasi Iron Swords”—sebuah nama yang seakan ingin memberi kesan epik, seperti bab dalam kitab suci atau judul game peperangan. Tapi ini bukan fiksi. Ini perang sungguhan. Dan seperti banyak babak dalam sejarah kekerasan modern, yang jadi korban bukan aktor utama, melainkan para figuran: anak-anak yang kehilangan kaki, ibu-ibu yang menggendong jenazah bayi, serta rumah-rumah yang berubah jadi debu.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Jika dilihat dari sisi taktis, operasi ini ibarat melempar bom seharga jutaan dolar untuk menghancurkan tenda plastik. Tujuannya: menghabisi Hamas. Tapi hingga laporan ini ditulis, Hamas masih eksis, masih mengatur strategi, dan—yang paling membuat Tel Aviv gusar—masih belum menyerah. Mereka tidak melucuti senjata. Mereka tidak hengkang. Dan mereka jelas tidak menyatakan kalah.

Sebaliknya, yang hancur adalah Gaza. Pecah berkeping-keping. Ribuan orang tewas, tetapi tak jelas mana yang pejuang dan mana yang hanya sedang menjemur pakaian. Drucker—yang bukan aktivis kiri atau LSM internasional, melainkan analis politik Channel 13 Israel—mengatakan dengan sinis bahwa “satu-satunya yang benar-benar tercapai adalah kehancuran besar-besaran.” Iron Swords mungkin bukan pedang, tapi palu raksasa yang dipukul ke arah bayangan sendiri.

Dan tentu saja, seperti dalam sinetron politik manapun, dalih penyelamatan sandera kembali dilempar ke layar publik. Pemerintah berkilah bahwa gempuran ini akan menciptakan “kondisi yang lebih baik” untuk pertukaran tawanan. Namun realitas berkata sebaliknya. Hamas tetap pada sikapnya: tidak akan menyerah, tidak akan menyerahkan senjata, tidak akan meninggalkan tanahnya. Oh, dan satu lagi: tidak akan mengizinkan perang ini berlanjut begitu saja.

Lucunya, Israel tampak seperti seseorang yang menyalakan api lalu bingung kenapa rumahnya terbakar.

Sementara itu, di sisi lapangan, darah prajurit terus mengalir. Pada 25 Juni, tujuh tentara Israel—termasuk satu perwira—tewas di Khan Younis akibat ambush yang dilancarkan pasukan perlawanan Palestina. Ini bukan pertempuran di gurun terbuka. Ini adalah kota sempit, reruntuhan, dan lorong-lorong penuh ranjau. Tempat di mana teknologi tak bisa membaca niat, dan drone tidak bisa mengendus semangat bertahan.

“Israel” kehilangan personel bukan karena kalah jumlah, tapi kalah dalam membaca medan. Taktik gerilya, jebakan bawah tanah, ledakan tak terduga—ini bukan perang konvensional. Dan sekeras apapun propaganda ingin menggambarkan “keperkasaan tentara terkuat di Timur Tengah”, fakta di lapangan tak bisa dikubur. Bahkan tank-tank Merkava pun kini bisa meledak oleh jebakan seharga beberapa dolar. Ironis? Tidak. Tragis? Pasti. Tapi juga sangat layak direnungkan.

Di tengah ini semua, warga Gaza masih mati. Tiap hari. Di titik distribusi bantuan, di reruntuhan rumah sakit, bahkan di jalan menuju sumur air. Laporan harian tentang korban sipil kini sudah tidak lagi mengejutkan siapa-siapa. Dunia mulai kebal. Seolah jumlah korban harus mencapai angka tertentu dulu agar pantas jadi headline. Sementara itu, layar televisi Indonesia lebih sibuk menayangkan polemik TikTok dan drama keluarga selebriti.

Apa yang terjadi di Gaza memang jauh. Tapi absurditasnya familiar. Kita, warga republik ini, pernah disuguhi janji-janji kekuasaan dengan bumbu retorika agung, lalu disadarkan bahwa semua itu hanya topeng dari kebijakan kosong. Gaza bukan hanya cerita tentang Palestina. Ia juga cermin tentang betapa negara bisa berubah jadi mesin penghancur ketika kekuasaan kehilangan empati dan ketika logika militer lebih dipercaya daripada jalan diplomasi.

Drucker menuntut akuntabilitas. Katanya, sebelum melangkah ke fase berikutnya, “seseorang harus bertanggung jawab karena telah menyeret kita ke dalam operasi ini.” Tapi siapa? Netanyahu masih bertahan, meski kepercayaan terhadapnya menurun drastis. Koalisinya retak. Kebijakan domestiknya kacau. Tapi selama masih bisa memainkan kartu ketakutan, selama bisa memelihara narasi bahwa “Israel dikepung musuh”, ia akan terus duduk di kursi kekuasaan seperti seorang juru bicara untuk bencana yang ia ciptakan sendiri.

Iron Swords akan dikenang bukan sebagai kampanye militer yang heroik, tetapi sebagai ilustrasi paling telanjang dari kekalahan yang disamarkan sebagai kemenangan. Ia akan jadi studi kasus tentang bagaimana militerisasi bisa gagal total dalam mencapai solusi politik. Dan pada akhirnya, pedang besi itu tak memotong apapun—kecuali logika, nurani, dan ribuan nyawa tak berdosa.

Mungkin memang butuh lebih dari rudal dan tank untuk menghadapi gerakan yang hidup dari luka. Mungkin negara seperti Israel lupa bahwa ada kekuatan yang tak bisa dibunuh dengan drone: keyakinan bahwa tanah air adalah harga mati, dan bahwa kehormatan tidak bisa ditukar dengan roket.

Dan dari kejauhan, kita hanya bisa menyaksikan: sebuah negara menyerang bayangan sendiri, lalu bingung kenapa dunia menyebutnya pemangsa.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer