Connect with us

Opini

Iran Muak, Dunia Mulai Tuli pada Retorika Barat

Published

on

“Iran hari ini mengumumkan bahwa mereka akan menangguhkan kerja samanya dengan IAEA…”

Kalimat itu meluncur dari podium Amerika dengan nada yang dibuat seolah prihatin, padahal justru terasa seperti pengumuman murid nakal yang diminta berdiri di depan kelas—bukan karena kesalahan, tapi karena berani membantah guru yang tak pernah belajar etika. Lalu menyusul pernyataan: “unacceptable”, seolah AS adalah wali moral dunia yang memegang meteran kebenaran, dan dunia harus mendengar sabdanya tanpa jeda, tanpa bantahan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kita hidup di zaman ketika negara yang keluar dari kesepakatan nuklir Iran (Joint Comprehensive Plan of Action – JCPOA) secara sepihak, justru merasa berhak menggurui negara yang tetap bertahan dalam kesepakatan itu selama mungkin. Zaman ketika negara yang memproduksi dan menggunakan senjata nuklir pertama kali dalam sejarah manusia, kini berdiri di panggung internasional, menuding jari sambil berkata: “Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir.” Ironi ini bukan lagi jenaka—ini pelecehan intelektual.

Tapi mari kita tarik napas dan berpura-pura sesaat bahwa kita belum muak. Bahwa kita masih peduli pada diplomasi. Bahwa kata-kata seperti “window of opportunity” atau “path of peace and prosperity” masih punya makna, bukan hanya dekorasi pidato di forum-forum mahal. Maka kita akan mendapati absurdnya dunia ini: Iran yang menjadi anggota resmi NPT, yang membiarkan fasilitas nuklirnya dipantau Badan Atom Internasional (International Atomic Energy Agency – IAEA) selama bertahun-tahun, yang bahkan masih berunding walau dihina dan dibom, kini dianggap sebagai ancaman. Sementara zionis Israel—yang bukan anggota Nuclear Thermal Propulsion (NTP), yang punya senjata nuklir sejak tahun 60-an, yang fasilitas nuklirnya tidak pernah dibuka untuk siapa pun—tidak pernah dipersoalkan. Tidak satu pun. Sunyi.

Kaja Kallas, tokoh yang sekarang menjabat Koordinator Komisi Gabungan JCPOA dari Uni Eropa, muncul ke permukaan dengan pernyataan penuh percaya diri: “Negosiasi untuk mengakhiri program nuklir Iran harus dimulai kembali sesegera mungkin.” Pernyataan itu sederhana—dan mematikan secara diplomatik. Sebab ketika Anda menyatakan bahwa seluruh program nuklir Iran harus diakhiri, Anda pada dasarnya membatalkan seluruh dasar JCPOA, NPT, dan segala bentuk hukum internasional yang menjamin hak negara untuk mengembangkan teknologi nuklir secara damai. Seperti membakar rumah yang Anda bangun sendiri, lalu menyalahkan tetangga karena asapnya mengganggu.

Abbas Araghchi merespons dengan tenang tapi tajam: jika negosiasi bertujuan mengakhiri seluruh program nuklir Iran, maka peran Uni Eropa dan seluruh perangkat hukum internasional yang mendasarinya sudah tidak relevan lagi. Artinya, mereka tidak hanya menendang meja perundingan—mereka menolak keberadaan meja itu sama sekali. Inilah titik di mana absurditas menjelma menjadi kenyataan diplomatik. Ketika yang mencabik-cabik kesepakatan justru menuduh pihak lain tidak taat aturan.

G7 pun tak mau ketinggalan dalam parade kemunafikan ini. Dalam satu pernyataan yang seharusnya bisa diajarkan di kelas sastra satir, mereka menyatakan: “Kami menegaskan kembali bahwa Republik Islam Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir…” dan mendesak Iran untuk “segera melanjutkan kerja sama penuh dengan IAEA.” Di saat yang sama, tidak satu pun kalimat menyebut nuklir Israel. Tidak satu frasa menyentuh Dimona. Tidak ada teguran, tidak ada resolusi. Hanya diam yang telanjang, dan itu jauh lebih memekakkan.

Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, bahkan tak menahan diri. Dalam percakapan dengan Macron, ia menyebutkan dua hal yang mengoyak kesabaran: laporan palsu Rafael Grossi, dan kegagalan IAEA mengutuk serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran. Ia bicara tentang runtuhnya kepercayaan publik Iran terhadap lembaga-lembaga internasional. Dan jujur saja—siapa yang bisa menyalahkan mereka?

Kita di Indonesia pun paham rasa ini. Rasa jengah ketika aturan dibuat hanya untuk menundukkan yang lemah, sementara yang kuat bebas menabraknya dengan senyum. Kita tahu bagaimana rasanya ketika suara-suara dari dunia selatan dibungkam, hanya karena tidak sejalan dengan selera geopolitik barat. Maka ketika Iran berkata “cukup,” itu bukan bentuk arogansi, tapi pengakuan bahwa harga diri tidak bisa ditukar dengan pengawasan sepihak yang tak jujur.

Lucunya, Amerika menyebut penangguhan kerja sama Iran dengan IAEA sebagai “unacceptable”, sesuatu yang tidak bisa diterima. Tapi siapa yang lebih dulu mengingkari perjanjian internasional? Siapa yang menghancurkan JCPOA tanpa dasar selain dendam politik dalam negeri? Siapa yang selama ini membiarkan zionis Israel menghancurkan fasilitas nuklir Iran secara terbuka tanpa satu pun kecaman?

Mereka bertanya, mengapa Iran memperkaya uranium hingga 60%. Tapi mereka tak pernah mengakui bahwa itu terjadi setelah AS keluar dari JCPOA, setelah Israel membom fasilitas Iran, setelah IAEA menjadi lebih mirip juru bicara NATO ketimbang badan pengawas yang netral. Dalam dunia normal, sebuah negara punya hak membela diri ketika dilanggar. Tapi di dunia ini, justru yang membela diri dianggap provokator, dan yang menyerang diberi panggung kehormatan.

Mereka bilang Iran harus kembali ke meja perundingan. Tapi perundingan macam apa? Meja macam apa? Ketika satu pihak membawa pena dan dokumen, sementara pihak lain membawa drone dan sanksi ekonomi. Itu bukan perundingan—itu pemaksaan. Itu imperialisme dalam baju diplomasi.

Dan sekarang, mereka berharap dunia masih percaya pada retorika mereka. Bahwa Iran adalah ancaman. Bahwa Barat membawa stabilitas. Bahwa senjata hanya berbahaya jika dimiliki oleh mereka yang tidak tunduk. Tapi dunia telah berubah. Dan tidak semua orang ingin tunduk lagi. Banyak yang, seperti Iran, mulai berkata: biarlah kami berdiri sendiri, daripada berjalan dalam barisan yang buta.

Jadi ya, Iran memang menangguhkan kerja sama. Dan mungkin, dunia akan lebih baik jika lebih banyak negara mulai melakukan hal yang sama. Bukan karena membenci perdamaian, tapi karena lelah dihina atas nama hukum yang tidak pernah ditegakkan secara adil.

Karena pada akhirnya, dalam dunia yang penuh kemunafikan ini, menolak pura-pura percaya adalah bentuk keberanian paling rasional.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer