Connect with us

Opini

Iran Percaya Diri, Israel Bertahan

Published

on

Ada sesuatu yang janggal sekaligus menegangkan dalam lanskap politik dunia hari ini. Negeri yang dulu identik dengan kesombongan militer, penuh ancaman lantang, dan percaya diri bisa menghajar siapa saja, kini justru tampak lebih sibuk memasang tameng. Israel—yang dulunya bangga dengan slogan “tak terkalahkan”—perlahan berubah menjadi negara yang penuh paranoia, sibuk menambal pertahanan misilnya, seakan tak lagi yakin dengan mitos keunggulan sendiri. Ironi ini terasa jelas ketika dibandingkan dengan Iran yang justru tampak semakin percaya diri, bahkan terang-terangan menyebut dirinya “dalam keadaan perang” meski tanpa dentuman senjata di udara.

Pernyataan Mayor Jenderal Yahya Rahim Safavi beberapa hari lalu bagaikan sirene panjang di tengah malam: Iran tidak pernah benar-benar berhenti berperang. Gencatan senjata hanyalah jeda, kata dia, dan setiap saat bisa kembali pecah. Lalu ia menambahkan, “cara terbaik bertahan adalah menyerang.” Kalimat itu bukan sekadar retorika; ia adalah pernyataan ideologis, sekaligus strategi praktis. Iran tidak lagi puas hanya dengan menyandang gelar “korban agresi” atau “pembela diri,” melainkan siap memegang kendali narasi: dari defensif menjadi ofensif. Dan lihatlah, nada suaranya jauh lebih tenang ketimbang panik.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Bandingkan dengan Israel. Negeri itu kini tengah sibuk mengembangkan sistem pertahanan rudal baru, seperti seseorang yang ketakutan dikejar bayangan sendiri. Jika dulu mereka tampil percaya diri, menantang langit, kini yang terdengar justru pernyataan bernada cemas: jangan sampai misil Iran menghantam lebih banyak kota, jangan sampai universitas atau pusat riset kembali hancur. Ironis, bukan? Negara yang dulu dikenal garang, kini malah lebih mirip pasien trauma yang tak pernah pulih, terus-menerus menoleh ke belakang, khawatir serangan berikutnya lebih telak dari sebelumnya.

Di sini letak absurditasnya: Iran, yang selama puluhan tahun dikepung sanksi, ditekan embargo, dan dicap sebagai ancaman, malah semakin percaya diri. Israel, yang selama puluhan tahun didukung penuh oleh Amerika Serikat dan sekutunya, kini tampak defensif. Dunia seperti terbalik. Saya rasa kita semua ingat bagaimana jargon lama Israel terdengar pongah: “Kami membawa perang ke halaman belakang musuh, bukan di tanah kami sendiri.” Tapi perang 12 hari lalu menampar keras mitos itu. Misil-misil Iran menghantam jantung teknologi dan militer Israel, dan sekalipun sensor media berusaha menutupinya, bocoran tetap keluar: kerusakan itu nyata.

Safavi tahu betul bagaimana memainkan perang psikologis. Dengan tenang ia menyebut bahwa Iran menyiapkan skenario terburuk, memperkuat tidak hanya misil dan drone, tapi juga diplomasi, media, dan dunia siber. Kalimatnya terdengar seperti manual perang abad ke-21: perang tak lagi sekadar dentuman artileri, tapi juga narasi yang membentuk opini publik. Dan jujur saja, saat seorang jenderal bicara soal “ofensif sebagai strategi perdamaian,” ada lapisan ironi yang sulit diabaikan. Ia sedang menyindir, dengan halus tapi tajam: jika Amerika dan Israel menyebut kekuatan sebagai jalan menuju damai, kenapa Iran tidak boleh mengklaim hal yang sama?

Israel, di sisi lain, semakin sering menyuarakan ancaman tapi dengan nada yang terasa kehilangan wibawa. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, berkata telah memerintahkan militer menyiapkan “enforcement plan” terhadap program nuklir Iran. Kata-katanya terdengar lantang, tapi bukankah kita sudah melihat hasil serangan bunker-buster AS ke fasilitas nuklir Iran? Serangan itu gagal menghancurkan total program nuklir Teheran. Maka ancaman baru ini terdengar seperti repetisi: keras di mulut, tapi penuh keraguan dalam hati.

Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru dalam sejarah. Kita sering lihat, mereka yang dulu perkasa bisa tiba-tiba berubah menjadi defensif begitu menghadapi lawan yang tak lagi sekadar bertahan. Analogi sederhananya: seperti preman sekolah yang dulu ditakuti semua orang, tiba-tiba bertemu murid baru yang tenang, sabar, tapi diam-diam menguasai bela diri. Sekali baku hantam, aura sang preman runtuh, dan sejak itu ia berjalan dengan resah, selalu melihat ke belakang. Begitulah Israel hari ini: lebih sibuk bertahan ketimbang menyerang.

Di titik ini, yang membuat saya geleng-geleng kepala adalah betapa narasi kekuatan bisa cepat sekali bergeser. Selama puluhan tahun, kita dijejali bayangan bahwa Iran hanyalah pemain kecil, “ekor naga” yang bisa dipotong kapan saja. Tapi kini, analis seperti Trita Parsi dengan lugas menulis bahwa perang berikutnya bisa jadi lebih singkat dan lebih mematikan—karena Iran tidak lagi akan bermain tempo panjang, tapi langsung menghantam telak sejak awal. Sebuah prediksi yang, jika benar, akan mengubah seluruh kalkulasi geopolitik kawasan.

Saya rasa publik di Indonesia pun bisa menangkap ironi ini. Kita hidup di negeri yang sering dipaksa percaya bahwa kekuatan besar selalu benar. Tapi bukankah kita juga tahu, dalam kehidupan sehari-hari, yang paling sering menang bukanlah yang paling lantang, melainkan yang paling sabar dan konsisten? Iran, dengan segala kekurangannya, sedang memainkan peran itu. Ia menunggu, ia menahan, lalu ia menyerang di waktu yang tepat.

Sementara itu, Israel seperti rumah yang dulunya megah, kini dipenuhi peralatan keamanan berlapis, dari CCTV, alarm, hingga pagar listrik. Semakin banyak proteksi, semakin terlihat rapuh. Bukankah kita sering lihat di sekitar, rumah yang paling mencolok sistem keamanannya biasanya justru yang paling takut disatroni maling? Begitu pula Israel: pertahanan rudalnya bukan tanda kekuatan, melainkan pengakuan atas kerentanan.

Ada kalanya sejarah berjalan dengan cara yang ironis. Negara yang selalu merasa jadi pusat kekuatan kini sibuk menutup retakan di dindingnya. Negara yang selalu ditekan dan disudutkan, kini tampil percaya diri, seakan berkata: “Kami siap, kapan pun kau mulai.” Dalam dinamika seperti ini, yang paling menakutkan bukanlah dentuman misil atau drone yang terbang. Yang paling menakutkan adalah perubahan psikologi: ketika pihak yang dulu ditakuti mulai merasa takut, dan pihak yang dulu ditekan mulai berani melawan tanpa ragu.

Dan mungkin, justru di situlah letak paradoks yang lebih dalam. Safavi berkata, “Saya pikir perang lain mungkin akan terjadi, dan setelah itu mungkin tidak ada lagi perang.” Kalimat ini bisa dibaca sebagai ancaman sekaligus keyakinan. Ancaman, karena perang berikutnya bisa begitu mematikan hingga tak ada ruang untuk babak selanjutnya. Keyakinan, karena Iran percaya dengan menampilkan kekuatan penuh, mereka bisa menciptakan deterrensi yang permanen. Ironi, karena demi damai, mereka justru bersiap untuk perang.

Saya tidak tahu apakah perang besar benar-benar akan pecah dalam waktu dekat. Tapi satu hal jelas: peta kekuatan sudah berubah. Iran kini tampil lebih percaya diri, sementara Israel kehilangan aura garangnya. Dunia terbalik, dan di balik absurditas ini kita melihat pelajaran pahit: bahwa mitos kekuatan absolut selalu punya masa kedaluwarsa. Yang dulu menakutkan, kini ketakutan. Yang dulu ditekan, kini menekan.

Dan bukankah itu membuat kita semua tersenyum getir, di tengah rasa ngeri, menyaksikan sejarah menulis ulang dirinya sendiri?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer