Connect with us

Opini

Infiltrasi Gaya Baru: Dari Turki ke Halaman Kita

Published

on

Barangkali, dunia ini memang sudah semakin absurd. Ketika lembaga intelijen sebuah negara besar seperti Turki —yang bukan anak kemarin sore dalam urusan pengamanan nasional—secara terbuka mengeluarkan peringatan bahwa Israel tengah mencoba merekrut agen di wilayahnya, kita semua seharusnya duduk sebentar, diam, lalu berpikir: jika Turki saja bisa jadi sasaran, bagaimana dengan kita? Ya, kita—Indonesia, negeri yang katanya cinta damai, penuh toleransi, dan percaya bahwa spionase hanya ada di film-film James Bond.

Laporan yang dilansir media Turki, Oda, itu bukan sekadar kabar lalu lintas intelijen biasa. Ini adalah semacam pengakuan terbuka bahwa strategi lama sedang diperbarui: menyusup, membajak, lalu mengadu. MIT, lembaga intelijen Turki, secara tegas menyebut bahwa Israel menggunakan metode yang selama ini dipakai untuk mengguncang Iran—mulai dari disinformasi digital, perekrutan agen lokal, hingga pembunuhan tokoh strategis—dan kini hendak dipindahkan ke medan yang lebih lembut, lebih longgar, lebih permisif: Turki, dan siapa tahu, Indonesia. Tentu saja, bukan dengan senjata atau roket. Itu cara lama. Yang baru adalah uang, pengaruh, dan acara-acara bertema “spiritualitas lintas iman.”

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Bayangkan saja, sebuah negara dengan kekuatan spionase terbaik di dunia membentuk jaringan dalam negeri negara lain, bukan lewat pangkalan militer, tapi lewat yayasan, lembaga sosial, bahkan—dengarkan ini baik-baik—acara keagamaan yang katanya demi “perdamaian antarumat.” Lucunya, banyak dari yang ikut serta merasa sedang berbuat baik. Seolah menyiramkan air ke padang tandus, padahal air itu asin, dan padang itu pelan-pelan berubah jadi lumpur penuh jebakan.

Kini, mari kita bawa absurditas ini ke halaman rumah kita sendiri. Indonesia yang lembut, penuh senyum, dan terlalu baik hati ini—benarkah imun terhadap infiltrasi semacam itu? Kalau Turki bisa disusupi, padahal mereka punya pengalaman geopolitik berdarah, bagaimana dengan kita yang bahkan kadang tak tahu perbedaan antara propaganda dan dakwah, antara filantropi dan ideologi, antara kerja sama dan kooptasi?

Infiltrasi modern tidak lagi memakai seragam. Ia datang lewat lembaga pendidikan, program pelatihan, beasiswa, hibah, dan—ini yang paling efektif—dana. Kita ini bangsa yang dermawan, dan kita juga bangsa yang tak tega menolak. Maka ketika dana datang dari luar, dan dibungkus atas nama “penguatan identitas agama”, “dukungan moral untuk minoritas”, atau “syiar spiritual”, kita sambut dengan tangan terbuka dan pengawasan yang tertutup.

Mari ambil contoh konkret, tanpa perlu menunjuk hidung siapa-siapa. Di Indonesia, muncul rencana penyelenggaraan longmarch Arbain. Sebuah kegiatan yang secara keimanan tentu bermakna besar bagi sebagian umat. Tapi pertanyaannya: mengapa kegiatan sebesar itu muncul tanpa koordinasi dengan organisasi resmi? Mengapa dana kegiatan justru datang dari luar negeri? Dan mengapa, dalam situasi sosial keagamaan yang masih rawan dan mudah terbakar, kegiatan itu didorong tanpa sensitivitas sosial? Bukankah ini seperti menyalakan api unggun di tengah ladang ilalang?

Yang menarik—dan menggelikan, jika kita mau tertawa getir—adalah bahwa banyak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan semacam itu merasa sedang berdakwah. Mereka yakin sedang memperkenalkan cinta dan pengorbanan, padahal yang muncul justru gesekan, curiga, dan potensi konflik horizontal. Yang mendanai aman di luar negeri, yang terseret konflik adalah masyarakat lokal. Ironis sekali: uang yang katanya demi syiar malah bisa memecah belah umat yang sama-sama mengucap dua kalimat syahadat.

Apakah itu berarti Zionis ada di balik longmarch tersebut? Tentu kita tak gegabah. Untuk menyatakan itu, kita butuh bukti, bukan sekadar dugaan. Tapi yang pasti, pola yang digunakan mirip. Persis seperti yang dibongkar MIT: menyusup lewat kegiatan sosial dan keagamaan, menebar dana, lalu memanen keretakan sosial sebagai hasil panen. Maka, bukan tidak mungkin—dan justru sangat mungkin—skema itu bisa dimainkan di negara seperti Indonesia, di mana kepercayaan sosial tinggi, tapi literasi keamanan rendah.

Lucunya lagi, masyarakat kita punya satu kelemahan utama: mudah percaya bahwa semua yang berbaju agama pasti tulus, semua yang bicara damai pasti baik, dan semua yang membawa kitab suci pasti datang sebagai penyelamat. Padahal sejarah umat manusia menunjukkan, perang-perang paling berdarah justru sering dimulai atas nama Tuhan, lalu dijalankan oleh manusia-manusia yang pandai berpura-pura.

Banyak orang baik telah jadi alat dari strategi buruk. Bukan karena jahat, tapi karena tak paham sedang dimanfaatkan. Mereka merasa sedang “menyuarakan kebenaran”, padahal sedang membangun panggung buat para provokator. Mereka yakin sedang menyelamatkan akidah, padahal justru membuka ruang buat agenda-agenda politik luar yang licin seperti belut dan setajam silet.

Inilah pentingnya kehati-hatian. Inilah mengapa semua elemen masyarakat—tak peduli Sunni atau Syiah, NU atau Muhammadiyah, konservatif atau progresif—harus belajar dari laporan MIT itu. Karena musuh tak lagi mengetuk pintu sambil membawa senapan. Ia masuk lewat undangan seminar, proposal pendanaan, dan kata-kata manis seperti “moderasi”, “toleransi”, dan “spiritualitas universal.” Dan ketika kita baru sadar sedang dimanfaatkan, semuanya sudah terlambat.

Jadi, jika besok ada acara keagamaan besar yang muncul tiba-tiba, tanpa arah yang jelas, tanpa koordinasi lokal, dan dengan pendanaan misterius, kita punya hak untuk bertanya. Kita tidak harus menolak, tapi kita wajib curiga. Karena bukan semua syiar adalah cahaya. Kadang ia hanya topeng dari bayangan yang ingin membuat kita saling baku hantam, sementara sang dalang tersenyum dari kejauhan, memantau kerusakan yang ia timbulkan tanpa harus menyentuhnya langsung.

Dan mungkin, setelah membaca semua ini, Anda pun mulai sadar. Bahwa infiltrasi itu tidak selalu datang dari luar. Kadang ia hadir di tengah-tengah kita—dalam bentuk niat baik yang tak pernah diuji, semangat spiritual yang tak pernah dikaji, dan keyakinan bahwa “tidak mungkin kami diperalat.”

Padahal, yang paling mudah dijadikan alat adalah mereka yang merasa mustahil diperalat—dan meyakini bahwa pihak di seberang sana tak mungkin memperalat.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer