Connect with us

Opini

Inggris yang Beradab dan Bom Seberat 2.000 Pon

Published

on

“Para pilot tempur Israel menerima pelatihan dengan menggunakan peralatan militer buatan Inggris.”

Kalimat pembuka laporan The Ditch dan Declassified UK itu tidak datang dari ruang fiksi George Orwell atau rekaman gelap James Bond. Ini nyata. Di tahun 2025, ketika sebagian dunia mengutuk pembantaian warga sipil di Gaza, Inggris justru mengirim peralatan pelatihan untuk pilot zionis Israel ke pangkalan udara Hatzerim. Di dalamnya, di sebuah fasilitas bernama “Lavi”—yang terdengar seperti nama lucu dari seekor anak singa, tapi sejatinya markas pelatihan pembom bersenjata canggih—berderet peralatan yang membantu manusia belajar cara paling efisien untuk menjatuhkan bom pada manusia lain.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Sepuluh pengiriman dilakukan sejak Desember 2024. Bukan satu. Bukan dua. Sepuluh. Tiga di antaranya dikirim hanya dalam satu bulan terakhir. Kita tidak tahu apakah pengiriman ini dikemas dalam kardus ramah lingkungan atau menggunakan plastik daur ulang demi menjaga citra hijau Kerajaan Inggris, tapi yang pasti isinya bukan mainan. Ini peralatan pelatihan bagi para pilot Israel yang akan mengoperasikan F-16 dan F-35, dua jet yang tak asing bagi warga Gaza yang hanya bisa menatap langit dengan pasrah.

Mereka menyebutnya pesawat pelatihan. Trainer aircraft. Yang dalam narasi hukum ekspor Inggris tidak termasuk “alat tempur langsung”. Oh, betapa elegan cara mereka memilih kata. Bukankah ini luar biasa? Kita menyaksikan bagaimana sebuah bangsa yang mengaku sebagai mercusuar peradaban menemukan cara untuk tetap terlibat dalam perang, tanpa terlihat sedang berperang.

Kita bisa bayangkan seorang pilot muda Israel duduk di simulator M-346 Lavi, jari-jarinya menghafal letak tombol rudal, sementara layar menampilkan sasaran bergerak yang mungkin disimulasikan sebagai “target berbahaya”—padahal dalam realitas nanti, bisa saja itu adalah keluarga yang sedang tidur, sekolah dasar, atau ambulans.

Yang menggelitik adalah bagaimana pemerintah Inggris terus menyatakan kepeduliannya terhadap perdamaian. Mereka berbicara tentang “solusi dua negara”, “hak hidup warga Palestina”, dan “perluasan bantuan kemanusiaan.” Lalu, di saat yang sama, mereka mengirim sistem kendali penerbangan bagi pesawat yang akan digunakan untuk menggempur Rafah, Khan Younis, dan sisa-sisa reruntuhan kehidupan yang sudah lama tak disebut “kota”.

Emily Apple dari Campaign Against Arms Trade menyebut ini sebagai “level keterlibatan yang menjijikkan.” Tapi mungkin itu terlalu halus. Ini bukan sekadar keterlibatan. Ini partisipasi aktif dalam genosida. Kalau ada universitas yang membuka program Master in Complicity, pemerintah Inggris layak mendapat gelar kehormatan—magna cum laude.

Di Indonesia, kita sering bercanda soal standar ganda. Tapi apa yang dilakukan Inggris dan sekutunya sudah lewat dari sekadar standar ganda—ini seni dalam kemunafikan. Mereka menjual nilai-nilai universal seperti orang menjual parfum mahal: kemasannya indah, wanginya menawan, tapi isinya bahan kimia yang bisa membakar kulit.

Sebagian warga Inggris mungkin tidak tahu pengiriman ini terjadi. Tapi sebagian lainnya tahu dan memilih diam. Di sinilah letak bahaya dari sistem demokrasi yang dioperasikan tanpa nurani. Ketika parlemen Inggris menolak RUU penyelidikan publik independen soal Gaza, yang digagas Jeremy Corbyn, kita semua tahu ini bukan lagi soal perbedaan pendapat. Ini soal keberanian untuk berkata tidak pada kejahatan. Dan mereka gagal.

Apa yang bisa kita harapkan dari bangsa yang pernah menjajah sepertiga dunia, tapi tak pernah benar-benar meminta maaf dengan sungguh-sungguh? Dari negara yang membanggakan Magna Carta tapi menutup mata pada penggundulan hukum internasional di Timur Tengah? Dari pemerintahan yang memblokir seruan penyelidikan karena takut melihat bayangannya sendiri di cermin?

Orang Inggris suka teh. Tapi di luar jam lima sore, mereka juga tampaknya sangat menyukai keterlibatan militer yang dibungkus rapi dalam kemasan industri. Moog, perusahaan teknik asal Wolverhampton, menjadi aktor teknis dari drama moral ini. Mereka mengembangkan sistem kendali untuk pesawat latih itu—alat yang digunakan bukan hanya untuk melatih, tetapi untuk mempersiapkan kematian. Dan dalam dunia yang absurd ini, persiapan kematian bisa menjadi bisnis yang sangat menguntungkan.

Apa jadinya jika kita, misalnya, membuat versi lokal dari kisah ini? Bayangkan jika sebuah perusahaan Indonesia menyuplai sistem radar untuk pesawat Myanmar yang menyerang etnis Rohingya. Mungkin dunia akan bereaksi. Tapi jika pelakunya Inggris dan korbannya Palestina, reaksi itu berubah menjadi sunyi. Karena mereka, seperti biasa, punya hak eksklusif untuk memonopoli penderitaan dan mendefinisikan siapa yang layak disebut korban.

Dunia Arab mungkin masih sibuk memproduksi pernyataan keprihatinan. Sebagian negara Islam lainnya sedang sibuk menggelar konferensi, membuat risalah, atau mengatur meja bundar yang tak pernah berujung. Sementara itu, pengiriman ke Hatzerim terus berlanjut. Gaza terus hancur. Dan Inggris? Masih dengan wajah serius, berbicara tentang nilai-nilai demokrasi dan perdamaian global di forum-forum PBB.

Kita hidup di zaman di mana “pelatihan” adalah bagian dari “pembunuhan”. Di mana “dukungan logistik” adalah bentuk lain dari “pembantaian jarak jauh”. Dan di mana negara-negara yang menyebut diri paling beradab justru menunjukkan kebrutalan paling telanjang—tapi dengan dasi, protokol diplomatik, dan tentu saja… persetujuan ekspor.

Mungkin yang paling ironis adalah nama “Lavi” itu sendiri. Anak singa. Simbol semangat, kemurnian, dan keberanian dalam banyak budaya. Tapi dalam konteks ini, Lavi bukanlah singa pembela. Ia adalah mesin yang mengajarkan bagaimana cara menerkam dari langit. Dan Inggris—dengan segala warisan kolonialnya—masih saja ingin bermain sebagai dalang di panggung dunia, bahkan ketika panggung itu berdiri di atas puing-puing tubuh anak-anak.

Bagi kita di Indonesia, yang punya sejarah panjang dengan kolonialisme, narasi ini seharusnya membangunkan trauma kolektif kita. Kita tahu rasanya dijajah. Kita tahu bagaimana licinnya lidah penjajah bicara tentang “misi peradaban” sambil membakar desa. Kita tahu, dan karena itulah kita tak boleh ikut menjadi penonton yang pasrah saat sejarah berulang, hanya karena wajah penjajah kini memakai setelan jas modern dan berbicara dalam bahasa diplomasi.

Lalu apa yang bisa kita harapkan dari Inggris?

Jawabannya: jangan harap terlalu banyak. Harapkan saja mereka konsisten dalam satu hal: menyangkal keterlibatannya, menolak tanggung jawabnya, dan terus menjual moralitas dengan harga diskon.

Dan kepada kita semua, semoga tulisan ini cukup untuk mengusik hati, mendorong pikiran, dan—paling tidak—menyisakan getir di ujung senyum kita. Sebab di dunia seperti ini, hanya dua hal yang tampaknya abadi: kemunafikan kekuasaan, dan daya tahan rakyat yang menjadi korban.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Poster Palestina yang Membuat London Panik - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer