Connect with us

Opini

Iran Peringatkan Dunia: Tanpa Keadilan, Kawasan Tak Akan Stabil

Published

on

Serangan Iran terhadap pangkalan militer AS di Al-Udeid, Qatar, adalah sebuah peristiwa yang membetot perhatian dunia, bukan semata karena daya ledaknya, tetapi karena pesan politik yang dibawanya. Dalam lanskap konflik Timur Tengah yang penuh gejolak, tindakan tersebut dilabeli oleh Iran sebagai bentuk sah dari pembelaan diri atas agresi yang lebih dahulu dilakukan Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklirnya. Dunia terdiam sesaat. Bukan karena keterkejutan, tetapi karena sekali lagi, hukum internasional diuji di tengah kepentingan yang tak lagi universal.

Tanggal 23 Juni menjadi momen penting ketika rudal-rudal Iran melesat menuju kubah geodesik milik AS yang menyimpan peralatan komunikasi canggih. Satelit-satelit memotret kerusakan. Bagi sebagian pihak, ini adalah sinyal bahaya; bagi Iran, ini adalah deklarasi harga diri. Dalam pernyataan resmi, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmail Baghaei, menegaskan bahwa serangan tersebut merupakan respon yang sah terhadap aksi bom AS terhadap tiga lokasi nuklir di Tehran. Satu tindakan dibalas dengan tindakan lain. Namun dalam logika strategis, ini bukan perang terbuka. Ini pesan: jangan sentuh garis merah kami.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ironi tak bisa dihindari. Amerika Serikat, yang selama ini mengklaim diri sebagai penjamin stabilitas global, justru berada di jantung dari ketegangan yang terus meningkat. Serangan ke situs-situs nuklir Iran—apakah itu benar-benar terjadi atau hanya laporan yang dibungkus propaganda—sudah cukup untuk memicu eskalasi yang tak main-main. Namun, dalam semua ini, pertanyaannya: siapa yang sesungguhnya melanggar batas?

Iran tetap menyatakan bahwa mereka berkomitmen pada hubungan baik dengan negara-negara tetangga. Baghaei menekankan, “Kami tidak akan membiarkan pihak ketiga mengganggu relasi regional kami.” Kalimat ini menyiratkan satu hal: stabilitas di kawasan bukanlah sesuatu yang dapat diatur dari Washington atau Berlin. Ia harus tumbuh dari wilayahnya sendiri, dari relasi yang tidak dimediasi oleh kekuatan luar yang punya agenda sendiri. Hal ini relevan jika dilihat dari sudut pandang Indonesia yang juga kerap menjadi medan tarik-menarik antara kepentingan besar—dari Laut China Selatan hingga isu Papua yang sensitif.

Dalam ranah diplomasi nuklir, Iran kembali menunjukkan sikap yang tegas namun tak sepenuhnya menutup pintu. Tidak ada pertemuan baru antara Menlu Iran Abbas Araghchi dan Enrique Mora, juga tak ada tanggal yang ditetapkan untuk melanjutkan pembicaraan. Bagi Iran, pelanggaran perjanjian oleh pihak Barat adalah bukti bahwa keseriusan hanya ada di satu sisi. Baghaei menyatakan bahwa Iran tak akan kembali ke meja diplomasi tanpa jaminan bahwa pelanggaran semacam itu tak akan terulang. Ini bukan keinginan untuk menutup jalan damai, tetapi keengganan untuk kembali ditipu oleh janji-janji yang tak pernah ditepati.

Dan dunia pun menyaksikan—dengan keletihan dan sinisme. Betapa banyak perjanjian yang ditandatangani, hanya untuk dilanggar beberapa bulan kemudian? JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action), misalnya, yang dibentuk untuk mengekang program nuklir Iran, ditinggalkan secara sepihak oleh pemerintahan Trump pada 2018. Ketika satu pihak mematuhi dan pihak lain menghancurkan dasar kesepakatan, apakah itu masih bisa disebut perjanjian? Atau hanya jebakan yang dibalut dengan kata-kata manis diplomasi?

Sorotan tajam juga diarahkan pada International Atomic Energy Agency (IAEA), yang dianggap oleh Iran telah bertindak tidak profesional, bias, dan selektif. Sebuah tuduhan yang bukan tanpa dasar, mengingat IAEA sering kali bersikap keras terhadap Iran, sementara menutup mata terhadap negara-negara yang jelas-jelas memiliki dan menyimpan senjata nuklir secara ilegal. Salah satunya adalah tudingan terhadap Jerman, yang disebut menjadi tuan rumah bagi senjata nuklir milik Amerika. Ini bukan sekadar pelanggaran teknis, tetapi juga pengkhianatan terhadap semangat Non-Proliferation Treaty (NPT), perjanjian yang sejatinya menjamin non-penyebaran senjata nuklir.

Narasi Iran tidak berhenti di situ. Mereka menarik perhatian dunia pada tragedi yang lebih besar dan terus berlangsung—genosida di Gaza. Baghaei mengecam kelanjutan agresi zionis terhadap warga sipil Palestina, dan secara terbuka menyalahkan Amerika Serikat atas impunitas yang dinikmati entitas penjajah tersebut. Kata-katanya lugas: “Kelanjutan kejahatan Israel terhadap warga sipil yang tak bersenjata di Gaza berasal dari tidak adanya akuntabilitas internasional dan dukungan AS.” Sebuah pernyataan yang tak hanya mencerminkan kemarahan politik, tapi juga kekecewaan moral terhadap sistem global yang semakin kehilangan rasa keadilan.

Jika konflik Palestina dibiarkan terus membara, peringatan Iran tak bisa diabaikan: api itu tak akan berhenti di satu wilayah. Ketidakpedulian dunia internasional terhadap penderitaan warga Gaza adalah bom waktu bagi kawasan. Indonesia, yang konstitusinya menjunjung tinggi kemerdekaan dan menolak penjajahan dalam bentuk apa pun, seharusnya bisa melihat cermin ini dengan lebih jernih. Kita tak bisa berdiri netral saat nilai-nilai yang kita yakini dilanggar secara terbuka.

Dalam semua ini, satu benang merah tampak jelas: stabilitas regional tak mungkin dibangun di atas kekuatan militer dan tekanan geopolitik semata. Ia menuntut keadilan—keadilan yang tidak selektif, tidak tunduk pada kekuasaan, dan tidak hanya berpihak pada siapa yang punya rudal lebih banyak. Tanpa keadilan, kekuatan justru menjadi alat penjajahan baru.

Iran, dengan segala kontroversinya, mengajukan satu tesis penting: bahwa dunia ini tak bisa lagi dikelola dengan logika kekuasaan satu arah. Ini bukan pembelaan terhadap semua tindakan Iran, tetapi ajakan untuk melihat kembali lanskap global yang semakin cacat moral. Mengapa negara yang mempertahankan haknya disebut agresor, sementara negara yang menjatuhkan bom di negeri orang disebut pelindung perdamaian?

Indonesia, sebagai negara yang menjunjung kedaulatan dan kerap menjadi penengah dalam konflik internasional, bisa memainkan peran penting di sini. Tidak harus berpihak pada satu kekuatan, tapi pada prinsip: bahwa stabilitas dunia harus dibangun atas dasar keadilan yang merata, bukan dominasi yang dibungkus diplomasi.

Di tengah dunia yang dipenuhi distorsi informasi, kemunafikan institusional, dan retorika kekuasaan yang menyesatkan, pernyataan Iran ini, sekeras dan seberani apa pun bentuknya, adalah panggilan untuk membuka mata: bahwa keadilan bukan lagi pilihan moral, melainkan kebutuhan strategis. Jika kita ingin kawasan ini—dan dunia ini—menjadi tempat yang aman bagi generasi mendatang, kita harus mulai dari prinsip paling dasar: keadilan bagi semua, bukan hanya bagi yang kuat.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer