Opini
Iran dan Poros Timur: Reorientasi Strategis Iran melalui SCO

Serangan terhadap Republik Islam Iran yang terjadi baru-baru ini bukanlah sekadar benturan senjata atau adu militer biasa. Bagi Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, ini adalah bentuk agresi terang-terangan dari entitas zionis—agresi yang tidak diprovokasi, tidak didahului alasan yang sah, dan melanggar norma internasional paling mendasar. Dalam wawancara eksklusifnya dengan CGTN, Araghchi tak hanya menegaskan hak Iran untuk membela diri, tetapi juga mengisyaratkan satu hal yang lebih dalam: dunia telah berubah, dan Iran tahu ke mana harus berpaling.
Dalam suasana global yang kian tidak menentu, ketika kepercayaan pada gencatan senjata telah remuk oleh sejarah panjang pelanggaran dari entitas zionis, Iran tampak semakin tegas melangkah keluar dari bayang-bayang dominasi Barat. Reorientasi itu tercermin kuat dalam partisipasi aktif Iran di forum-forum seperti Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), yang kini tidak lagi sekadar forum regional, tetapi mulai membentuk diri sebagai poros politik global tandingan. Araghchi, yang bertemu langsung dengan Presiden Xi Jinping menjelang pertemuan ke-25 para menteri luar negeri SCO di Tianjin, menegaskan betapa pentingnya kerjasama lintas kawasan yang tidak didikte oleh arus geopolitik satu kutub.
Kehadiran Iran di SCO bukan sekadar simbol. Ia adalah bagian dari penataan ulang dunia yang sedang berlangsung, di mana negara-negara non-Barat mulai membangun struktur kerja sama politik, ekonomi, dan keamanan berdasarkan kepentingan bersama, bukan dikte kekuatan hegemonik. Araghchi secara gamblang menyebut bahwa SCO mulai melampaui batas regional menuju skala global, dengan pembahasan strategis tentang energi, perdagangan, dan keamanan kolektif. Dan ketika SCO mengeluarkan pernyataan tegas mengecam serangan terhadap Iran sebagai pelanggaran kedaulatan, itu menjadi sinyal: poros baru dunia mulai menegaskan keberadaannya.
Dari perspektif Indonesia, perkembangan ini seharusnya membangkitkan kesadaran baru. Bahwa dunia tidak lagi bisa dilihat dalam kerangka lama antara ‘Barat’ dan ‘musuh Barat’. Bahwa organisasi seperti SCO bukan semata forum Timur Tengah dan Asia Tengah, tetapi ruang di mana arsitektur keamanan dan ekonomi masa depan sedang disusun. Indonesia, yang selama ini berjalan di atas garis tengah dalam diplomasi global, dapat belajar dari langkah Iran: bahwa dalam menghadapi tekanan, membangun solidaritas alternatif adalah jalan yang masuk akal, bahkan mungkin satu-satunya yang rasional.
Tentu, Iran bukan negara tanpa cela. Namun dalam konteks ini, penting untuk memisahkan antara legitimasi sebuah respons terhadap serangan militer, dengan dinamika domestik negara tersebut. Serangan terhadap fasilitas nuklir sipil Iran—yang oleh Araghchi dikutuk sebagai tindakan tak terampuni karena bisa menimbulkan bencana ekologis besar—tidak bisa dibenarkan dalam kerangka hukum internasional mana pun. Ketika Amerika Serikat, dalam koordinasi penuh dengan entitas zionis, ikut melancarkan serangan udara terhadap fasilitas yang terdaftar dalam pengawasan IAEA, pertanyaannya bukan lagi tentang siapa yang benar atau salah, tetapi siapa yang masih menghargai norma bersama dalam sistem internasional.
Dan dalam situasi seperti itu, dukungan terbuka dari negara-negara anggota SCO terhadap Iran menjadi penting. Bukan karena semua pihak dalam SCO sepakat secara ideologis, melainkan karena mereka mulai berbagi kepentingan yang lebih konkret: stabilitas kawasan, penghormatan terhadap kedaulatan negara, dan resistensi terhadap intervensi sepihak. Dalam diplomasi, solidaritas tidak selalu datang dari kesamaan nilai, tapi dari pengalaman yang sama tentang apa artinya hidup di bawah tekanan satu kutub kekuatan global.
Pertemuan bilateral antara Araghchi dan Xi Jinping tak hanya berbicara soal perdagangan. Itu adalah pernyataan politik yang dalam: bahwa China—yang kerap diposisikan sebagai musuh strategis AS—melihat Iran bukan sebagai pembuat masalah, tapi sebagai mitra strategis. Dalam pertemuan yang hangat tapi strategis, mereka menyepakati arah kerja sama yang melampaui isu militer: dari energi hingga pertumbuhan ekonomi bersama. SCO menjadi forum di mana narasi dominasi tunggal mulai ditantang bukan dengan senjata, tapi dengan platform alternatif yang punya daya tawar global.
Bagi dunia Muslim, termasuk Indonesia, ini adalah momen untuk merefleksikan posisi dan pilihan kebijakan luar negeri. Terlalu lama isu-isu seperti Palestina, nuklir Iran, atau agresi Barat terhadap negara Muslim dilihat sebagai konflik “jauh di sana.” Padahal, dalam dunia yang saling terhubung, pelanggaran terhadap satu negara berdaulat hari ini, bisa menjadi preseden untuk pelanggaran yang lebih luas esok hari. Jika Iran yang memiliki kapasitas pertahanan mumpuni saja bisa menjadi target agresi tanpa sanksi global terhadap pelakunya, bagaimana dengan negara-negara lain yang lebih lemah?
Yang perlu dipahami adalah bahwa kehadiran Iran di SCO bukan sekadar bentuk penghindaran isolasi Barat, tapi bagian dari desain jangka panjang untuk memperluas ruang gerak dan menentukan arah masa depan berdasarkan logika solidaritas global non-Barat. Ini mencerminkan kecenderungan yang lebih luas di banyak negara, termasuk Indonesia, yang ingin membangun relasi luar negeri yang tidak terlalu tergantung pada satu poros kekuatan saja. Terutama ketika poros itu semakin menunjukkan inkonsistensi dan standar ganda dalam isu hak asasi manusia, kedaulatan negara, dan perdamaian internasional.
Namun tentu saja, pertanyaan yang menggantung tetap ada: seberapa jauh SCO bisa menjadi kekuatan penyeimbang nyata? Mampukah aliansi ini melindungi anggotanya dari tekanan ekonomi dan militer Barat? Dan apakah negara-negara anggota benar-benar mampu bersatu dalam visi bersama, ataukah hanya akan menjadi forum simbolik lain?
Dalam ketidakpastian global yang terus bergulir, Iran tampaknya memilih untuk tidak lagi menunggu belas kasihan dari tatanan internasional yang timpang. Mereka memilih poros sendiri, membangun kemitraan strategis baru, dan menunjukkan bahwa bahkan dalam tekanan, arah baru bisa diambil. Dalam logika yang sama, negara-negara seperti Indonesia juga dihadapkan pada pilihan: apakah terus bersandar pada sistem global yang makin sulit dipercaya, atau mulai menyiapkan alternatif-alternatif kemitraan yang lebih adil dan saling menghormati.
Tak ada jawaban yang mudah. Tapi laporan ini memberi satu petunjuk: Iran tak sedang sekadar bertahan. Ia sedang bergerak. Dan dalam gerakan itu, dunia pun ikut beringsut—meninggalkan tatanan lama, menuju sesuatu yang belum sepenuhnya bernama.