Connect with us

Opini

Iran vs AS: Diplomasi Rapuh di Tengah Luka Lama

Published

on

Di sebuah ruangan sunyi di Muscat, Oman, dua pihak yang dibentengi sejarah permusuhan duduk terpisah, hanya dihubungkan oleh mediator berjubah putih. Abbas Araghchi, dengan sorot mata penuh perhitungan, menyampaikan posisi Iran. Di sisi lain, Steve Witkoff, utusan AS, mencatat setiap kata, mencari celah. Pertemuan selama 2,5 jam ini, yang oleh Oman disebut konstruktif, adalah episode terbaru dalam drama diplomasi yang rapuh. Tapi, di balik senyum tipis dan janji dialog lanjutan, Iran membawa luka: pengkhianatan AS yang tak pernah pudar. Apakah meja perundingan ini menjanjikan harapan, atau hanya bayang-bayang masa lalu?

Iran datang dengan beban sejarah yang berat. Pada 2015, mereka menandatangani The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), membatasi uranium hingga 3,67% dan membuka pintu untuk inspeksi International Atomic Energy Agency (IAEA). Imbalannya, sanksi dicabut, menjanjikan nafas ekonomi baru. Iran patuh, seperti dibuktikan laporan IAEA hingga 2018. Tapi, pada Mei 2018, Donald Trump menarik AS dari perjanjian, meluncurkan sanksi yang menghantam keras. Data Bloomberg mencatat ekspor minyak Iran jatuh dari 2,5 juta barel per hari ke bawah 500.000. Inflasi melonjak 40%, rial ambruk. Pengkhianatan ini membekas, membentuk sikap Teheran di Oman. Apa gunanya berjanji, jika kata-kata begitu mudah dilanggar?

Di Muscat, Iran menawarkan kompromi: pengurangan pengayaan uranium demi keringanan sanksi permanen dan penghentian ancaman militer AS. Abbas Araghchi menegaskan pembongkaran program nuklir adalah “garis merah,” menurut Reuters. Iran kini menyimpan uranium yang diperkaya 60%—cukup untuk senjata nuklir jika diproses, meski mereka bersikukuh tujuan damai. Kapasitas ini adalah perisai sekaligus pedang, menjaga leverage di meja perundingan. Mereka berbicara damai, tapi siap untuk yang terburuk. Bukankah sejarah telah mengajarkan bahwa kepercayaan adalah kemewahan yang mahal?

AS, di sisi lain, membawa tuntutan yang terasa akrab namun lebih luas. Steve Witkoff mendesak verifikasi ketat atas program nuklir Iran, menggemakan semangat JCPOA, menurut Al-Monitor. Tapi Washington juga menyinggung dukungan Iran untuk Hizbullah, Houthi, dan rudal balistik—isu yang ditolak Teheran sebagai di luar ruang lingkup. Beberapa pejabat AS bahkan menginginkan pembongkaran total program nuklir, sesuatu yang mustahil bagi Iran. Format pun jadi sengketa: Iran memilih mediasi Oman, menolak dialog langsung yang diinginkan AS, seperti dilaporkan pengguna X terpercaya yang mengutip sumber diplomatik. Ketegangan ini menunjukkan jurang yang masih menganga.

Bagi Iran, negosiasi adalah permainan bertahan hidup. Sanksi telah memangkas PDB mereka 15% sejak 2018, menurut Bank Dunia. Aset beku senilai $100 miliar bisa jadi penyelamat, tapi pengalaman JCPOA mengajarkan bahwa kompromi tidak menjamin apa pun. AS keluar tanpa konsekuensi, meninggalkan Iran dengan ekonomi yang tersendat. Pengguna X, termasuk analis kebijakan Timur Tengah seperti @MidEastEye, mencatat faksi garis keras Iran kini mendominasi, skeptis terhadap AS. Mereka melihat uranium 60% sebagai satu-satunya jaminan, karena janji AS sering menguap seperti debu di Gurun Lut. Mengapa mempercayai musuh yang tak pernah menyesal?

Ketiadaan jaminan adalah inti dari ketidakpercayaan ini. JCPOA tidak punya klausul yang mengikat AS secara hukum, dan ratifikasi Kongres mustahil di tengah polarisasi, seperti dianalisis Foreign Policy. Resolusi PBB juga lemah karena veto AS. Iran pernah mengusulkan pencabutan sanksi bertahap, tapi ditolak, menurut Axios. Di Oman, AS tidak menawarkan solusi untuk celah ini, membuat Iran ragu. Sementara itu, tekanan domestik AS—termasuk lobi pro-Israel—mendorong sikap keras, menurut laporan Politico. Iran tahu, tanpa ikatan kuat, kesepakatan baru hanyalah kertas yang menunggu disobek. Dapatkah dunia menyalahkan mereka karena curiga?

Di kawasan, ancaman lain mengintai. Israel, yang menurut The Guardian memperkirakan Iran bisa mencapai ambang nuklir dalam hitungan bulan, berulang kali mengancam serangan. Iran mempertahankan aliansi dengan Hizbullah, yang memiliki 150.000 roket menurut Pentagon, dan Houthi, yang mengacaukan Laut Merah. Bagi Teheran, ini adalah perisai strategis, bukan sekadar provokasi seperti tuduhan AS. Menyerahkan kartu-kartu ini tanpa imbalan adalah bunuh diri diplomatik. Data Janes mencatat Iran baru saja menguji rudal balistik jarak 2.000 km, sinyal bahwa mereka siap jika kata-kata di Muscat gagal. Bukankah kesiapan adalah bentuk kebijaksanaan di dunia yang tak pasti?

Meski penuh keraguan, Iran tetap di jalur diplomasi. Sanksi membuat ekonomi mereka tumbuh hanya 2% pada 2024, jauh di bawah kebutuhan untuk atasi pengangguran 10%, menurut IMF. Sekutu seperti Tiongkok, yang membeli 70% minyak Iran, dan Rusia, mitra militer, mendorong dialog, seperti dilaporkan Nikkei Asia. Negosiasi juga menunda ancaman militer—CNN melaporkan kapal induk AS kini di Teluk Persia, tanda kesiapan Washington jika pembicaraan macet. Dengan bernegosiasi, Iran membeli waktu, tapi tidak menutup mata. Apakah ini harapan, atau sekadar menunda yang tak terhindarkan?

Iran bukan hanya berbicara—mereka bertindak. IAEA melaporkan mereka mengoperasikan 5.000 sentrifugal canggih, jauh lebih efisien dari era JCPOA. Militer mereka menggelar latihan besar, seperti dicatat pengguna X terverifikasi seperti @IranObserver, meski belum dikonfirmasi resmi. Anggaran militer Iran naik 20% sejak 2018, menurut SIPRI, tanda bahwa diplomasi bukan satu-satunya taruhan. Di Oman, mereka menawarkan pengurangan pengayaan, tapi dengan syarat: tidak ada kesepakatan tanpa kepastian. Ini bukan kelemahan, melainkan pelajaran dari luka yang masih berdarah. Dapatkah dunia mengharapkan Iran melupakan pengkhianatan AS begitu saja?

Pembicaraan di Muscat belum membuahkan terobosan. Al-Jazeera melaporkan rencana pertemuan lanjutan, tapi perbedaan tetap lebar: Iran menolak tuntutan non-nuklir, AS enggan menjamin komitmen. Ini mengulang pola JCPOA—harapan yang runtuh oleh ketidakpercayaan. Bagi Iran, setiap kata di meja perundingan adalah langkah di medan ranjau. Mereka berjalan dengan hati-hati, karena sejarah berbisik: janji AS sering lenyap seperti fatamorgana. Dunia menonton, tapi Teheran tahu bahwa diplomasi adalah seni bertahan hidup, bukan sekadar seni berbicara.

Iran adalah murid sejarah yang cerdas. Mereka melihat negosiasi sebagai alat, bukan tujuan. Dengan uranium di tangan dan rudal di belakang, mereka berbicara damai sambil menyiapkan perang. Sanksi mungkin melukai, tapi pengkhianatan lebih menyakitkan. Di Oman, mereka menawarkan kompromi, tapi dengan mata terbuka—tidak ada kepercayaan tanpa jaminan. Dunia mungkin berharap pada kata-kata manis, tapi bagi Iran, hanya kesiapan yang menjamin esok. Dalam permainan ini, bertahan adalah kemenangan sejati.

Sumber:

  1. IAEA, “Verification and Monitoring in Iran,” 2015-2018.
  2. Bloomberg, “Iran Oil Exports Under Sanctions,” 2019-2024.
  3. Reuters, “Iran’s Uranium Enrichment Levels,” April 2025.
  4. Al-Monitor, “US Goals in Oman Talks,” April 2025.
  5. Bank Dunia, “Economic Impact of Sanctions on Iran,” 2024.
  6. Foreign Policy, “Why US Can’t Be Bound to Treaties,” 2023.
  7. Axios, “Iran’s Sanctions Relief Proposals,” 2022.
  8. Politico, “US Domestic Pressures on Iran Policy,” 2025.
  9. The Guardian, “Israel’s Iran Nuclear Threat Assessment,” 2025.
  10. Pentagon, “Hezbollah’s Missile Capabilities,” 2024.
  11. Janes, “Iran Ballistic Missile Developments,” 2025.
  12. IMF, “Iran Economic Performance,” 2024.
  13. Nikkei Asia, “China and Russia’s Role in Iran Talks,” 2025.
  14. CNN, “US Naval Movements in Persian Gulf,” April 2025.
  15. Al-Jazeera, “Oman Talks Progress,” April 2025.
  16. SIPRI, “Iran Military Expenditure Trends,” 2018-2024.
  17. Pengamatan pengguna X terverifikasi seperti @MidEastEye dan @IranObserver, April 2025, terkait dinamika negosiasi dan latihan militer Iran.
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *