Connect with us

Opini

Iran Vs Israel: Saatnya Dunia Tak Lagi Diam

Published

on

Langit Timur Tengah kembali merah membara. Pada 13–14 Juni 2025, Iran melancarkan Operasi True Promise 3—sebuah serangan balasan berupa rudal dan drone yang mengguncang Haifa, Tel Aviv, dan Rehovot. Kilang minyak terbakar, lebih dari 100 orang dilaporkan terluka di Bat Yam. Media independen The Cradle, yang dikenal kerap menyoroti konflik dari lensa anti-hegemoni Barat, menyebut bahwa serangan ini adalah respons atas aksi militer Israel ke sekitar 80 titik di Tehran, termasuk ladang gas strategis South Pars, markas Kementerian Pertahanan, dan situs nuklir SPND (Pusat Riset dan Inovasi Pertahanan Iran).

Di Indonesia—tempat solidaritas terhadap isu Palestina dan Timur Tengah menggema dari mimbar masjid hingga warung kopi—berita semacam ini tidak hanya menciptakan diskusi, tapi juga mengusik nurani. Mengapa lingkaran kekerasan ini tak kunjung putus? Iran mengklaim serangannya sebagai bentuk pembelaan diri, tetapi dunia justru menyorot korban sipil di Israel. Sementara itu, Israel, yang mendapat restu dari Amerika Serikat, terus melancarkan serangan, seolah-olah hukum internasional tak lebih dari coretan usang di pinggir kertas diplomasi.

Dari kobaran medan tempur, kita memasuki luka yang jauh lebih dalam: luka harga diri, geopolitik, dan rasa keadilan. Iran bersikeras bahwa respons mereka sah, menyusul hancurnya ladang gas South Pars—urat nadi ekonomi negeri itu di tengah gempuran sanksi—serta kematian sejumlah jenderal Garda Revolusi (IRGC). Al Mayadeen mengutip pernyataan Mohsen Rezaee, mantan komandan IRGC, yang mengatakan bahwa Iran belum menggunakan senjata tercanggihnya dan hanya mengerahkan rudal generasi lama. Pesannya tegas: “Kami bisa lebih keras, tapi kami memilih menahan diri.”

Namun, benarkah ini bentuk penahanan diri? Rudal-rudal itu tetap menghantam fasilitas sipil seperti Institut Weizmann, dan luka-luka tetap tercatat di Bat Yam. Hukum internasional memang menuntut prinsip proporsionalitas—respon harus seimbang dengan ancaman. Tapi di medan tempur yang dibalut emosi, nyawa sipil tetap menjadi korban, dari pihak mana pun. Di Indonesia, kita ingat bagaimana demonstrasi di Monas menuntut keadilan untuk Palestina. Namun, keadilan seperti apa yang bisa tumbuh di tanah yang dibasahi dendam bertahun-tahun?

Konflik ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika geopolitik yang lebih besar. Menurut laporan Axios, serangan Israel ke Tehran tak terjadi tiba-tiba. Ada “lampu hijau” dari Washington. Bahkan, menurut Middle East Eye, Amerika telah mengirim 300 rudal Hellfire sebelum konflik terbuka diumumkan. Ini bukan semata-mata benturan dua negara, tetapi panggung teater besar, di mana AS memainkan peran utama sebagai sutradara sekaligus pemasok senjata.

Menanggapi ini, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menawarkan solusi damai yang logis: “Jika Israel berhenti, kami pun akan berhenti.” Namun seruan ini seolah tenggelam dalam riuh roket dan propaganda. Mengapa Israel enggan merespons? Mungkin karena mereka melihat Iran bukan sekadar musuh, tapi ancaman eksistensial. The Telegraph, mengutip intelijen Barat, menyebut bahwa Iran memiliki 2.000 rudal yang mampu menjangkau Tel Aviv, dengan rencana menambahnya menjadi 8.000. Ketakutan ini mewarnai semua tindakan militer Israel.

Di warung kopi Jakarta, perbincangan soal standar ganda dunia sering menjadi bahan lelucon getir. “Kalau yang nyerang negara bukan sekutu AS, langsung dihukum. Tapi kalau Israel? Didiemin,” begitu kira-kira nada kesalnya.

Namun, ancaman bukan monopoli satu pihak. Iran juga punya alasan untuk merasa terancam. Israel memiliki 80 hingga 200 hulu ledak nuklir, yang tak pernah diperiksa oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA), karena Israel bukan anggota NPT (Traktat Nonproliferasi Nuklir). Sebaliknya, Iran terus-menerus diawasi ketat, bahkan ketika belum terbukti membuat senjata nuklir. Ketimpangan ini menciptakan luka simbolik yang dalam di antara negara-negara Global South.

Bayangkan posisi Iran: pusat ekonominya diserang, jenderal-jenderalnya dibunuh, dan ibukotanya diguncang 80 kali dalam satu malam. Apa yang diharapkan dunia dari mereka? Diam? Pasrah? Di Indonesia, kita tahu rasanya dizalimi—dari penjajahan hingga imperialisme ekonomi yang kadang masih kita rasakan. Namun begitu Iran membalas, dunia justru mengarahkan sorotan pada 10 warga Israel yang tewas, dan 385 lainnya yang dirawat di rumah sakit. Proporsionalitas menjadi tuntutan, tapi bagaimana bisa disebut proporsional ketika fasilitas militer bercampur dengan kawasan pemukiman sipil?

Dari luka fisik, konflik ini bergerak ke medan diplomasi yang tak kalah panas. Israel, yang terus mendapatkan perlindungan politik dan militer dari AS, tampaknya tak tertarik menyambut tawaran damai Iran. Laporan Axios menyebut restu diam-diam dari Presiden Trump, yang semakin memperkuat persepsi bahwa Amerika tak hanya menonton, tapi justru mendorong eskalasi.

Tawaran Araghchi pun terdengar seperti jeritan di tengah badai. Di Indonesia, banyak yang kesal melihat AS terus membela Israel, bahkan dalam pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional. Sama seperti dalam konflik Palestina, di mana suara rakyat Indonesia kerap menggema lewat aksi-aksi solidaritas yang masif, namun tetap saja tak mampu mengubah kebijakan global.

Lalu, apa sebenarnya yang diinginkan Israel? Iran dilucuti dari rudalnya? Dilepaskan dari sekutu seperti Hizbullah? Haruskah Iran menjadi negara lemah yang tunduk di bawah hegemoni?

Iran bukan negara kecil yang bisa ditekan seenaknya. Mohsen Rezaee menegaskan bahwa Iran memiliki persediaan rudal cukup untuk tiga minggu serangan intensif. Ini semacam tantangan: “Kalau kalian mau perang habis-habisan, kami pun siap.” Tapi apakah perang total adalah jalan terbaik? Di Indonesia, kita belajar dari sejarah konflik seperti di Aceh atau Timor Timur, bahwa kehancuran pascaperang jauh lebih menyakitkan daripada kekalahan di meja perundingan.

Hukum internasional, yang seharusnya menjadi instrumen keadilan, kini terasa seperti alat politik semata. Dengan veto AS di Dewan Keamanan, Israel terus luput dari sanksi meskipun menyerang infrastruktur ekonomi seperti South Pars, yang secara hukum internasional bisa dikategorikan sebagai target sipil vital. Sebaliknya, Iran disorot dan dikritik habis-habisan saat rudalnya menghantam area padat penduduk, meski sebelumnya diserang lebih dulu.

Standar ganda ini menyakitkan. Sama seperti kita di Indonesia ketika melihat bagaimana dunia menutup mata pada penderitaan satu pihak, sementara pihak lainnya terus dimaklumi. Namun, sepenuhnya mengabaikan hukum internasional juga bukan pilihan. Iran mungkin tergoda untuk memilih jalur kekerasan total, tetapi jalan itu penuh risiko: kehancuran ekonomi yang semakin parah, keterlibatan Hizbullah yang bisa memperluas konflik, serta dampak global seperti krisis energi yang memukul negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Jadi, apa yang bisa dilakukan Iran? Mereka bisa terus melawan—sebuah refleksi dari kemarahan rakyat yang muak akan ketidakadilan. Tapi strategi militer yang terukur dan selektif—misalnya hanya menargetkan pangkalan militer seperti di Negev—lebih bijak daripada serangan membabi buta. Iran juga bisa mengambil jalur diplomasi, membawa bukti-bukti pelanggaran Israel ke PBB, sebagaimana disampaikan oleh Araghchi, termasuk “bukti keras” keterlibatan langsung AS.

Di Indonesia, kita ingat bagaimana Soekarno menggunakan forum Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 untuk menyuarakan aspirasi bangsa-bangsa tertindas. Iran bisa meniru langkah itu—menggalang kekuatan diplomatik bersama Rusia, China, atau OKI, dan memanfaatkan negara-negara seperti Qatar untuk menjadi mediator damai. Tawaran damai Araghchi bisa menjadi peluang emas, yang tak bisa terus-menerus diabaikan oleh dunia.

Pertanyaan besar kini bergulir bukan hanya kepada Iran, tetapi juga kepada kita semua—di Indonesia maupun dunia. Jika Israel terus menyerang, haruskah Iran terus membalas, meskipun dunia mengecam sebagai tak proporsional? Atau haruskah Iran menahan diri demi mempertahankan posisi moralnya di mata global, walaupun tahu Israel tidak menghormati hukum yang sama?

Di warung kopi Jakarta, suara rakyat mungkin lantang: “Sudah, biar Iran ajar Israel!” Tapi pelajaran seperti apa yang benar-benar mampu mengubah pola ini? Keadilan sejati tak datang dari rudal semata. Ia lahir dari keberanian bersuara di forum dunia, dari solidaritas lintas batas terhadap standar ganda, dan dari tekad menawarkan damai meski ditampar agresi.

Jika perang ini tak juga berhenti, mungkin bukan roket atau rudal yang akan menutup cerita ini—melainkan suara mayoritas dunia yang sudah lelah dan memutuskan untuk tidak lagi diam.

Sumber:

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *