Connect with us

Opini

Iran Lawan Tekanan AS, Negosiasi Nuklir di Ujung Tanduk

Published

on

Iran akan segera menyerahkan kontra-proposal untuk kesepakatan nuklir kepada Amerika Serikat melalui Oman, demikian disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baghaei, pada Senin kemarin. Pernyataan ini disampaikan menyusul tawaran AS yang oleh Teheran dianggap “tidak dapat diterima.” Di tengah situasi geopolitik yang tegang dan penuh tarik-ulur, kalimat itu bukan sekadar respons diplomatik. Ia adalah isyarat bahwa apa yang disebut sebagai perundingan ini sesungguhnya tengah berlangsung di bawah bayang-bayang tekanan dan penundukan.

Negosiasi yang ideal mestinya berlangsung dalam ruang setara, saling mengakui hak dan legitimasi satu sama lain. Tapi laporan-laporan mutakhir menunjukkan hal sebaliknya. Amerika, setelah menarik diri sepihak dari kesepakatan nuklir 2015 di masa pemerintahan Donald Trump, kini justru datang kembali ke meja perundingan dengan sederet prasyarat yang ketat—tanpa kesediaan menunjukkan itikad baik yang sepadan. Iran diminta menahan diri dari pengayaan uranium, menyerahkan stok uranium yang telah dimurnikan, serta menerima sanksi yang belum jelas kapan dan bagaimana akan dicabut. Semua itu, tanpa jaminan bahwa mereka akan mendapat manfaat ekonomi riil dari kesepakatan tersebut.

Inilah akar dari ketegangan itu: satu pihak memaksa, satu pihak bertahan. Bukan karena keras kepala, melainkan karena kesadaran akan hak sebagai negara berdaulat. Iran, sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, takkan pernah menyerahkan hak untuk memperkaya uranium di tanahnya sendiri. Itu bukan semata soal teknis nuklir. Itu simbol kedaulatan. Sebuah garis merah. Seperti Indonesia yang menolak dipaksa tunduk pada embargo teknologi di masa Orde Baru, bangsa mana pun berhak menentukan nasibnya sendiri di tengah konstelasi global yang kerap timpang.

Laporan dari Reuters dan The National News menggarisbawahi ironi yang menyelimuti seluruh perundingan ini. AS menekan Iran dengan dalih keamanan global, tapi dalam waktu yang sama tetap diam atas program nuklir Israel—satu-satunya kekuatan di kawasan yang diduga kuat telah memiliki senjata nuklir namun menolak membuka akses bagi pengawasan internasional. Israel tidak pernah mengakui atau membantah memiliki bom nuklir. Ia tidak ikut dalam Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Namun tak satu pun suara keras datang dari Washington menuntut transparansi dari Tel Aviv. Dunia seperti dibuat terbiasa pada standar ganda ini.

Lebih dari sekadar diplomasi, realitas ini menunjukkan bahwa AS bukan sedang berunding, tapi berusaha menundukkan. Jalur yang dipakai bukan lagi persuasi, melainkan tekanan ekonomi, isolasi diplomatik, dan ancaman militer. Teheran merespons itu dengan kontra-proposal yang disebut “logis dan seimbang.” Tapi bahkan sebelum dibuka isinya, proposal itu sudah disambut skeptis oleh media-media Barat. Dalam dunia yang didominasi narasi satu arah, posisi Iran selalu diletakkan dalam kerangka ancaman. Kata “enrichment” atau pengayaan selalu dikaitkan dengan ambisi bom, bukan pembangkit energi atau riset medis. Padahal, bukti eksplisit bahwa Iran membangun senjata nuklir masih nihil hingga kini.

Pertanyaan yang muncul dari dinamika ini sebenarnya sederhana: mengapa sebuah bangsa tidak boleh mendapatkan apa yang secara hukum internasional menjadi haknya? Jika Indonesia misalnya, ingin membangun PLTN dan memperkaya uranium untuk keperluan energi, tentu akan menuntut hak itu dijamin dan dilindungi. Maka mengapa Iran—dengan pengawasan badan atom internasional (IAEA)—harus dianggap bersalah hanya karena menolak tunduk pada tekanan yang tak adil? Mungkin jawabannya bukan terletak pada uranium itu sendiri, tapi pada siapa yang mengendalikannya. Pada siapa yang memegang hak untuk berkata “boleh” dan “tidak boleh.”

Wakil rakyat Iran, Mohammad Bagher Ghalibaf, secara terbuka menyebut bahwa tawaran AS bahkan tidak menyentuh isu utama, yaitu pencabutan sanksi. Pernyataan ini mencerminkan frustrasi yang dalam atas pendekatan sepihak yang terus-menerus ditampilkan AS. Bagi Iran, menghapus sanksi bukan soal simbolik. Ini menyangkut hidup jutaan rakyat. Sistem perbankan yang lumpuh, transaksi yang diblokir, pasokan medis yang tersendat—semua itu adalah efek nyata dari embargo ekonomi. Dan dalam perundingan ini, AS justru menghindar dari tanggung jawabnya atas kerusakan tersebut. Apa gunanya duduk di meja perundingan jika niatnya hanya untuk mengamputasi lawan?

Di sisi lain, masyarakat internasional terus didorong untuk memberi tekanan pada Iran, tetapi tidak pada Israel. Dewan Gubernur IAEA pun lebih sering mengangkat isu dugaan pelanggaran oleh Teheran daripada menyoal senjata nuklir yang tak pernah diaudit di Israel. Ini yang kemudian menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam. Bahwa hukum internasional berlaku selektif. Bahwa dunia seolah dibagi dua: yang boleh melanggar, dan yang harus patuh mutlak. Maka wajar jika muncul skeptisisme dari negara-negara berkembang yang merasa sistem global ini tidak bekerja untuk semua.

Bagi publik di Indonesia, situasi ini semestinya memantik empati dan kesadaran geopolitik yang lebih dalam. Kita tahu betul bagaimana rasanya berada dalam posisi yang ditekan, bagaimana pentingnya menjaga martabat nasional di tengah tekanan luar. Saat Iran bersikeras bahwa mereka hanya menuntut apa yang dilakukan negara lain—mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai—mereka sedang bicara dengan bahasa yang mestinya kita pahami. Mereka sedang bertahan dari upaya normalisasi dominasi.

Yang menjadi pertaruhan hari ini bukan hanya masa depan program nuklir Iran, tapi juga apakah dunia akan terus menerima diplomasi tekanan sebagai hal biasa. Apakah kita akan terus menyaksikan negara-negara kuat menetapkan hukum yang berbeda untuk kawan dan lawan? Dan apakah negara-negara di selatan global, termasuk Indonesia, akan terus menjadi penonton dari politik dunia yang tak pernah berpihak adil?

Perundingan yang tidak setara pada akhirnya hanya melanggengkan ketidakpercayaan. Iran menyadari itu, dan tampaknya lebih memilih menanggung risiko isolasi daripada menggadaikan martabatnya. Dan mungkin, justru dalam penolakan itulah mereka sedang memberi pelajaran tentang makna kedaulatan. Bahwa menjadi bagian dari komunitas internasional bukan berarti harus kehilangan kehendak sendiri. Bahwa dialog hanya bisa bermakna jika kedua belah pihak duduk sejajar, bukan satu di kursi, dan satu lagi di lantai.

 

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *